Thursday 31 December 2009

ATas Nama Kebaikan Manusia


 Terjemahan ini kudedikasikan untuk sahabat-sahabat Palestina, maaf karena belakangan ini sedikit melupakanmu.

Atas Nama Kebaikan Manusia

Oleh Stuart Littlewood sebagaimana diterjemahkan secara bebas oleh Umar Badarsyah dari artikel asli berjudul In the Name of Human Decency
 

sumber http://www.aljazeera.com/news/articles/39/In-the-name-of-human-decency.html 


Tenang Bapak Suci, Viva Palestina dan George Galloway sedang melakukan pekerjaan itu untukmu.

Saat orang-orang terkemuka, para duta, delegasi-delegasi hak asasi manusia, para pencari fakta datang dan pergi penderitaan Gaza terus berlangsung dan dari hari ke hari bertambah parah. Ini karena kepemimpinan komunitas internasional yang korup, di mana keberadaannya sendiri merupakan skandal di era kita.


Tapi kini akan datang secercah sinar keceriaan Natal bagi orang-orang Palestina yang terisolasi dan kelaparan, terpenjara di wilayah pendudukan sepanjang tepi laut.

Pada periode tertentu di bulan Februari mereka akan mendapatkan sebuah kunjungan dari tidak lain tidak bukan Uskup Besar Canterbury, Rowan Williams. Setidaknya itulah yang dikabarkan oleh pihak kantornya di Istana Lambeth Ya, Uskup Agung di Inggris tinggal di istana-istana dan bergaul di House of Lords (DPR utusan Golongan/Kamar Atas di Inggris-parlemenbikameral).

Figur religious top Inggris tersebut berharap menyapa Rumah Sakit Al-Ahli yang ia bangun dengan beberapa ribu pound tahun sebelumnya. Rumah Sakit Al-Ahli adalah sarana kesehatan berkapasitas 80 tempat tidur yang digunakan untuk penanganan gawat darurat dan klinik berjalan di Gaza. Saat serangan dahsyat setahun yang lalu, rumah sakit itu menangani banyak korban-korban luka. “Jelas sekali situasi di Gaza sangat menyedihkan,” demikian dikatakan pihak Istana (Palace). Dengan beberapa penganut Anglikan di bawah pimpinan Uskup Jerusalem Suheil Dawani di daerah itu, mereka aktif melakukan kegiatan pertolongan kemanusiaan dan advokasi.

It bisa saja terjadi. Tapi di sini di Inggris sendiri hal itu jarang disebut-sebut.
Apakah ini mungkin terjadi karena surat terbuka saya kepada sang Uskup Agung bulan lalu memacunya untuk melakukan sesuatu? Saya menuntut hal berani apa yang bisa dia dan rekan-rekan sejawatnya bisa lakukan di waktu Natal ini untuk mengintervensi dan membawa kemanusiaan, pertolongan praktis, dan spiritual untuk membantu semua keluarga Kristen dan Muslim yang telah bertahun-tahun ditekan dan disiksa secara kejam oleh rezim Israel dan para pendukungnya.

“Mengapa tidak mengunjungi wilayah pantai tersebut?” Saran saya. “Mintalah Brown dan Blair untuk memperbaikinya, dan jangan katakan tidak sebagai jawaban. Gembleng dan ingatkan pemerintah tugas Kekristusan mereka untuk mempertahankan dan melindungi orang yang lemah: dan seseorang memang sudah seharusnya melakukan itu. Tentu saja hal itu merupakan tugas bagi orang-orang beradab, Kristen atau bukan.”

Akankah sang Uskup Agung membawa senyuman di wajah Tuhan?

Jika berkaca pada respon-respon sebelumnya, para penduduk Gaza tak perlu terlalu antusius. Saya tidak pernah melihat satupun pernyataan sang Uskup Agung tentang Gaza di websitenya selama hampir setahun. Dan saat Israel merencanakan Operasi Cast Leadnya yang terkenal, yang kemudian menghasilkan pembantaian keji atas ratusan wanita-wanita dan anak-anak Palestina, Sang Uskup Agung menemani Kepala Rabbi Sachs ke Auschwitz untuk berceramah menentang genosida dan pertikaian ekstrim. Sang Uskup Agung menyebut Auschwits sebagai “tempat kebiadaban” dan membicarakan korupsi kolektif dan kebejatan moral yang membuat holocaust terjadi.

Jika dan ketika ia jadi tiba di Gaza nanti. Ia akan menyaksikan bentuk holokus yang lain. Ironi pesannya tentang Auschwitz tidak lantas hilang bagi penduduk Gaza yang terkepung, dan yang hingga kini masih berada dalam hari-hari penuh pemboman oleh para penyiksa gila mereka.

Sayangnya pihak Istana Lambeth tidak memberikan informasi detail perjalanan Sang Uskup Agung. Siapa yang akan ia kunjungi? Akankah ia mengunjungi Rumah Sakit Al-Shifa yang kewalahan menangani bagian terberat dari para korban? Akan kah ia membawa angin segar bagi Ismail Haniyeh, Perdana Menteri sah Palestina, seorang uskup kepada imam (pemimpin)? Akankah ia mengunjungi menteri kesehatan, Basem Na’im? Akankah ia mengunjungi Bapak Manuel Musallam, pendeta terhormat yang menjadi pelindung bagi komunitas Kristen dalam menghadapi jam-jam terkelam di Gaza? Bapak Manuel, lelaki sejati nan tabah itu, telah pensiun baru-baru ini, tetapi barangkali masih bisa dihubungi di Tepi Barat.

Akankah Ia (Uskup Agung) mendayung di pantai Gaza? Akankah ia ikut menjala jarring ikannya di perairan bersama para nelayan Gaza, dan mencaci penembakan yang dilakukan oleh kapal-kapal perompak Israel?
Para penduduk Gaza barangkali bisa menuliskan saran-saran yang membantu ke publicaffairs@lambethpalace.org.uk.

Will Rowan Williams bring a smile to the face of God? I hope so, for it is not too late. Akankah Rowan Williams membawa senyuman ke wajah Tuhan? Saya berharap ya, karena itu belum terlambat.

Jika dia jadi datang, maka ia telah melakukan sesuatu yang lebih ketimbang Paus. Individu berjubah mahal, yang punya kedudukan lebih besar bagi Tanah Suci dari siapapun di dunia Barat, awal tahun ini ‘menahan diri’ untuk mengunjungi reruntuhan berasap Gaza sekedar menunjukkan solidaritas bagi gembalanya yang ketakutan, dan malah memerankan turis di Wilayah Pendudukan bersebelahan dengan wilayah konflik. Paus memilih kata ‘menahan diri’ sebagai alasannya kepada media. Alasan yang ibarat pukulan bagi amarah yang tidak lagi tertahankan, seperti menahan diri dari birahi sex, dan membuat marah besar orang-orang yang telah sangat menderita.

Jika Pelayan Jesus ini adalah sebuah kekuatan kebaikan, mana armada yang seharusnya ia kirim untuk menolong komunitas Kristennya dan untuk saudara-saudari Muslim-nya?

Tenang Bapak Suci…Viva Palestina dan George Galloway sedang melaksanakan tugas itu. Mereka sedang melakukan tugasmu untuk mu dan berupaya menghancurkan blokade iblis itu. Kau sebenarnya bisa melakukannya atas nama Tuhan. Mereka melakukannya atas nama kemanusiaan.

Nampaknya garam untuk bumi dari kota kami---yang terdiri dari orang-orang Kristen, muslim, atheist bahkan yahudi—yang telah mengorganisisr, bergabung dan mendukung konvoi, lebih memiliki pemahaman terhadap semangat dan ajaran Kekristusan dari pada orang-orang yang belajar mendalam di pusatnya di VAtikan.
Saya tidak bisa menemukan satupun referensi spesifik terhadap tragedy kemanusiaan yang terjadi di Tanah Suci dalam website Vatikan. Sang Paus ‘menahan diri’ dari menyebutkannya bahkan dalam pesan perayaan menyambut HAri Perdamaian Dunia, 1 Januari 2010.

Sebagaimana saya juga tidak melihat ucapan selamat bagi para penduduk Gaza pada website Istana Lambeth.

KEtika Uskup Agung Rowan kembali pulang dari kunjungan bersejarahnya nanti, apa yang akan ia lakukan? Dia dan 25 rekan sejawatnya duduk di parlemen atas Inggris (house of Lords). Mereka memiliki pengaruh. Namun dalam kesempatan penelusuran singkat terhadap situs theyworkforyou.com saya tidak bisa menemukan catatan terkini soal bagaimana anggota super dari golongan pendeta ini menyuarakan pertanyaan, keberatan atas pembantaian yang dilakukan oleh Israel, penyiksaan tiada berakhir terhadap komunitas muslim dan Kristen dan pembatasan tanpa hak terhadap Tanah Suci secara umum. Tidak pula ada kritisisme terhadap ketidakberdayaan pemerintah Inggris atasnya.

Ketika para pemimpinnya telah melihat dan mendengar kebenaran pahit langsung dari sumbernya, dan melaporkannya, apa yang kiranya dilakukan oleh Kegerejaan Anglican sebagai kesatuan untuk memulai proses peningkatan kondisi kemanusiaan di Tanah Suci dan menjaga legasi spiritualnya?
Malam Natal, 2009

--Stuart Littlewood adalah penulis buku Radio Free Palesine, yang menjelaskan dilemma orang-orang Palestina di bawah pendudukan.


 

Tuesday 29 December 2009

Yuk Kita Temukan Metode Jari Menghafal Al-Qur'an

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang Maha Rahman, Maha Rahiim, dan Maha Sempurna dalam menciptakan manusia.

Salah satu kesempurnaan Allah adalah hikmah jari tangan yang lima. Dengan basis jumlah lima jari tangan dan variasinya banyak orang yang menemukan metode menghitung cepat dengan jari.

Terinspirasi oleh tips metode menghafal Al-Qur'an yang di copas salah seorang Muslimah shalehah di Multiply silahkan di lihat di http://ulict.multiply.com/journal/item/46/Cara_Termudah_Menghapal_Al_Quran?replies_read=43 , saya berfikir untuk mengajak teman-teman sekalian untuk mengembangkan metode Jari menghafal Al-Quran.

Pagi ini, Allah menitipkan ide itu. Saat sedang mengulang dan mempertajam hafalan Juz 30, maklum baru Juz itu dan sebagian Juz satu yang baru saya hafal. Jadi bisa ngeklaim apal Al-Qur'an, paling enggak kalo bikin rumah udah punya pintu depan dan pintu belakangnya...wakakakak.

Klo dalam tips itu bilangan menghafalnya yang dipake per empat ayat. Saya pikir tanggung kenapa nga lima ayat ...trus kepikiran lah klo lima kita bisa make jari tangan...trus cling Eureka!!! Kita kembangin metode menghafal dengan Jari yuk!!

Dengan menggunakan lima jari bisa membantu menghafal dengan efektif ayat ke berapa kita hafal...Jadi klo ditest misalkan an-Naba ayat ke dua belas misalkan kita langsung bisa sebut ayatnya ' wa banaynaa fawqokum...' Klo ayat ke dua enam kita langsung sebut 'Jazaa awwifaaqo' Nah klo 43??

Ya nga ada lah ...la wong An-Naba cuman 40 ayat!!! ;p

Gimana caranya?

Nah, Alhamdulillah kita punya dua tangan dengan masing-masing lima jari. Basis penggunaan bilangannya adalah lima dan sepuluh.

Gunakan tangan kanan untuk menghitung saat menghafal Al-Quran. mulai baca ayat satu, tekuk jari jempol kanan, ayat dua jari telunjuk dan seterusnya hingga lima ayat maka dikau akan menemukan tangan kananmu mengepal begitu sudah membaca lima ayat. Nah saat membaca ayat ke enam silahkan pilih mau mulai buka jari kelingking dahulu atau jempol, yang jelas begitu ayat ke tujuh buka jari yang selanjutnya hingga ketika ke sepuluh tangan kananmu dalam keadaan semua jari terbuka.

Nah saat bilangan mencapai sepuluh tangan kiri mulai beroperasi. Sepuluh pertama tekuk jari jempol..sepuluh kedua telunjuk, begitu seterusnya hingga bilangan lima puluh. Nah saya baru dititipin untuk sampe surat2 yang jumlah ayatnya di bawah enam puluh. Barangkali nanti Allah menitipkan ilmu kepada sahabat-sahabat saleh lain untuk yang ratusan.

Dengan basis puluhan dan limaan ini akan sangat membantu menghafal Al-Quran lengkap dengan ayat keberapanya. Misalkan klo ditanya An-Naba ayat ke dua belas di atas misalkan. Posisi jari adalah kiri jempol menekuk yang berarti sudah sepuluh, dan tangan kanan dua jari jempol dan telunjuk menekuk. gunakan itu sebagai simbol mentrigger memori. Jadi Dengan lambang itu, dan frekuensi kita menghafal berkali-kali (di postingan sahabat di atas diulangnya 20 kali...aku pikir agak berat, aku baru sanggupnya lima kali) akan membantu kita dengan baik dan efektif mengetahui ayat ke berapa yang kita baca.

Demikian. Silahkan dilanjutkan untuk dikembangkan, semoga menjadi amalan jariyah.

Wallahu'alam bishawab

Sunday 20 December 2009

Teknik Jitu 'Menculik' Bayi

Ini murni gurauan...Ehm..ehm...saya pertegas INI GURAUAN.

Aku tidak tahu apakah ini bakat, atau memang turunan. Di rumah ada dua bayi kembar, Hasyim dan Hisyam. Jika keduanya sudah merajuk, tak ada yang bisa menjinakkan keduanya kecuali kakek mereka, which is Abiku. Ayahku punya ribuan cara untuk menjinakkan bayi-bayi, atau menarik simpati anak-anak kecil. Dan yaaa meski tidak sedahsyat daya tarik Ayahku bagi anak-anak kecil...I have a little touch of my own.

Berikut adalah teknik-teknik jitu untuk merebut hati balita.

Langkah pertama:

Aku yakin tatapan adalah jembatan pertama menaklukkan anak-anak, beri mereka nanar mata yang satu frekuensi dengan sinar jenaka mereka. Pancarkan kejenakaanmu dalam nanar matamu, beri sedikit senyum dengan kadar yang pas, secukupnya jangan berlebihan karena besar kemungkinan menimbulkan kecurigaan. Saat dia membalas senyummu berati kau sudah 30% berhasil. Jangan takut kalau dia tidak membalas senyummu. anak kecil yang terlihat heran, sedikit penasaran juga berarti setidaknya kau 15 persen berhasil

Langkah kedua:

Bahkan balita pun tak kuat pujian. Ini naluri dasar manusia pada umumnya, dan tak ada saat-saat yang paling kau 'memakan' pujian kecuali saat kau sedang masa-masa dini (sotoy mode on). Jadi langkah yang harus kau lakukan adalah melontarkan pujian. Oh untuk lebih memastikan pujianmu efektif, lakukan dengan perasaan dan yakinkan bahwa pujian itu memang dikhususkan buat si bayi. misalkan saat kau berhasil merebutnya dari gendongan ibunya, dan dia dalam pelukanmu bisikan pada sang bayi pujian seperti, "waahhh rambutmu harum sekali aku yakin kau memakai produk mahal terbaru dari Johnson and Johnson".

Sebagai informasi merek JnJ tersebut adalah merk ternama dikalangan para bayi, jangan sebut merek Lifebouy. Meski dikenal sebagai produk kesehatan, tidak semua bayi merasa nyaman disebut bayi yang overprotected kebersihan dan kesehatannya.

Pujian lain yang biasanya membuat para bayi jatuh lunglai hatinya adalah, " Oh liat popok nyaman super rekat yang kau pakai! begitu trendy", atau 'Wow kau tampak nyaman dengan popok itu," tak usah kau sebut merek kali ini. Mereka tidak suka membanding-bandingkan merek untuk soal popok. ini berkaitan dengan privasi. Satu bayi dan yang lainnya cocok-cocokkan soal diapers.

Beberapa bayi senang jika ketika dipuji, ada hadiah tertentu yang bisa kau berikan. Mereka tak menuntut banyak. Cukup sesuatu yang bisa menarik rasa penasaran mereka. Dalam hal ini memang sifatnya juga soal selera. Ada bayi yang cukup kau berikan permen misalkan. Ada yang baru memberimu perhatian saat kau memberikannya Blackberry...Hei jangan salahkan para bayi. Mereka toh saat ini adalah generasi produk globalisasi. Soal waktu saja saat bayi hanya akan mempedulikanmu jika kau datang dengan laptop keluaran terbaru. Jadi pastikan kau mengincar bayi yang memang dalam jangkauan modalmu. Catat itu!

Langkah ketiga:

Kau harus memahami, bahwa indera bayi pada masa-masa awal yang banyak berkembang adalah indera sentuhan. Fase kedua adalah indera perasa. Dengan memahami dua hal ini maka teknik paling tepat selanjutnya adalah menyuapi sang bayi. Satu langkah dua pukulan. Ini sudah masuk ke cara, tapi yang paling penting atau inti dari langkah ketiga adalah komitmen. Ya kau tak salah membaca. KOMITMEN.

Bayi-bayi jaman sekarang tidak mudah untuk ditaklukkan. Mereka menuntut komitmen yang kuat sebelum memberikan kepercayaan. Kau harus datang dengan kesungguhan tawaran komitmen itu. Menyuapi adalah satu langkah yang progressif. Beberapa cukup kau ajak bermain, bernyanyi atau melakukan aktivitas lainnya yang menghibur mereka. Di sini survei dan collecting data tentang calon korban sangat penting. Untuk bisa menentukan cara terbaik agar mereka melihat komitmen kesungguhan kita adalah hal yang bukan kepura-puraan saja. 

Langkah ke-Empat:

Beri mereka kepercayaan! Kau tak bisa memisahkan komitmen dengan kepercayaan. Jika kata kedua tidak mampu kau berikan, maka mereka dengan mudah membatalkan hubungan batin yang sudah susah payah kita upayakan. Bagi mereka tanpa kepercayaan, kau hanya berarti sama dengan orang-orang yang mau memanfaatkan mereka. Mereka butuh ruang untuk berkembang, dan sangat menghargai orang-orang yang memberikan kepercayaan itu. 

Jadi, jika kau memutuskan memakai cara menyuapi bayi calon korban pada langkah ketiga, pastikan saat kau merasa sang bayi sudah pada batas cukup diberikan asupan gizi, untuk memberinya kesempatan makan, dan menyuap sendiri. Yaa haislnya memang mereka belepotan, atau malah makanan mereka jadikan mainan. Tapi hey..INGAT! beri mereka ruang, beri mereka kepercayaan.

Langkah Ke Lima:

Konsistensi. Semua hal, dari mulai rayuan, komitmen, dan kepercayaan akan berarti satu: KEGAGALAN!!! Jika dan hanya jika tidak disertai dengan konsistensi. Kau harus membuktikan konsistensi itu, untuk menunjukkan bahwa kau sungguh-sungguh berkomitmen pada sang bayi. Beri mereka afeksi yang spesial. Ingat perkembangan inderawi bayi pada tahap-tahap awal ada pada sentuhan. Alirkan dan curahkan perasaanmu (hmm berhubung ini tips untuk para penculik bayi, maka perasaan yang diolah, atau artifisial). 


Demikian lima teknik andal mendekati para bayi. Jika kau beruntung saat orangtua mereka lengah. Maka tanpa perlawanan kau bisa membawa mereka ke manapun wilayah aman yang kau inginkan.

Oh..aku hampir lupa hal lain yang tak kalah penting. Bayi senang jika mereka merasa memonopoli perhatianmu. Jadi untuk sementara acuhkan semua kegaduhan atau hal-hal menarik lainnya yang bisa mengalihkan perhatianmu. Curahkan perhatianmu hanya dan hanya untuk sang bayi. Mereka akan merasa diri mereka memang dainggap spesial olehmu. Maka kau harus acuhkan candaan teman-teman di sekelilingmu dan hanya memberikan perhatian pada sang bayi saja. seperti ini:

Dan sekali lagi, monopoli perhatian dan konsistensi sekaligus. Berarti komitmenmu, tak lagi diragukannya.


Owwhhhh sekiranya profesiku adalah penculik bayi....aku sudah kaya raya saat ini. Ya Allah terima kasih karena tetap menjadikanku memilih jalan hidup yang waras-waras saja.

Catatan: model bernama Sara (nama sebenarnya). Sebenarnya ada testimoni beliau sendiri, tapi berhubung sedang kekurangan tenaga penerjemah bahasa bayi bersertifikasi, jadi hasil verbatim belum bisa dinarasikan. TErima Kasih.

 

Friday 27 November 2009

Cahaya Bagi Semua Bangsa

Cahaya Bagi Semua Bangsa
Oleh Gilad Atzmon- London


Diterjemahkan oleh Umar Badarsyah

Terjemahan dari : As a Light Unto The Nations
Sumber : palestinechronicle.com

‘Israel adalah cahaya bagi bangsa-bangsa’ sabda Taurat. Tentu saja benar, tidak hanya karena Taurat lah yang mengatakan demikian. Bangsa Israel memang selalu di depan orang lain dalam banyak hal. Sebagai contoh, dalam menteror populasi sipil dan mempraktekkan beberapa taktik penghancuran mematikan terhadap orang-orang tua, perempuan dan anak-anak.

Jerussalem Post melaporkan kemarin bahwa Ketua Komite Militer NATO, Admiral Giampaolo Di Paola mengunjungi Israel awal pekan ini untuk mempelajari “Taktik dan metode Tentara Pertahanan Israel (IDF) yang bisa digunakan oleh aliansi militer tersebut untuk perang di Afghanistan.” Seorang petugas tentara pertahanan Israel menambahkan “satu hal yang ada dalam pikiran NATO hari in iadalah bagaimana untuk menang di Afghanistan…Di Paola sangat kagum terhadap IDF, yang (baginya) merupakan sumber informasi besar/penting karena pengalaman operasi kami.”

Saya hendak menyarankan baik pejabat Israel itu dan Admiral Di Paola untuk sedikit menahan antusiasme mereka. IDF tidak pernah memenangkan sebuah peperangan pun sejak 1967. Bahwa ya, Israel telah membunuh banyak penduduk sipil, Israel telah meratakan banyak kota, membuat jutaan orang kelaparan, dan hingga kini telah melakukan kejahatan-kejahatan perang tiap harinya selama beberapa decade tapi tetap saja Israel tidak memenangkan sebuah perang pun. Oleh karena itu, Israel tidak bisa benar-benar mengajarkan kepada NATO bagaimana caranya menang di Afghanistan. Jika para jenderal NATO cukup bodoh untuk mengikuti taktik-taktik IDF, seperti para jenderal Israel, mereka akan mulai melihat tuntutan-tuntutan kejahatan perang ditumpuk dan dilemparkan kepada mereka. Mereka bahkan bisa cukup beruntung untuk berbagi sel tahanan dengan beberapa orang Israel karena hal itu (kejahatan perang), nanti saat keadilan ditegakkan.

Admiral Di Paola menghabiskan dua hari dengan Kepala Staf IDF yang tidak populer Jend. Gabi Ashkenazi, orang yang memimpin serangan IDF ke Gaza Desember kemarin.

Di negara Yahudi mereka sangat antusias dengan kedatangan Admiral Di Paola. Mereka memaknainya sebagai jaminan kembali atas ‘business as usual/bisnis seperti biasa’. Kunjungan pejabat tinggi NATO penting untuk memberikan keyakinan kepada mereka bahwa tidak ada seorang pun yang mempedulikan laporan Goldstone. “Kunjungan Di Paola sangat signfikan” ujar Jerusalem Post,”terlebih karena kedatangannya di waktu IDF dalam kritikan yang meningkat akibat Laporan Goldstone atas Operation Cast Lead juga akibat keputusan Turki – negara anggota NATO- untuk melarang Israel ikut dalam latihan militer udara.

Meski demikian, penting untuk mengelaborasi kepentingan bersama yang muncul antara kedua pihak ini, yaitu Israel dan NATO. “Saat pertemuan mereka Rabu lalu, Ashkenazi dan Di Paola mendiskusikan cara meningkatkan ikatan militer Israel-NATO juga soal rencana melibatkan Angkatan Laut Israel dalam Active Endeavour, sebuah misi NATO yang dibangun setelah serangan 9/11, suatu program di mana kapal-kapal NATO berpatroli di laut Mediterania untuk mencegah penyelundupan terror illegal(pengiriman senjata, bom, teroris dll)”.

Ini jelas merupakan langkah yang diperlukan bagi Israel. Saat ini Angkatan Laut Israel beroperasi di Latu Mediterania laksana komplotan Yidisshe Piraten (Bajak Laut Yahudi), menghancurkan, membajak dan mencuri kapal-kapal di lautan internasional. Begitu beroperasi di bawah bendera NATO, pasukan Israel bisa meneror setiap kapal di perairan bebas atas nama ‘barat’. Bagi negara Yahudi ini merupakan suatu langkah kemajuan yang besar. Hingga kini Israel telah melakukan kejahatan atas nama orang-orang Yahudi. Saat beroperasi di bawah bendera NATO nanti, Israelis bisa melakukan aksi pembajakan mereka atas nama Eropa. Langkah itu akan menjadi bukti transisi spiritual dan ideological dalam Zionisme, dari ‘tanah yang dijanjikan’ menjadi ‘planet yang dijanjikan’.

Sementara Israel sangat membutuhkan legitimasi dari NATO, kepentingan NATO jauh lebih sederhana. Apa yang dibutuhkan oleh NATO adalah pengetahuan dan taktik-taktik. Untuk beberapa alasa NATO bersikeras untuk belajar dari Israel soal bagaimana mengakibatkan luka bagi populasi sipil. Lebih banyak luka, tentu saja, dari luka yang sudah diberikan oleh NATO. “Para pejabat NATO mengatakan bahwa Di Paola memanfaatkan pertemuan dengan IDF untuk belajar teknologi baru yang bisa diterapkan dalam perang di Afghanistan”. Jerusalem Post melaporkan bahwa Israel adalah ‘pemimpin masyhur dunia dalam pengembangan peralatan perang spesial untuk berlindung dari improvised explosive devices (IDS/bahasa jawanya mah bom tanam rakitan hasil improvisasi local wisdom) , atau yang juga disebut dengan ranjau darat.” Inilah masalahnya. Para Jenderal Israel paham sejak lama bahwa prajurit-prajurit muda berharga mereka lebih memilih sembunyi dalam tank-tank mereka daripada berperang langsung dengan ‘musuh’ i.e. populasi sipil, anak-anak, orang tua dan wanita. Tidak berhenti di situ, Di Paola juga tertarik atas ‘kemampuan Intelejen Israel dan metode yang digunakan oleh IDF ketika beroperasi di tengah-tengah populasi sipil.” Di Paola mencatat bahwa “NATO dan IDF menghadapi ancaman yang sama- NATO di Afghanistan dan Israel dalam perangnya melawan Hamas dan Hizbullah.”

Saya akan menyarankan kepada Admiral Di Paola untuk segera membaca laporan Goldstone secara menyeluruh, sehingga ia bisa menemukan nurani hukumnya begitu dia memulai ‘taktik-taktik Israel’. Jika Admiral Di Paola ingin menggerakkan pasukannya, di memang seharusnya mengunjungi Israel, dia juga harus bertemu dengan setiap penjahat perang baik di militer dan politik sehingga dia tahu dengan jelas apa yang mestinya tidak dilakukan.

Peluang NATO untuk menang di Afghanistan terbatas, mereka bahkan sebenarnya kewalahan. NATO hanya bisa kalah. Beberapa analis militer dan jenderal-jenderal veteran berargumen bahwa sebenarnya NATO sudah kalah lebih dulu. NATO telah cukup membawa pembunuhan besar-besaran kepada orang-orang Afghan tanpa mendapatkan kemenangan militer ataupun politik apapun. Mengingat bahwa Israel telah sangat dipermalukan di Libanon tahun 2006 oleh paramiliter mini Hizbullah dan gagal menggapai goal militernya dalam perang genocidal Operation Cast Lead-nya terhadap Hamas, tidak ada gunanya bagi NATO untuk belajar dari Israel. Kalau NATO memaksakan diri mengimplementasikan taktik-taktik IDF yang diberikan, apa yang akan diraihnya adalah reduksi keamanan dramatis di wilayah Eropa dan Amerika.

Jika kita benar-benar peduli dengan perdamaian dan kita ingin hal itu terwujud, apa yang harus kita lakukan adalah menjauhkan diri kita sejauh mungkin terhadap ikatan spiritual, ideology , politik dan militer dari Zionisme, Israel dan lobi-lobinya. Jika benar Israel adalah ‘Cahaya bagi Bangsa-bangsa’, seseorang harusnya menjelaskan kepada kita semua, mengapa prospeknya menuju kedamaian justru semakin menjadi lemah dan gelap.

Jawaban saya sebenarnya sederhana, Israel bisa dengan mudah dilihat sebagai “cahaya bagi bangsa-bangsa’ selama kau belajar dari Israel apa yang harusnya tidak kau lakukan. Kenyataannya ini adalah pesan yang disampaikan oleh para nabi humanis kita, Jesus dan Marx. Cintai tetanggamu, hidup lah bersama yang lainnya, transendensikan dirimu di atas kesukuan ke dalam realism universal. Pada kenyataannya hal inilah yang secara nyata gagal digenggam oleh Israel. Untuk beberapa alasan, mereka mencintai diri mereka sendiri sebesar mereka membenci tetangga-tetangga mereka.

Kalau Admiral Di Paola ingin memenangkan hati dan pikiran orang-orang Afghan (ketimbang memenangkan sebuah perang), dia harusnya belajar mencintai mereka dulu. Ini merupakan hal yang tidak mungkin dipelajarinya di Jerusalem atau Tel Aviv… Gaza, Ramalah dan Nablus juga demikian.

-Gilad Atzmon adalah seorang penulis dan musisi Jazz tinggal di London, merupakan seorang Yahudi generasi kedua dan pernah berhidmat sebagai tentara militer Israel. Karya/CD terbarunya adalah In Loving Memory of America. Dia mengkontribusikan artikel ini ke PalestineChronicle.com

Wednesday 18 November 2009

KPK Superbody?

KPK Superbody?

Oleh: Umar Badarsyah[1]

Bangsa ini sedang diuji dengan skandal penegakan hukum nasional. Drama yang menguras sedemikian besar energi. Drama yang saya khawatirkan, berujung pada kesia-siaan, kemubaziran atau bahkan kontraproduktif, tatkala mafia peradilan, dan mafia korupsi justru semakin menguat alih-alih melemah!

Kriminalisasi KPK! Ini yang publik tangkap dari sejumlah rentetan fakta-fakta terpisah namun mudah ditafsirkan mengarah pada satu benang merah, yaitu adanya upaya pelemahan institusi yang lahir karena tuntutan reformasi dan sejauh ini menunjukkan performa jauh lebih baik dalam upaya pemberantasan korupsi.

Salah satu fakta yang menjadi rangkaian itu justru pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri. Dalam satu kesempatan(24 Juni 2009) yang kemudian dilansir oleh banyak media, Presiden Yudhoyono menilai kedudukan KPK menjadi seperti superbody. SBY mengatakan "terkait KPK, saya wanti-wanti benar, power must not go unchecked. KPK ini sudah super powerholder yang luar biasa Pertanggungjawabannya hanya kepada Allah Hati-hati."[2]

Hal yang sama juga disuarakan beberapa minggu yang lalu oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Fahri Hamzah dari Fraksi PKS. Dalam notes pribadinya yang kemudian beredar di dunia maya, beliau mengatakan KPK memiliki kewenangan absolut sekaligus terhadap kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penyadapan dan upaya paksa lainnya, yang itu berpotensi terjadi kesewenang-wenangan.[3] Fahri mengutip adagium Lord Acton,”power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.”

 

Absolute Power

Ungkapan Lord Acton yang dikutip Fahri Hamzah tersebut merupakan kutipan dari surat Sejarawan terkemuka Inggris yang bernama lengkap John Emerich Edward Dalberg-Acton kepada Mandell Craighton di bulan April 1887. Isi surat tersebut merupakan protes keras Acton terhadap praktik standar ganda aturan gereja yang menempatkan raja dan paus pada preposisi dianggap tidak pernah dan tidak akan pernah melakukan kesalahan. Padahal keduanya memegang kekuasaan yang sedemikian besar, dan keputusannya atau sekedar pengaruhnya saja, berpotensi merugikan banyak pihak.[4]

Dalam kaitannya dengan pembatasan kekuasaan absolut, ungkapan Lord Acton sering digunakan untuk memperkuat teori pemisahan kekuasaan, Trias Politica, dari filsuf Perancis yang hidup hampir seabad lebih dulu, yaitu Montesquieu. Ide Trias Politica didasari pada filosofi "government should be set up so that no man need be afraid of another" dengan membagi kekuasaan eksekutif, legislatif dan judicial secara terpisah, dan meletakkan prinsip check and balances antar ketiganya. Ini merupakan kritik atas  pemerintahan Perancis pada masa Raja Louis XIV dimana ketiga kekuasaan itu berada di tangan raja seorang, yang menciptakan pemerintahan tiran. Jamak kita ketahui, Raja Louis XIV terkenal dengan ungkapannya L'Etat c'est moi, negara adalah saya.

Menurut saya, baik kritik Lord Acton maupun teori yang dilansir oleh Montesquieu berangkat dari kekhawatiran atas absolutisme kekuasaan yang bertumpu pada dua hal, yaitu keberadaan subyek yang memegang dan bertumpuk padanya kewenangan yang sedemikian besar, dan ketiadaan otoritas lain yang melakukan peran kontrol terhadap subyek pertama. Hal mana yang hendak saya gunakan untuk menimbang apakah benar KPK merupakan lembaga superbody atau bukan.

 

KPK memang Superbody!

Baik pernyataan Presiden SBY bahwa KPK merupakan  super powerholder yang luar biasa, dan dalam istilah Fahri Hamzah: KPK terlalu absolute, barangkali ada benarnya.

Jika merujuk pada kewenangan yang dimiliki oleh KPK dalam memberantas korupsi dan membandingkannya dengan Kepolisian dan Kejaksaan dengan jelas kita dapat melihat perbedaan yang signifikan.

KPK berdasarkan UU 30/2002 memegang sekaligus kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.[5] Hal mana ketiga peran tersebut dalam UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (HAPID) diserahkan pada tiga otoritas yang berbeda: Penyelidik, Penyidik, dan Penuntut Umum.[6] Padahal pemisahan ketiga kewenangan ini punya arti perbedaan kewenangan dan supervisi. Penyelidik misalkan tidak memiliki kewenangan melakukan upaya paksa tanpa otoritas dari penyidik. Adapun penuntut umum dalam fase pra-penuntutan memiliki fungsi supervisi kepada penyidik dalam hal, terdapat kekurangan dalam penyidikan atau dalam istilah hukum yang kini akrab ditelinga publik adalah P-19. Sedangkan konsekuensi tiga kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sekaligus dalam satu KPK memiliki konsekuensi supervisi dilakukan secara internal.

Dalam pola hubungannya dengan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai institusi, KPK menurut pasal 7 dan pasal 8 UU 30/2002 merupakan koordinator sekaligus supervisor dalam hal pemberantasan korupsi. Bahkan pasal 8 memberikan kewenangan bagi KPK untuk mengambil alih kasus-kasus yang sedang diproses oleh Kepolisian, maupun yang sedang diproses oleh Kejaksaan.

Fahri Hamzah juga benar ketika mengatakan KPK dilengkapi dengan kewenangan yang lebih dalam hal melakukan penyadapan, dan dilengkapi dengan upaya paksa yang lebih banyak ketimbang bentuk-bentuk upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan dll) konvensional yang diatur dalam KUHAP.

Keseluruhan kewenangan yang saya sebutkan di atas baru sebagian dari kewenangan yang dimiliki oleh KPK di bidang pemberantasan. Masih ada lagi sejumlah kewenangan KPK di bidang pencegahan dan monitoring. Semisal melaporkan dan memeriksa kekayaan pejabat negara.

Dari besarnya dan banyaknya kewenangan yang dimiliki oleh KPK tersebut, maka ukuran pertama keberadaan subyek pemegang otoritas yang besar dan bertumpuk pada satu persona terpenuhi.

 

KPK memang Superbody?

Meski memiliki kewenangan yang besar dan bertumpuk. Kekhawatiran Presiden SBY bahwa kewenangan KPK unchecked, dan dalam istilah Fahri Hamzah KPK memegang kekuasaan absolut, belum tentu benar.

Sejak perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, Negara Republik Indonesia meneguhkan statusnya sebagai negara hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menyebutkan Negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karenanya segala tata laku, dan tata kelola negara dan pemerintahan didasarkan atas 12 prinsip-prinsip negara hukum, di antaranya supremasi hukum ,dan legalitas. (Jimly Asshiddiqie,2004)[7].

Ini berlaku tak terkecuali kepada KPK. Keberadaan KPK dilandasi oleh legalitas melalui UU 30/2002, dan KPK tidak impun (bebas dari hukum) terhadap peraturan perundang-undangan yang lainnya. KPK juga terikat dengan prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia dan prinsip pembagian kekuasaan yang keduanya juga merupakan bagian dari prinsip negara hukum. Dengan demikian, KPK sesungguhnya checked by the rule of law. Lantas bagaimana dan apa bentuk konkrit dari kontrol terhadap KPK ini?

Untuk menjawabnya kita perlu melihat UU 30/2004 dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

Pasal 3 UU KPK memang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya lembaga ini bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. Namun pengaturan ini harus ditafsirkan dalam suasana atau cita negara hukum, yang berarti sifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun yang dimaksud tidak bersifat mutlak, tetapi sesuai dengan koridor hukum.

Benar bahwa ketiga kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, serta pelbagai upaya paksa diberikan kepada KPK. Namun pemberiannya dilakukan due process of law, terikat pada aturan hukum baik itu UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana maupun UU Tindak Pidana Korupsi sebagaimana ditegaskan dalam pasal 38 dan 39 UU KPK sendiri.

Artinya orang yang misalkan dikenakan penahanan atau upaya paksa lainnya oleh KPK, dapat menuntut haknya untuk dibebaskan apabila upaya paksa yang dilakukan terhadapnya tidak sesuai dengan cara dan tujuan yang digariskan oleh UU. KUHAP memberikan hak mengajukan keberatan melalui Pra-Peradilan bagi orang-orang ini kepada pengadilan negeri. Dari sini terlihat, pengadilan negeri diberi kewenangan oleh hukum untuk melakukan kontrol atas pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh KPK.

Begitupun dengan kewenangan supervisi dan pengambilalihan kasus yang ditangani kepolisian atau kejaksaan oleh KPK. Ini harus dilakukan sesuai dengan koridor yang ditentukan dalam UU, dalam hal ini pasal 9 UU KPK, di mana pengambilalihan hanya dapat dilakukan jika memenuhi alasan yang ditentukan sebagai berikut:

a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;

b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

Jika tidak dilakukan berdasarkan ketentuan tersebut, pejabat KPK berpotensi dikenakan pidana penyalahgunaan kewenangan.

UU 30/2002 juga memberikan bentuk political check terhadap KPK melalui mekanisme pemilihan dan pengisian pimpinan lembaga pemberantasan korupsi itu. Berdasarkan pasal 30 ayat (1) pemilihan pimpinan KPK dilakukan oleh DPR terhadap calon-calon yang diajukan oleh Presiden. Proses sebelum pencalonannya pun diatur melalui panitia seleksi yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat, dimana terdapat 11 persyaratan bagi calon pemegang kendali lembaga yang memiliki kewenangan besar di bidang pemberantasan korupsi ini. Melihat besarnya kewenanangan yang dimiliki, maka idealnya proses pencalonan hingga pemilihan dilakukan dengan penuh kehati-hatian baik oleh presiden maupun oleh DPR. Ini dikarenakan proses yang mereka lakukan merupakan simbol penyerahan belt of souvereignty terbatas bagi para calon terpilih untuk kemudian memiliki keabsahan mengemban wewenang yang diberikan.

Oleh karena itu wajar jika tingkat tinggi rendahnya keberhati-hatian presiden dan DPR dalam proses ini sering disorot sebagai ukuran komitmen pemberantasan korupsi kedua subyek tersebut. Jika kemudian Presiden mengkhawatirkan sepak terjak penggunaan kewenangan KPK oleh pimpinan KPK saat ini, dan Fahri Hamzah menyoroti perilaku Antasari, maka semestinya keduanya sadar, bahwa ada andil mereka dalam hal ini.

Dengan adanya kontrol hukum atas kewenangan KPK, kontrol subyek lain seperti pengadilan dan political check dari Presiden dan DPR, maka unsur kedua absolutisme kewenangan KPK, yaitu ketiadaan otoritas pengontrol tidak terpenuhi.

 

Bukan Superbody tapi Ekstraordinary

Berdasarkan uraian di atas, saya ingin mengatakan bahwa pendapat KPK merupakan superbody tidak benar. Namun kita juga tidak bisa menafikan bahwa KPK memang memiliki kewenangan yang lebih besar jika dibandingkan dengan lembaga penegakan hukum lainnya,dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Istilah yang lebih tepat untuk KPK barangkali bukan superbody, melainkan esktraordinary body, karena besarnya kewenangan yang dimiliki lembaga itu memang lebih dari kewenangan yang dimiliki oleh institusi penegakan hukum lainnya, tentu dengan catatan terbatas di bidang pemberantasan korupsi saja.

Keberadaan KPK sebagai lembaga ekstraordinary bukan tanpa sebab. Dia dilahirkan tidak nihil konteks. Setidaknya ada dua alasan yang saya tangkap baik dari konsideran maupun penjelasan UU 30/2002 tentang KPK. Pertama, bahwa korupsi dianggap sebagai ekstraordinary crime yang merugikan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional sehingga dibutuhkan pendekatan ekstraordinary pula dalam membasminya[8].

Kedua, bahwa KPK didirikan karena lembaga konvensional yang menangani pemberantasan korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien, ini tidak hanya merujuk pada kepolisian dan kejaksaan, tetapi juga lembaga-lembaga pemberantasan korupsi lainnya yang pernah didirikan sebelum KPK berdiri seperti Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan lain-lain.

Berpijak pada dua alasan inilah maka KPK diberi kewenangan ekstraordinary demi menjadikan pemberantasan korupsi lebih efektif dan efisien. Terbukti sejak pendiriannya di tahun 2003 hingga kini, KPK menunjukkan performa yang lebih baik dalam memberantas korupsi. Ini dapat terlihat pada peningkatan signifikan indeks prestasi korupsi Indonesia. Pada tahun 2004 IPK Indonesia 2,0 dan berada pada peringkat 137 dari 146 negara.[9]Untuk tahun 2009, Transparency International mencatat IPK Indonesia 2,8 dan berada di peringkat 111 dari 180 negara.[10] Publik juga melihat bagaimana KPK berkiprah membasmi korupsi yang dilakukan oleh Kepala-Kepala Daerah, Bekas Menteri, Menteri, Duta Besar, Mantan Polisi, bahkan besan Presiden sekalipun.

 

Perkuat KPK

Mencermati perkembangan kisruh lembaga pemberantasan korupsi, terutama pasca penyerahan rekomendasi Tim Delapan kepada Presiden. Ternyata keberadaan KPK sebagai lembaga ekstraordinary membawa masalah kecemburuan institusi penegakan hukum konvensional. Hal ini menurut saya terjadi karena kesalahan kolektif kita bersama dengan pemerintah dan DPR periode lama memegang porsi yang lebih besar. Ini dikarenakan dalam kurun 2004 hingga saat ini, reformasi institusi penegakan hukum konvensional tidak dilakukan secara optimal. Padahal preposisi keberadaan KPK salah satunya adalah belum efektifnya institusi penegakan hukum konvensional.

Dalam pandangan saya keberadaan KPK sebagai lembaga ekstraordinary body tetap harus dipertahankan, sementara reformasi penegakan hukum ditingkatkan.  Meski demikian, terhadap KPK juga perlu dilakukan penguatan dan pembenahan pada sisi koordinasi antar lembaga penegakan hukum.

Di luar pembenahan koordinasi, saya mengusulkan dua perubahan untuk memperkuat KPK. Pertama, penguatan proses political check pemilihan komisioner KPK. Harus dibangun sistem yang mampu menjamin Presiden, dan DPR benar-benar serius dalam memilih pejabat pimpinan KPK, agar lembaga ekstraordinary ini diisi oleh orang-orang yang benar-benar ekstraordinary dari segi integritas, kejujuran dan komitmen pemberantasan korupsi. Saya optimis ini bisa dilakukan jika proses pemilihan yang ada saat ini dibenahi dengan mengintegrasikan keberadaan UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Pelayanan Publik. Porsi keterlibatan masyarakat, Civil society diperkuat.

Berkaca pada kesuksesan pemberantasan korupsi di Hongkong yang dimotori oleh Independent Commission Against Corruption (ICAC/KPK-nya hongkong). Pilar keempat kesuksesan pemberantasan korupsi di negara bagian Cina bekas jajahan Inggris ini, adalah dukungan komunitas atas pemberantasan korupsi. Oleh karenanya masyarakat harus memperkuat diri dan diberikan akses lebih kuat dalam memilih komisioner KPK.

Kedua pendekatan represif melalui sanksi yang lebih progresif kepada pejabat KPK yang melakukan penyelewengan. Sudah semestinya kewenangan yang ekstraordinary disertai dengan tuntutan tanggung jawab yang ekstraordinary pula. Sayangnya hal itu tidak konsisten dilakukan dalam UU KPK saat ini. Pejabat KPK yang melakukan penyelewengan masih diberikan sanksi ‘konvensional’ dengan standar pemberatan 1/3 tambahan pidana pokok,[11] sama seperti pemidanaan pemberatan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.[12] Seharusnya dikenakan pidana minimal dan maksimal hukuman mati sekaligus bagi pejabat KPK. Misal minimal 5 tahun maksimal hukuman mati. Sehingga hakim dalam memberikan vonis terbatas pada pilihan vonis bebas, pidana minimal atau lebih hingga pidana mati.

-----

Semoga energi kolektif yang terserap begitu besar dalam babak kisruh institusi penegakan hukum kali ini, berujung pada buah positif penuh kebermanfaatan bagi penegakan hukum nasional ke depan. Hingga hukum benar-benar dirasa membawa kebermanfaatan dan kesejahteraan bagi rakyat. Salus Publica Suprema Lex Esto

[1] Peneliti Institute for Sustainable Reform (INSURE), lembaga analisis media dan kebijakan publik

[2] Koran Tempo, 12 November h.A3

[3] Dikutip secara merangkum, tidak utuh, bisa dilihat di http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg96498.html

[4] Dalberg-Acton, John Emerich Edward (1949), Essays on Freedom and Power, Boston:The Becon Press, p. 364 sebagaimana saya baca dan pahami dari sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/John_Dalberg-Acton,_1st_Baron_Acton#cite_note-2

[5] Pasal 6 huruf c UU 30/2002

[6] Secara ringkas penyelidik dan penyidik adalah pejabat polisi dan penyidik PNSdengan masing-masing syarat kepangkatan tertentu, adapun penuntut umum adalah pejabat kejaksaan yang ditunjuk sebagai jaksa penuntut umum.

[7] Jimly Asshiddiqqie. “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer”. Simbur Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004 ISSN No. 14110-0614

 

[8] Lihat alinea ketiga dari penjelasan umum UU 30/2002 tentang KPK

[9] http://www.kilasberita.com/kb-news/kilas-indonesia/12276-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-mengalami-kenaikan

[10] http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/11/18/05303146/Indeks.Korupsi.Indonesia.Rawan

[11] Pasal 67 UU 30/2002

[12] Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Monday 2 November 2009

Ujung Kontroversi Cicak vs. Buaya: Reformasi Kepolisian?

Ulasan Hukum:

Ujung Kontroversi Cicak vs. Buaya: Reformasi Kepolisian?
Disusun Oleh : Umar Badarsyah

Hari ini, Selasa 3 November 2009 akan menjadi babak krusial dalam kisruh kasus penangkapan Chandra Hamzah (CH) dan Bibit Samad Riyanto (BSR). Ini dikarenakan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi yang dijadwalkan berlangsung pukul 11.00 nanti, rekaman hasil sadapan akan diperdengarkan. Sidang itu sendiri sebenarnya berkenaan dengan pengajuan judicial review oleh CH dan BSR terhadap pasal 31 ayat (1) huruf C UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan KPK.

Di sisi lain, dalam upaya mencari kejelasan persoalan proses penegakan hukum penyidikan dan penangkapan atas CH dan BSH, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono akhirnya membentuk tim pencari fakta. Presiden Tim independen klarifikasi fakta dan proses hukum itu dipimpin pengacara senior Adnan Buyung Nasution, yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden, dengan wakil ketua Irjen (Purn) Koesparmono Irsan dan sekretaris tim Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana. Anggota tim terdiri dari lima orang, yakni Rektor Universitas Paramadina Anies Rasyid Baswedan, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, praktisi hukum Todung Mulya Lubis, guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, dan praktisi hukum Amir Syamsuddin.
Tim akan turut mengkaji isi rekaman pembicaraan yang mengindikasikan adanya rekayasa kriminalisasi terhadap dua unsur pimpinan KPK.Sementara itu Amir Syamsuddin mengatakan, ada dua pandangan di dalam tim independen klarifikasi fakta. Pertama, apa pun yang terjadi, masalah yang melibatkan Bibit dan Chandra harus bergulir hingga pengadilan. Pendapat kedua, jika fakta yang diperoleh ternyata meragukan, perlu ditempuh mekanisme lain, seperti penerbitan surat perintah penghentian penyidikan.

Kepolisian sebagai institusi, terlepas bahwa terdapat indikasi oknum-oknumnya terlibat dalam dugaan proses kriminalisasi KPK, merupakan institusi yang paling terancam integritasnya. Kepolisian dihadapkan dengan arus dukungan kuat masyarakat terhadap KPK. Jika benar terjadi kriminalisasi terhadap KPK dalam proses hukum atas CH dan BSR, maka secara tak sadar kepolisian terkriminalisasi oleh masyarakat, trialed by community.

Rangkaian fakta kejanggalan proses hukum yang dilakukan terhadap CH dan BSR,serta adanya indikasi conflict of interest petinggi kepolisian, bertemu dengan memori masyarakat atas kekecewaan performa kepolisian secara umum, menemukan momentum. Terlebih saat KPK dianggap sebagai simbol pemberantasan korupsi yang memenuhi ekspektasi masyarakat. Ini mengakibatkan kepolisian sebagai institusi berada diujung tanduk.

Suara civil society menuntut reformasi kepolisian mulai muncul di masyarakat. Seperti tuntutan Dewan Muda Lintas Agama, salah satu anggotanya. Izul Muslimin meminta Presiden melakukan reformasi dijajaran Kapolri dan kejasaan Agung. Izul juga mewakili Pemuda Muhammadiyah menyerukan reformasi kepolisian. Pdt. Daniel Harahap juga ikut menyuarakan mengenai reformasi kepolisian.

Aktivis Indonesian Police Watch, Neta S Pane, mengaku yakin di dalam tubuh internal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sendiri sekarang telah terjadi perpecahan pendapat menyikapi penahanan Bibit dan Chandra. Banyak dari kalangan perwira Polri, menurut dia, tidak setuju terhadap penahanan tersebut karena diyakini hanya akan merusak berbagai upaya positif yang selama ini telah dicapai dalam upaya reformasi kepolisian. (Kompas,2/11/09)

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Edy Prasetyono,juga menilai sudah saatnya kalangan sipil mendorong upaya reformasi total terhadap Polri seperti juga selama ini telah dijalankan dengan baik oleh internal Tentara Nasional Indonesia, yang berada di bawah koordinasi Departemen Pertahanan. Menurutnya setidaknya ada dua cara bisa dilakukan, merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri atau bisa juga dengan segera memajukan dan membahas Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional. Dari salah satu upaya tersebut, kemudian bisa dibuatkan aturan yang menempatkan Polri di bawah institusi atau departemen sipil. Menurut Edy, Polri bisa ditempatkan di bawah departemen tertentu, entah itu Departemen Hukum dan HAM, Depdagri, atau dibuatkan departemen tersendiri. (Kompas,2/11/09)

Jika kemudian gelar rekaman hasil penyadapan menunjukkan indikasi kuat kriminalisasi KPK oleh oknum kepolisian, kemudian Tim Independen menindaklanjutinya, maka perlu ada upaya konkret menyelamatkan institusi kepolisian. Babak Cicak vs Buaya yang menguras energi bangsa ini, agaknya akan sia-sia jika tidak ditindaklanjuti dengan memperkuat lembaga kepolisian. Bagaimanapun, masyarakat sadar Kepolisian memegang peran teramat penting dalam upaya penegakan hukum nasional. Fiat Justitia Pereat Mundus



Tuesday 13 October 2009

Cegah Korupsi Legislasi

Cegah Korupsi Legislasi
Oleh Umar Badarsyah
Peneliti Hukum dan Kebijakan Publik , Institute for Sustainable Reform (INSURE) lembaga analisis media dan kebijakan publik

Korupsi terhadap produk legislasi menjadi tema yang hangat di media saat ini. Kasus sempat hilangnya ayat 2 pasal 113 dari Undang-Undang Kesehatan menggemparkan publik. Terlepas dari sensivitas materi yang mengatur tembakau sebagai salah satu bentuk zat adiktif, perilaku penghilangan sebuah ayat hasil proses legislasi yang dilindungi oleh konstitusi jelas merupakan pelanggaran besar terhadap konstitusi dan demokrasi.

Beruntung kali ini korupsi ayat dapat dideteksi dan mendapat perhatian publik. Ini tidak lepas dari keteledoran pelaku (jika memang terjadi karena unsur kesengajaan) yang lupa menghapus penjelasan ayat yang dihilangkan pada bagian penjelasan. Bagaimana jadinya, jika suatu norma yang disepakati bersama melalui proses legislasi kemudian dihilangkan sebagian, atau dibuat sumir dari yang seharusnya? Tentunya ini akan berakibat pada perbedaan pada tataran implementasi baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun peraturan kebijakan nantinya.

Mengingat bahwa fungsi legislasi merupakan kewenangan konstitusional bersama antara DPR dan Pemerintah, maka korupsi terhadap proses legislasi ini merupakan kejahatan konstitusional. DPR merupakan perwakilan rakyat yang kemudian menjalankan tugasnya lewat kedaulatan yang diserahkan oleh rakyat, kejahatan terhadap hasil legislasi juga berarti kejahatan terhadap rakyat dan demokrasi. Untuk itu kejahatan ini perlu dicegah dan dibasmi.

Pelaku harus mendapatkan hukuman yang setimpal atas kejahatan yang dilakukannya (punitive). Terhadap norma yang dikorupsi juga perlu dipikirkan proses hukum untuk memulihkan dan mengembalikannya (restorative). Proses legislasi juga harus diperbaiki dan diperkuat sehingga ruang upaya melakukan kejahatan ini tertutup(Prefentive) .


Kriminalisasi Pelaku

Hingga saat ini tidak ada ancaman pidana khusus bagi pelaku penghilangan, pengubah pasal atau ayat atau bagian apapun dari Undang-Undang. Meski diduga sering terjadi, kejahatan ini terbilang baru, atau barangkali tidak pernah terpikirkan akan terjadi pelanggaran konstitusi berat semacam ini. Namun bukan berarti pelaku kejahatan ini tidak bisa dijerat hukum di luar proses hukuman kode etik internal lembaga masing-masing.

Dilihat dari potensi pelaku, maka pelaku adalah oknum yang terlibat dalam proses pasca pengesahan undang-undang hingga pengundangan. Jika mengacu proses pengundangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No 1 tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No M.01-HU.03.02 tahun 2007, maka potensi pelaku adalah oknum unsur DPR dan pejabat Sekretariat Jenderal DPR; pejabat Kementerian Sekretaris Negara; pejabat direktorat jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM. Keseluruhan unsur tersebut merupakan pejabat Negara.

Terhadap pelaku bisa dikenakan pidana pemalsuan surat dalam pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman maksimal enam tahun dengan pemberatan 1/3 pidana pokok karena kedudukannya sebagai petugas negara. Hanya saja terdapat tantangan dalam pasal ini. Sebagian besar surat yang dimaksud dalam kelompok pidana pemalsuan surat adalah jenis dokumen berharga yang terkait dengan hubungan perdata. Jika penyelewengan terhadap naskah UU dapat dipersamakan dengan pemalsuan terhadap surat, maka pelaku bisa dengan mudah untuk dijerat.

Justru lebih mudah untuk menjerat pelaku yang dalam kapasitas jabatannya menyuruh melakukan pejabat teknis untuk melakukan pemalsuan, atau korupsi naskah UU itu. Pelaku jenis ini bisa dikenakan kelompok pidana penyalahgunaan kewenangan pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hanya saja pidananya tidak setimpal dengan dampak kejahatannya yang jelas-jelas menghina kewenangan konstitusional fungsi legislasi , yaitu maksimal 2 tahun 8 bulan. Baru jika terbukti ada suap dalam kasus bisa dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi.

Melihat tantangan menjerat pelaku dan pemidanaan yang tidak setimpal perlu dipikirkan delik tersendiri
mengenai kehajatan ini. Penting untuk menekankan bahwa kejahatan ini merupakan tindak pidana yang serius. Meski demikian kajian yang mendalam masih diperlukan untuk ini.


Judicial Review atau Legislative Review?

Hal yang paling utama mesti dilakukan, adalah bagaimana substansi materi yang dikorupsi atau diselewengkan dikembalikan sesuai kesepakatan. Jika merujuk pada bangunan hukum nasional terkait perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan terkait pengundangan sebagaimana disebut di muka, boleh dikatakan terjadi kekosongan hukum soal bagaimana mengembalikan naskah hasil kesepakatan jika pasca pengundangan suatu undang-undang dalam Lembaran Negara terdapat perubahan substantif yang berpotensi menyimpang dari kesepakatan.

Cara yang paling mudah barangkali adalah merevisi penyelewengan Undang-Undang yang terlanjur diundangkan sesuai dengan risalah sidang. Ini bisa dilakukan dengan menuangkannya dalam Lembaran Negara baru. Namun bahkan cara termudah sekalipun tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, disini diskresi Presiden selaku pimpinan lembaga yang diserahkan fungsi pengundangan berlaku.Presiden bisa memerintahkan pejabat pengundangan, yakni menteri sekretaris negara merevisi, atau mengubah Lembaran Negara.

Masalah akan timbul jika jangka waktu antara ditemukannya penyelewengan cukup lama, dan materi yang diselewengkan merupakan payung hukum, atau memberikan delegasi bagi peraturan perundang-undangan maupun peraturan kebijakan yang muncul lebih kemudian. Adanya pihak-pihak yang dirugikan dan diuntungkan dalam pelaksanaan aturan kebijakan yang menyimpang dari kesepakatan akan memperumit dan memperluas dimensi permasalahan. Jika dibiarkan terlalu lama, maka upaya restorasi justru bisa berdampak pada ketidakpastian hukum.Sedangkan upaya pembetulan administrasi lewat revisi Lembaran Negara rasanya tidak cukup kuat untuk kemudian menghapuskan kekuatan hukum peraturan perundang-undangan yang dihasilkan kemudian.

Uji formil pembentukan undang-undang lewat MK bisa menjadi alternatif. UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 53 ayat 3 menyatakan MK juga berwenang menguji proses pembentukan UU. Jika melihat UU 10 tahun 2004, pengundangan merupakan bagian dari proses pembentukan UU. Dengan demikian permasalahan ini masuk sebagai obyek perkara (objectum litis) di bawah kewenangan MK. Persoalannya tinggal membuktikan adanya hak konstitusional pemohon yang dilanggar. Baik pada pengujian formil maupun uji materil unsur terjadinya pelanggaran hak konstitusional perlu dibuktikan. Dalam pemeriksaan pendahuluan. pemohon harus membuktikan bahwa ada hak konstitusionalnya yang dilanggar dalam proses pembentukan UU. Dalam praktek jauh lebih sulit mendalilkan adanya hak konstitusional yang dilanggar dari proses formil pembentukan UU seperti pada pengujian formil UU nomor 3 tahun 2009 tentang perubahan kedua UU Mahkamah Agung.

Alternatif lain yang bisa dalam hal kesalahan ini dibiarkan terlalu lama terjadi adalah melalui proses legislasi. DPR bersama Pemerintah bisa menerbitkan Undang-Undang baru yang merubah, memperbaiki penyelewengan yang terjadi. Hanya saja sebagaimana dimaklumi legislasi sebagai proses politik, kentalnya kepentingan politik besar pengaruhnya terhadap cepat atau lambatnya, atau bahkan keinginan untuk memperbaikinya.


Mencegah Lebih Baik

Melihat pilihan-pilihan sulit upaya memperbaiki kesalahan akibat korupsi legislasi, adagium kesehatan yang berbunyi ‘mencegah lebih baik daripada mengobati’ sangat cocok dalam perkara ini.

Akses masayarakat dalam melakukan pengawasan pembentukan peraturan perundang-undangan perlu diperkuat. Keberadaan UU Keterbukaan Informasi Publik (UU No.14/2008) dan UU Pelayanan Publik (UU No.25/2009) berpotensi mendorong pengawasan publik terhadap proses legislasi. Meski demikian jika tidak disertai dengan penguatan hak pengawasan publik sebagai bagian penting dalam proses pembentukan perundang-undangan dalam UU 10 tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan turunannya, celah bagi upaya melakukan korupsi legislasi masih belum sepenuhnya bisa ditutup.
Demi menjaga tegaknya konstitusi dan memperkuat kualitas demokrasi, korupsi legislasi harus dicegah dan diberantas.
End

Sunday 6 September 2009

Yehuda Hiss: Rantai yang Hilang dalam Kasus Pencurian Organ Tubuh Orang-Orang Palestina?

Yehuda Hiss: Rantai yang Hilang dalam Kasus Pencurian Organ Tubuh Orang-Orang Palestina?
Oleh Jonathan Cook – Nazareth

Sebagaimana diterjemahkan secara bebas oleh Umar Badarsyah dari artikel asli berjudul “Yehuda Hiss: Missing Link in Palestinian Organ Theft”,

Upaya pengkaburan masalah dari para pemimpin Israel(1) terhadap sebuah cerita yang diterbitkan sebuah koran Swedia bulan lalu (2) yang menduga bahwa pasukan Israel membantu pencurian organ dari orang-orang Palestina telah mengalihkan perhatian dari tuduhan mengganggu keluarga-keluarga Palestina yang menjadi dasar klaim artikel koran tersebut.

Keluarga-keluarga itu khawatir bahwa kasus kerabat-kerabat mereka, yang dibunuh oleh tentara Israel, yang diambil organ tubuhnya lewat otopsi illegal di Israel telah ditutupi dengan tuduhan mengulang “blood libel”* langsung kepada sang reporter, Donald Bostrom, dan kepada harian Aftonbladet, juga kepada rakyat dan pemerintah Swedia.

*”blood libel” adalah tuduhan kepada orang-orang Yahudi atas praktik pemujaan dengan meminum darah korban, tuduhan ini ikut mendasari perlakuan anti-semit dan holokus kepada orang-orang Yahudi pada masa antar Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Dengan mengatakan David Bostrom, harian, serta pemerintah dan rakyat Swedia melakukan tuduhan blood libel, Israel berupaya memutar lagu lama, selaku korban holokus, dan mengutuk upaya itu sebagai ancaman serius terulangnya pembantaian terhadap Yahudi.

Saya tidak tahu apakah cerita itu sendiri benar atau tidak. Seperti sebagian besar jurnalis yang bekerja di Israel dan Palestina, saya telah mendengar rumor-rumor tentang hal itu sebelumnya. Sebelum Bostrom menuliskan karyanya, tidak ada jurnalis barat, sejauh yang saya tahu, telah melakukan investigasi terhadap tuduhan itu. Selama bertahun-tahun, asumsi yang berkembang di antara para jurnalis adalah bahwa hanya terdapat sedikit harapan untuk mendapatkan bukti – kecuali secara literal dengan menggali kuburan mayat-mayat tersebut- untuk mengungkapnya. Tanpa diragukan, tuduhan tak terelakkan menyebar anti-semitisme bagi laporan mengenai hal tersebut, merupakan faktor kuat keengganan para jurnalis untuk melakukan investigasi.

Apa yang mengejutkan dari drama kali ini adalah bahwa keluarga-keluarga yang melakukan tuduhan itu tidak diberi kesempatan untuk didengar pada akhir 1980 and dan awal 1990 an, ketika intifada yang pertama, di mana sebagian besar laporan dugaan pencurian organ-organ tubuh itu muncul, hingga kini pun terus mendapatkan hak mereka untuk berbicara diabaikan.

Sensitivitas Israel terhadap tuduhan pencurian organ- atau ‘panen’, sebagaimana banyak pengamat menggunakan kata yang lebih halus terhadap praktek itu – justru mengangkat kepentingan murni keluarga-keluarga tersebut untuk mengungkap siksaan yang mungkin saja terjadi kepada orang-orang yang mereka cintai.

Bostrom telah banyak dikritik terhadap sedikitnya bukti yang dia hasilkan untuk mendukung ceritanya yang menghebohkan. Memang terdapat banyak hal untuk dikritisi dari tulisannya dan dari presentasi laporan harian tersebut.

Hal yang paling signifikan, Bostrom dan Aftonbladet membiarkan diri mereka menjadi obyek tuduhan anti-semitisme – setidaknya dari kacamata pejabat Israel sebagai sesuatu yang salah – melalui sebuah kesalahan penilaian yang besar.

Mereka memperkeruh air dengan mencoba membuat koneksi hubungan yang lemah antara tuduhan keluarga-keluarga Palestina terhadap pencurian organ tubuh manusia selama otopsi tanpa persetujuan, dengan temuan terpisah bulan ini tentang sekelompok Yahudi Amerika yang tertangkap melakukan pencucian uang dan penjualan organ-organ tubuh manusia.(3)

Dalam upaya membuat hubungan itu, Bostrom dan Aftonbladet memberi kesan bahwa masalah pencurian organ sebagai sesuatu yang terkini ketika mereka hanya mampu menghadirkan sejumlah contoh dari dugaan di awal 1990an. Mereka juga secara tidak langsung menyatakan, baik itu disengaja atau tidak, bahwa tindakan yang dituduh dilakukan oleh tentara Israel tersebut entah bagaimana bisa dinisbatkan sebagai tindakan yang bisa diatribusikan kepada orang-orang Yahudi secara umum.

Reporter Swedia itu seharusnya lebih berkonsentrasi pada pertanyaan berdasar dari keluarga-keluarga itu tentang mengapa militer Israel, dengan otorisasi mereka sendiri, mengambil mayat-mayat lusinan orang Palestina yang dibunuh oleh tentaranya, kemudian menjalankan otopsi kepada mayat-mayat itu tanpa izin dari keluarga dan mengembalikan mayat mereka untuk dikuburkan dalam upacara yang diadakan dengan pengamanan yang ketat.

Artikel Bostrom mengangkat kasus seorang Palestina, berusia 19 tahun, Bilal Ahmed Ghanan, dari desa Imatin sebelah utara Tepi Barat, yang terbunuh di tahun 1992. Gambar mengejutkan tubuh Bilal yang terjahit menemani laporan tersebut (4)

Bostrom telah menyatakan kepada media Israel bahwa ia tahu lebih dari 20 kasus keluarga-keluarga yang mengklaim bahwa tubuh orang-orang yang mereka kasihi dikembalikan dengan bagian-bagian tubuhnya menghilang, (5) hanya saja dia tidak mengatakan apakah ada satu di antara insiden yang dituduhkan ini muncul baru-baru ini.

Di tahun 1992, pada tahun yang menjadi pusat pertanyaan, Bostrom mengatakan, militer Israel mengakui kepadanya bahwa mereka melakukan otopsi terhadap 69 dari 133 orang-orang Palestina yang meninggal akibat sebab-sebab tidak alami. Pihak militer belum membantah bagian ini dari laporan tersebut.

Pertanyaan berdasar dari para keluarga yang diangkat oleh Bostrom adalah: mengapa pasukan militer Israel menginginkan otopsi dilakukan? Kecuali bisa dibuktikan bahwa militer Israel menginginkan dilakukannya investigasi terhadap kematian-kematian itu- dan nampaknya tidak ada tanda-tanda bahwa mereka punya keinginan melakukan itu- otopsi tidak perlu dilakukan.

Pada faktanya, otopsi itu sangat tidak perlu dilakukan. Upaya melakukan otopsi konter-produktif jika kita berasumsi bahwa militer Israel tidak berkepentingan mengumpulkan bukti yang bisa digunakan, di masa mendatang, untuk mengadili tentara-tentaranya atas kejahatan perang.

Apa yang menjadi keprihatinan yang mendalam dari keluarga-keluarga korban adalah fakta bahwa semasa mayat-mayat orang yang mereka cintai diambil oleh tentara untuk diotopsi, satu-satunya institusi di Israel yang melakukan otopsi tersebut, Rumah Sakit Abu Kabir, dekat Tel Aviv, telah nyata menjadi pusat perdagangan organ-organ tubuh manusia yang kemudian belakangan menjadi sebuah skandal di dalam Israel sendiri.

Fakta yang sama mengkhawatirkannya, adalah dokter di belakang pembajakan bagian-bagian tubuh manusia, Prof Yehuda Hiss, direktur terpilih institute Abu Kabir di akhir 1980-an, belum pernah dipenjara meski telah mengakui praktek pencurian organ itu dan terus menjabat sebagai Kepala Pathologist Negara di institut tersebut.

Hiss bertanggung jawab terhadap otopsi orang-orang Palestina,saat Bostrom mendengarkan keluhan keluarga-keluarga Palestina tersebut di tahun 1992. Hiss setelah itu diperiksa dua kali, di tahun 2002 dan 2005, atas pencurian bagian-bagian tubuh manusia dalam jumlah besar.

Tuduhan-tuduhan terhadap perdagangan illegal organ-organ tubuh manusia yang dilakukan oleh Hiss, pertama kali terungkap di tahun 2000 melalui investigasi para reporter koran Yediot Aharonot, yang melaporkan bahwa dia memliki “daftar harga” untuk bagian-bagian tubuh manusia dan dia telah menjual terutama ke Universitas-universitas Israel dan sekolah-sekolah kedokteran (6)

Bahkan tanpa terdeteksi oleh laporan-laporan harian tersebut, Hiss masih menyimpan banyak organ-organ tubuh dalam tanggung jawabnya di Abu Kabir ketika pengadilan Israel memerintahkan penggeledahan di tahun 2002. Media nasional Israel melaporkan waktu itu:”Dalam kurun tahun-tahun terakhir, para pemimpin institute itu, nampaknya telah memberikan sejumlah organ-organ tubuh manusia untuk penelitian tanpa izin, sementara mengelola sebuah gudang penyimpanan organ-organ tubuh manusia di Abu Kabir.” (7)

Hiss tidak membantah perampasan organ-organ tubuh itu, mengakui bahwa bagian-bagian tubuh itu berasal dari para tentara yang tewas dalam tugas, dan telah dikirimkan ke institute-institut medis dan rumah sakit-rumah sakit untuk kepentingan pengembangan penelitian. Mudah untuk memahami jika keluarga-keluarga korban Palestina tidak begitu saja puas dengan penjelasan Hiss. Jika izin keluarga dari para tentara Israel saja bisa diabaikan oleh Hiss, maka mengapa izin keluarga-keluarga Palestina juga tidak?

Hiss dibiarkan untuk melanjutkan jabatan direktur Abu Kabir hingga tahun 2005 ketika tuduhan terhadap sebuah perdagangan organ-organ tubuh manusia kembali mengemuka. Pada kejadian ini Hiss mengakui telah mengizinkan pengambilan bagian-bagian tubuh dari 125 mayat tanpa izin otorisasi. Melalui pembelaan tawar menawar dengan Negara, penuntut umum memutuskan untuk tidak mendakwa dengan tuduhan criminal dan Hiss hanya dikenakan sebuah teguran. (8) Dia sejak itu terus menjabat sebagai kepala Pathologist di Abu Kabir.

Penting juga untuk dicatat, bahwa Bostrom menunjukkan, bahwa di awal 1990 an Israel mengalami kekurangan akut donor organ-organ tubuh manusia, bahkan hingga Ehud Olmert, saat itu menteri kesehatan, menerbitkan kampanye publik mendorong orang-orang Israel untuk menjadi donor. Hal ini menawarkan penjelasan yang mungkin terkait sepakterjang Hiss. Dia bisa saja memegang andil dalam upaya mengurangi defisit itu.

Melaui fakta-fakta yang telah diketahui, setidaknya pasti ada suatu kecurigaan kuat bahwa Hiss mengambil organ-organ tubuh manusia tanpa otorisasi dari orang-orang Palestina yang diotopsinya. Baik isu ini, maupun kemungkinan peran militer menyediakan Hiss mayat-mayat, perlu investigasi.
Hiss juga terlibat pada skandal panjang dan tak terpecahkan yang lain di awal-awal berdiri Israel di tahun 1950an, ketika anak-anak imigran baru Yahudi ke Israel dari YAman diadopsi oleh pasangan-pasangan Ashkenazi setelah para orang tua dari Yaman itu diberitahu bahwa anak mereka telah mati, (9) umumnya setelah masuk rumah sakit.

Setelah sebuah upaya pengungkapan awal, para orang tua Yahudi dari Yaman terus menekan untuk mendapatkan jawaban dari Negara, dan memaksa para pejabat untuk membuka kembali kasus-kasus itu. Orang-orang Palestina layak untuk mendapatkan keadilan yang serupa.

Hanya saja tidak seperti orangtua Yahudi keturunan Yaman, kesempatan mereka untuk mendapatkan investigasi dalam bentuk apapun, secara transparan atau tidak, hanya merupakan harapan yang sia-sia.
Ketika tuntutan keadilan orang-orang Palestina tidak didukung oleh investigasi para jurnalis atau protes-protes dari komunitas Internasional, Israel bisa mengabaikan tuntutan itu dengan aman.

Penting untuk mengingat dalam konteks ini upaya konsisten berulang-ulang dari kelompok perdamaian di Israel bahwa okupasi empat dekade yang brutal terhadap orang-orang Palestina telah sedemikian mendalam membuat masyarakat Israel korup.

Ketika militer menikmati kekuasaan tanpa akuntabilitas, bagaimana orang-orang Palestina, atau kita, tahu apa yang boleh dilakukan oleh tentara-tentara itu dengan dalih pendudukan? Apa kendali-kenadi yang bisa dijadikan pijakan untuk mencegah kesewenang-wenangan? Dan siapa yang mengadili mereka jika mereka memang melakukan kejahatan-kejahatan?

Sama halnya, ketika para politisi Israel bisa berteriak “blood libel” atau “anti-semitisme” jika mereka dikritik,mereka bisa menghancurkan reputasi orang-orang yang mereka tuduh, apa insentif yang mereka dapatkan untuk menginisiasi penyelidikan yang dapat membahayakan mereka sendiri, atau institusi yang mereka awasi? Alasan apa yang mereka miliki untuk berlaku jujur ketika mereka bisa memukul sebuah kritik menjadi diam dengan godam, tanpa berakibat apapun bagi mereka sendiri?

Ini adalah arti dari frase “Kekuasaan itu Mengkorupsi” dan para politisi serta para tentara Israel, juga setidaknya seorang pathologist (Hiss), secara demonstratif memiliki terlalu banyak kekuasaan – terlebih khusus terhadap orang-orang Palestina di bawah pendudukan.

-Jonathan Cook adalah seorang penulis dan jurnalis yang tinggal di Nazareth, Israel. Buku terbarunya adalah “Israel and Clash of Civilizations: Iraq, Iran and the Plan to Remake the Middle Eas”(Penerbit: Pluto Express) dan “Disappearing Palestine: Israel’s Experiments in Human Despair”(Penrebit: Zed Books). Website beliau www.jkcook.net. Dia mengkontribusikan artikel ini ke PalestineChronicle.com

Organ Tubuh Anak-Anak Kami Dijarah

Organ Tubuh Anak-Anak Kami Dijarah
Oleh Donald Bostrom

Diterjemahkan dari Article Our Sons Plundered for Their Organs yang dimuat dalam salah satu media terpandang di Swedia dan mengundang reaksi kemarahan Israel.

Penerjemah : Umar Badarsyah


Kau boleh memanggil saya mak comblang, ucap Levy Uzhak Rosenbaum, dari Brooklyn, Amerika Serikat, dalam sebuah rekaman rahasia dengan seorang agen FBI menyamar, yang disangkanya seorang klien. Sepuluh hari kemudian, akhir Juli tahun ini (2009), Rosenbaum ditangkap dan kegemparan , bak drama Soprano,atas kasus pencucian uang dan penjualan organ tubuh manusia mengemuka. Pencomblangan yang dilakukan Rosenbaum tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan cinta. Itu semua berkenaan dengan jual beli pasar gelap ginjal dari Israel. Rosenbaum mengatakan bahwa dia membeli ginjal-ginjal itu sehar $10.000, dari orang-orang miskin. Dia kemudian menjual organ-organ itu kepada para pasien yang putus asa di negara-negara bagian (AS)seharga $160.000. Pengungkapan itu telah menggempakran usaha transplantasi Amerika. Jika hal ini benarm berarti untuk pertama kalinya penyelundupan organ manusia terdokumentasi di AS, demikian ungkap para ahli kepada harian New Jersey Time News.

Ketika ditanya mengenai berapa banyak organ-organ tubuh manusia yang telah dijualnya, Rosenbaum menjawab: “cukup banyak dan saya tidak pernah gagal,” sumbarnya. Usaha itu telah berjalan cukup lama. Francis Delmonisci, profesor bedah transplantasi Harvard dan anggota Dewan direktur National Kidney Foundation, mengatakan kepada harian yang sama bahwa penyelundupan organ manusia, seperti yang dilaporkan dari Israel, juga dilakukan di tempat-tempat lain di dunia. Sekitar 5 sampai 6000 operasi pertahun, sekitar sepuluh persen dari transplantasi ginjal dunia, dilakukan secara ilegal, demikian menurut Delmonici.

Negara-negara yang dicurigai melakukan aktivitas ini adalah Pakistan, Filipina dan China, dimana organ-organ manusia itu dicurigai diambil dari para tahanan yang dieksekusi. Namun, orang-orang Palestina memiliki kecurigaan kuat terhadap Israel atas penangkapan pemuda-pemuda mereka ,untuk kemudian menjadikan mereka sebagai cadangan organ manusia bagi Negara Yahudi tersebut—suatu tuduhan yang teramat serius, dengan cukup banyak tanda tanya untuk mendorong Pengadilan internasional memulai penyelidikan terhadap kemungkinan kejahatan perang tersebut.

Israel telah berulangkali berada di bawah kecurigaan atas cara-cara penganan tidak etisnya terhadap organ-organ manusia dan praktik transplantasi. Perancis adalah salah satu dari negara-negara yang menghentikan kerjasama di bidang organ manusia dengan Israel di tahun sembilan puluhan. Jerusalem Post menulis bahwa “sisa dari negara-negara Eropa diharapkan mengikuti contoh Perancis sesegera mungkin.” Setengah dari ginjal yang ditranplantasikan kepada orang-orang Israel sejak awa tahun 2000 dibeli secara ilegal dari Turki, Eropa Timur atau Amerika Latin. Otoritas kesehatan Israel sepenuhnya tahu praktis bisnis ini tetapi tidak melakukan apapun untuk menghentikannya. Dalam sebuah konferensi di tahun 2003 tersingkap bahwa Israel adalah satu-satunya negara barat yang otoritas medisnya tidak mengutuk penjualan organ ilegal. Negara itu tidak melakukan upaya-upaya hukum melawan dokter-dokter yang terlibat pada sebagian besara transplantasi ilegal, menurut Dagens Nyheter (5 Desember,2003).

Di musim panas 1992, Ehud Olmert, yang ketika itu menjabat sebagai menteri kesehatan, berupaya mengatasi masalah kekurangan organ-organ transplantasi dengan mengkampanyekan agar melakukan pendaftaran publik untuk melakukan donor pasca kematian (post mortem donation). Setengah juta pamflet disebarkan melalui koran-koran lokal. Ehud Olmert sendiri merupakan orang pertama yang mendaftar. Beberapa pekan kemudian Jerusalem Post melaporkan bahwa kampanye itu merupakan sebuah kesuksesan. Tidak kurang dari 35.000 orang telah mendaftar. Sebelum kampanye barangkali hanya akan ada 500 pendonor di bulan yang normal. Meski demikian, pada artikel yang sama, Judy Siegel, sang reporter, menulis bahwa jurang antara pasokan dan kebutuhan masih tinggi. Sebanyak 500 orang antri untuk mendapatkan tranplantasi ginjal, tetapi hanya 124 transplantasi yang bisa dilakukan. Dari 45 orang yang membutuhkan hati, hanya tiga yang bisa dioperasi di Israel.
Sementari kampanye terus berlangsung, pemuda-pemuda Palestina mulai menghilang dari desa-desa di tepi Barat dan Gaza. Setelah lima hari, tentara Israel akan membawa mereka pulang dalam keadaan mati, dengan tubuh-tubuh mereka penuh sobekan terbuka.

Pembicaraan mengenai tubuh-tubuh itu meneror para penghuni wilayah-wilayah penundukan. Terdapat rumor mengenai peningkatan hilangnya pemuda-pemuda secara dramatis, yang diikuti dengan pemakaman-pemakaman malam hari atas tubuh-tubuh yang terotopsi. Saya sedang berada di wilayah tersebut waktu itu, sedang proses merampungkan sebuah buku. Dalam beberapa kesempatan saya didatangi oleh staff PBB yang khawatir dengan perkembangan itu. Orang-orang yang menghubungi saya mengatakan bahwa pasti pencurian organ telah terjadi tetapi mereka dicegah untuk melakukan sesuatu terhadap praktik itu. Ketika bertugas untuk sebuah jaringan penyiaran, saya kemudian melakukan perjalanan keliling, mewawancarai sejumlah besar keluarga Palestina di Tepi Barat dan Gaza—menjumpai para orang tua yang mengatakan bagaimana putera-putera mereka diambil organ-organ tubuhnya sebelum dibunuh. Satu contoh yang saya temui dari perjalanan mengerikan ini adalah kasus Bilal Achmed Ghanan Si pelempar batu muda.

Waktu itu menjelang tengah malam ketika rauman suara motor milik pasukan Israel terdengar dari pinggiran Imatin, sebuah desa kecil di sebelah utara Tepi Barat. Dua ribu penduduk desa terbangun. Mereka bergeming, menunggu laksana bayangan diam di kegelapan, beberapa berbaring di atas atap, beberapa bersembunyi di balik tirai, tembok, atau pepohonan yang memberikan perlindungan selama jam malam berlangsung tetapi tetap menawarkan pandangan penuh atas apa yang kemudian menjadi pemakaman bagi martir pertama desa itu. Pihak militer telah memutus listrik dan wilayah itu menjadi tertutup –jam malam militer—yang bahkan seekor kucing tidak bisa menggeser pintu luar tanpa membahayakan nyawanya. Cekaman malam pekat bisu itu hanya diganggu oleh isakan lirih. Saya tidak ingat apakah mengigilnya kami karena kedinginan atau karena situasi yang mencekam. Lima hari sebelumnya, pada 13 Mei 1992, sebuah pasukan spesial Israel menggunakan bengkel tukang kayu untuk markas penyergapan. Orang yang menjadi sasaran target mereka adalah Bilal Achmed Ghanan, salah satu dari pelempar batu pemuda Palestina yang membuat hidup terasa sulit bagi para prajurit Israel.

Sebagai salah satu pelempar batu yang terkemuka Bilal Ghanan telah bertahun-tahun menjadi incaran pasukan militer Israel. Bersama dengan pelempar batu lainnya dia bersembunyi di pegunungan Nablus, tanpa ada atap di atas kepalanya. Tertangkap berarti siksaan dan kematian bagi anak-anak ini – mereka harus tetap tinggal di pegunungan apa pun yang terjadi.

Pada tanggal 13 Mei, Bilal melakukan pengecualian, ketika untuk suatu alasan, dia berjalan tanpa perlindungan melewati bengkel tukang kayu. Bahkan Talal, kakaknya, tidak tahu mengapa ia mengambil resiko itu. Barangkali bocah tersebut kehabisan persediaan makanan dan butuh untuk memenuhinya kembali.

Segala sesuatunya berjalan sesuai rencana bagi pasukan khusus Israel. Para prajurit itu mematikan rokok mereka, menyingkirkan kaleng-kaleng coca-cola mereka dan dengan tenang membidik lewat jendela yang pecah. Ketika Bilal berada cukup dekat mereka hanya butuh menarik pelatuknya saja. Tembakan pertama mengenainya di dada. Menurut para penduduk desa yang menyaksikan insiden itu, Bilal kemudian ditembak oleh masing-masing satu peluru di tiap kakinya. Dua orang prajurit kemudian berlari dari bengkel tukang kayu dan menembak Bilal sekali di perut. Akhirnya mereka menggenggam Bilal melalui kakinya dan menyeretnya naik ke atas melalui dua puluh pukanak anak tangga bengkel kayu itu. Para penduduk desa mengatakan orang-orang baik dari PBB maupun bulan Sabit Merah berada dekat kejadian, mendengan insiden itu dan datang untuk mencari orang-orang terluka yang membutuhkan pertolongan. Sejumlah adu mulut terjadi soal siapa yang harus menangani korban tersebut. Diskusi berakhir ketika prajurit-prajurit Israel mengangkut Bilal yang terluka parah ke atas sebuah jeep dan membawanya ke pinggiran desa, di mana sebuah heilkopter militer telah menunggu. Bocah itu diterbangkan ke suatu tujuan yang tidak diketahui oleh keluarganya. Lima hari kemudian dia kembali, dalam keadaan mati dan terbungkus kain hijau rumah sakit.

Seorang penduduk desa mengenal Kapten Yahya, pemimpin dari pasukan militer yang membawa jasad dari pusat otopsi postmortem Abu Kabir, di pinggir Tel Aviv, ke tempat peristirahatan terakhirnya. “Kapten Yahya orang yang terjahat di antara mereka semua,” bisik seorang penduduk desa di telinga saya. Setelah Yahya menurunkan jasad bilal dan mengganti kain hijau dengan kain katun putih, beberapa kerabat laki-laki korban dipilih para tentara untuk melakukan penggalian dan mengauk semen.

Bersamaan dengan suara tajam dari cangkul kami bisa mendengar tawa para prajurit yang sambil menunggu waktu pulang, bertukar lelucon. Ketika Bilal diletakkan ke dalam kuburan, dadanya terbuka. Segalanya tiba-tiba menjadi jelas bagi beberap orang yang hadir, tentang siksaan macam apa yang dialami oleh pemuda itu. Bilal bukan pemuda Palestina pertama yang dikuburkan dengan luka sayatan sepanjang abdomen hingga dagunya.

Keluarga-keluarga di Tepi Barat dan di Gaza merasa bahwa mereka tahu apa yang telah terjadi: “putera-putera kami digunakan sebagai pendonor organ non-sukarela,” para kerabat Khaled dari Nablus mengatakan pada saya, juga yang dikatakan Ibu dari Raed dari Jenin, dan paman-paman dari Machmod dan Nafes dari Gaza, yang semuanya menghilang untuk beberapa hari dan kembali dalam keadaan mati dan terotopsi pada malam hari.

“Mengapa meraka menahan mayat-mayat itu hingga lima hari sebelum mengizinkan kami mengubur mereka?Apa yang terjadi terhadap tubuh-tubuh itu selama waktu tersebut? Mengapa mereka melakukan otopsi, diluar kehendak kami, ketika penyebab kematiannya sangat jelas? Mengapa tubuh-tubuh itu dikembalikan pada malam hari? Mengapa dikembalikan dengan pengawalan militer? Mengapa wilayah pemakaman ditutup waktu pemakaman? Mengapa listrik dimatikan?” Paman Nafe kecewa dan memiliki banyak pertanyaan.
Para kerabat pemuda-pemuda palestina yang mati tidak lagi memendam keraguan alasan pembunuhan itu, meski demikian juru bicara pasukan Israel mengklaim bahwa tuduhan-tuduhan pencurian organ itu merupakan kebohongan. Seluruh korban Palestina menjalani otopsi secara rutin, ujarnya. Bilal Achmed Ghanem merupakan satu dari 133 orang-orang Palestina yang dibunuh dengan berbagai cara tahun itu. Menurut statistik Palestina beberapa penyebab kematian itu adalah: ditembak di jalan, ledakan, gas air mata, ditabrak sengaja, digantung dalam tahanan, ditembak di sekolah, dibunuh di rumah dan lain-lain. Ke 133 orang yang terbunuh berusai antara empat bulan hingga 88 tahun. Hanya setengah dari meraka, 69 korban, menjalani pemeriksaan postmortem. Otopsi rutin terhadap mereka—yang disebut oleh juru bicara militer itu—tidak pernah terjadi di wilayah-wilayah pendudukan. Pertanyaan-pertanyaan itu tetap tidak terjawab.

Kita tahu bahwa Israel memiliki kebutuhan tinggi terhadap organ-organ manusia, tahu bahwa terdapat perdagangan masif illegal organ-organ manusia yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, tahu bahwa pihak yang berwenang mengetahui hal ini dan para dokter yang berada di posisi manajerial rumah sakit-rumah sakit besar terlibat, begitu juga dengan para petugas sipil terlibat dalam level yang beragam. Kami juga tahu bahwa para pemuda Palestina berhilangan, bahwa mereka kemudain dikambelikan setelah lima hari, pada malam hari, di bawah kerahasiaan yang luar biasa, dijahit kembali setelah disayat dari perut hingga dagu. Inilah saatnya untuk membawa kejelasan kepada bisnis mengerikan ini, saatnya memberikan cahaya terhadap apa yang terjadi dan apa yang telah berlangsung di wilayah-wilayah pendudukan oleh Israel sejak Intifada dimulai.

-Donald Bostrom merupakan seorang jurnalis foto Swedia. Beliau merupakan kontributor koran sore berhaluan sosial-demokrat, Aflonbladet. Dia mendedikasikan artikel ini (diterbitkan dalam bentuk asli berbahasa Swedia, 17 Agustus 2009, di Aflonbladet) ke PalestineChronicle.com.

Wednesday 4 February 2009

Iklan Politik Belum Mencerdaskan

Iklan Politik Belum Mencerdaskan

By Umar Badarsyah

Suara Mahasiswa, Seputar Indonesia, Kamis 5 Februari 2009

 

Pemilihan Umum legislative tinggal tiga bulan lagi. Partai-partai terutama partai besar dan yang memiliki kekuatan dana, berupaya keras menaikkan citra dan popularitasnya dengan memanfaatkan iklan-iklan di media, baik cetak maupun elektronik. Sayangnya, iklan-iklan yang beredar di masyarakat kurang dalam segi pencerdasan politik.

 

Iklan-iklan politik miskin atas pencerdasan produk politik. Partai-partai politik tidak mampu menghadirkan kepada publik apa yang sebenarnya mereka bawa, kebijakan apa yang akan mereka ambil ketika terpilih.. Partai Gerindra yang paling sering terlihat di media televisi misalnya menggunakan kemiskinan, nasib petani dan nelayan sebagai alat kampanye tanpa menjelaskan kebijakan apa yang akan diambilnya untuk mengubah nasib mereka.

 

Partai Hanura senada dengan Gerindra. Partai Golkar dan Demokrat berebut menyebutkan keberhasilan pemmerintahan saat ini tanpa juga mampu atau mungkin mau mengungkapkan kebijakan mereka ke depan. PKS pasca iklan kontroversial sumpah pemuda hanya bermain aman. PDIP barangkali selangkah lebih maju ketika mengeluarkan produk politik enam program yang akan dilakukan Megawati dalam 100 hari kepemimpinannya jika terpilih sebagai presiden, tetapi sama saja tanpa detail-detail konkret.

 

Ini sangat disayangkan. Padahal pencerdasan politik terhadap public teramat penting. Kemampuan partai politik dalam melakukan pencerdasan politik akan melahirkan semakin banyaknya pemilih rasional. Perang citra tidak hanya menipu masyarakat, tetapi juga melahirkan apatisme melihat realitas di lapangan yang tidak banyak perubahan dan ini akan mendorong peningkatan perliaku golput.

 

Selain itu pencerdasan politik akan membantu melahirkan kepemimpinan yang lebih baik karena pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang benar-benar mampu menggambarkan kebijaknnya ketika memimpin dan rakyat pun dapat menggunakannnya sebagai alat control jika kemudian pemimpin tersebut lalai menjalankan apa yang merepresentasikan kehendak mereka ketika memilihnya.

 

Pentas politik Amerika Serikat barangkali memberikan pelajaran positif ketika baik pasangan Obama-Biden dan McCain-Palin sama-sama memaparkan dan berkontestasi dengan pilihan tawaran keijakan masing-masing atas permaslahan energi, perpajakan, kesehatan, pendidikan, dan bahkan luar negeri. Hingga kemudian mereka menyerahkan pilihan kepada rakyat Amerika Serikat melalui mekanisme pemilihan tidak langsungnya.

 

Masih ada waktu bagi para partai politik untuk benar-benar melakukan pencerdasan politik yang baik. Kita masih memegang harapan Pemilu 2009 akan menjadi pintu bagi perbaikan Indonesia ke depan. Jika kemudian kita gagal memanfaatkan pesta demokrasi ini barangkali negeri ini tidak akan mengalami perubahan.

Iklan Politik Belum Mencerdaskan (original)

Iklan Politik Belum Mencerdaskan
Oleh Umar Badarsyah
Pemilihan Calon Legislatif tinggal kurang dari 3 bulan lagi. Partai-partai terutama partai besar dan yang memiliki kekuatan dana berupaya keras untuk menaikkan citra dan popularitasnya dengan memanfaatkan iklan-iklan di media, baik cetak maupun elektronik. Sayangnya, iklan-iklan yang selama ini beredar di masyarakat kurang dalam segi pencerdasan politik.

Iklan-iklan partai politik berada pada kendali politik citra. Keberadaan iklan-iklan digunakan untuk meningkatkan popularitas dan berupaya berebut mendapatkan pandangan positif masyarakat. Varian iklan-iklan politik citra ini meliputi eksploitasi kemiskinan dan masyarakat miskin petani dan nelayan; memanfaatkan kritik terhadap kebijakan incumbent; dan yang terbaru adalah rebutan dan saling klaim atas keberhasilan pemerintahan saat ini.

Iklan-iklan politik miskin atas pencerdasan produk politik. Partai-partai politik tidak mampu menghadirkan kepada publik apa yang sebenarnya mereka bawa, kebijakan apa yang akan mereka ambil ketika terpilih. Partai Gerindra yang paling sering terlihat di media televisi misalkan menggunakan kemiskinan, nasib petani dan nelayan sebagai alat kampanye tanpa menjelaskan kebijakan apa yang akan diambilnya untuk mengubah nasib mereka, Partai Hanura serupa senada dengan Gerindra. Partai Golkar dan Demokrat berebut menyebutkan keberhasilan pemerintahan saat ini tanpa juga mampu atau mungkin mau mengungkapkan kebijakan mereka ke depan.PKS pasca iklan kontroversial sumpah pemuda, bermain aman dengan memperbaiki citra sebagai Partai Kita Semua. PDIP barangkali selangkah lebih maju ketika mengeluarkan produk politik enam program yang akan dilakukan Megawati dalam 100 hari kepemimpinannya di bulan September 2008, sayangnya hingga kini tidak terdengar penjelasan yang lebih gamblang berupa tataran operasional dan implementasi konkret kebijakan tersebut untuk menguji visibilitasnya kepada publik, yang ada jargon-jargon lama seperti Partai Wong Cilik lebih sering diumbar.

Padahal pencerdasan politik terhadap publik teramat penting. Kemampuan partai politik dalam melakukan pencerdasan politik akan melahirkan semakin banyaknya pemilih rasional, perang citra tidak hanya menipu masyarakat tetapi juga melahirkan apatisme melihat realita di lapangan yang tidak banyak perubahan, dan ini akan mendorong peningkatan perilaku golput.

Selain itu pencerdasan politik akan membantu melahirkan kepemimpinan yang lebih baik karena pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang benar-benar mampu menggambarkan kebijakannya ketika memimpin, dan rakyat pun dapat menggunakannya sebagai alat kontrol jika kemudian pemimpin tersebut lalai menjalankan apa yang merepresentasikan kehendak mereka ketika memilihnya.

Pentas politik Amerika Serikat barangkali memberikan pelajaran positif ketika baik pasangan Obama-Biden dan McCain-Palin sama-sama memaparkan dan berkontestasi dengan pilihan tawaran kebijakan masing-masing atas permasalahan energi, perpajakan, kesehatan, pendidikan, dan bahkan luar negeri. Hingga kemudian menyerahkan pilihan kepada rakyat Amerika Serikat melalui mekanisme pemilihan tidak langsungnya.

Masih ada waktu bagi para partai politik untuk benar-benar melakukan pencerdasan politik yang baik. Kita masih memegang harapan Pemilu 2009 akan menjadi pintu bagi perbaikan Indonesia ke depan, jika kemudian kita gagal memanfaatkan pesta demokrasi ini maka barangkali negeri ini tidak akan mengalami perubahan.

Thursday 29 January 2009

Internationalism, a Growing Hope for Truthful Peace in Palestine

By Umar Badarsyah 

Since 27th December 2009 Israel attacked Gaza with bombs, and heavy artilleries. The assault ended for 23 days resulting over 1300 death casualties, more then 400 are children. The unproportionate attack also causing more then 5000 suffering severe injuries, and sent thousands Palestinians homeless because the attacks destroying their homes and public buildings. 

The attack we have seen as one of the worst human made catastrophes, the most heinous crime against humanity of 21st century. Ironically, it’s conducted by a nation its building based upon world’s shared view of condemnation of 20th century holocaust, Israel.

 The attack ended by one-sided ceasefire proclamation by Israel which then followed by HAMAS. The decision might be an outcome of multilateral meetings held by co-host France and Egypt at Sharm El-Sheikh urging Israel to stop their attack, but the way the so called self-defending democratic country ended it, seems merely because they felt their targets were met successfully as stated by Israeli Prime Minister Ehud Barak himself. Even Barrack Obama’s coronation ceremony might have been stronger taken into consideration rather then the meeting or any other international condemnations. 

 We do cherish the ceasefire, since it’s allowing thousands of victims and Gaza itself for a long and hard way to recover. But as respect of meaningful and truthful piece, another ceasefire is as flawless as the previous. The only way that we can put this to an end is by respecting Palestinians rights of self-determination against long term modern occupation they have suffered. 

Despite deep sorrows for what happened, a growing hope for everlasting peace in Palestine occurred. The hope is in the form of great international awareness about the tragedy happened in Palestine, an awareness that has never been so huge and widespread before. 

Traditionally, any times Israel perpetrated assaults to Palestine and Palestinians only Moslems World will react. But during this 2009 attack, we have seen so many protests from whole of the world of all continents from different races, and religions.

Peoples in Europe such in England, Scotland, Norway, Greece, France, and Belgium are set for rallies against Israeli attack. Hugo Chaves of Republic Bolivar of Venezuela along with the citizens leading other Bolivar connected countries of Latin America condemn Israel and sent the country representatives home to Tel Aviv. Japanese and Philippines set calls for anti war and peace for Palestine. Peoples in Australia also set for protests. Even in the backyard of Obama’s Capitol Hill, enshrined Americans protesting Israel’s attack and urging Obama’s administration sets a more just approach to the matter. These peoples: commoners, academicians, and politicians shared same awareness backing the Palestinians and condemning Israel.

At least there are two factors that growing the awareness: technology advancement, and human rights regime. Thanks to technology, the tragedies happened in Gaza are brought to our very own homes, offices, and private rooms, letting individuals see lively or delayed reports of the human made catastrophe occurred. Televisions and internet make the global world connected tight and borderless until facts couldn’t have being manipulated nor hide anymore, a grieve punch to one of Zionist protocols to control media. 

  Human rights are now accepted as international values by most peoples of the world. The world’s interactions evolved the western human rights values set in international laws documents became more and more acceptable by others (James Anaya,1996). Nowadays, human rights are common language used by peoples in the third worlds, north and south worlds, even in Moslems. The regime also sets peoples views and the way they things about what happens nowadays.

The bombings to Gaza’s civilians, among them kids and women, also the 18 months alienation by physical blockade prior to the attack are seen by world’s community as breaches of human rights. The Gaza Palestinians are tortured; facing their live threatened, and hindered to pursue their social, economic and political rights, conditions that easily draws sympathies of peoples those cherished their chance to enjoy such rights. These peoples are then marching into rally; screaming for boycott; allying to gain international support for Palestinians rights; urging and demanding their governments to take actions in line with their demands.

The UN Security Council’s Resolutions Number 1860 urging Israel to hold ceasefire is one of the results of the growing world’s awareness. Although it failed to be obeyed by Israel, the numbers of member countries agreed 14 leaving US administration an abstain considered as a positive sign.

For the first time in history, ashamed with the clawless UN Security Council response against Israel, President of General Assembly Father Miguel d'Escoto expressed his deepest concern for systematic problem of the council and talked about international law violations perpetrated by Israel. Miguel d’Escoto also proclaimed BDS campaign: boycott, divestment and sanctions to pressure Israel to ends its violations. Some countries as Indonesia raising the idea to bring the conflict resolution into the General Assembly account, which although less powerful then Security Council represents whole members of the UN with no veto.

The UN body under human rights regime acted further, the Human Rights Council made decision to send special investigators to observe human rights breaches in Gaza. Prior to the decision, special human rights rapporteur Richard Falks, known also as a noble professor of International Laws in Princeton University, reported the Israeli attack as a flagrant violation of international laws, and inhumanely worst.(The Huffington Post, 2 January 2009). The Human Rights Council decision will open the chance to draw Israel into the International Criminal Court, similar move has proven effective in the case of Yugoslavia, Rwanda and Khmer.

International organizations especially human rights based and humanitarian organizations such as Amnesty International, International Committee of the Red Cross (ICRC) and many others raise condemnation to Israel’s attack.

 The internationalism where all subjects of international laws: Nation-States, International Organization, International NGOs, and peoples of the world have started to make actions, are growing hope to the Israel-Palestine conflict resolutions. Our dream to live respectfully in peace based on mutual principle of equals rights and self-determination of peoples as stated in UN Charter are now in our own hands as citizens of the world. It is our task as part of the peace loving citizens of the world, despite any of races, religions, sex or any other differences to bring peace for the Palestinians!