Monday 30 June 2008

Generasi Juara

Sontekan kecil dari Torres yang unggul dalam perebutan bola atas Philip Lahm, mampu mengecoh Jens Lehman yang datang menghadang, bola pun bergulir masuk ke sudut kanan gawang Jerman. Gol tersebut merupakan satu-satunya gol yang tercipta dalam pertandingan puncak final EURO 2008. Gol itu berarti gol kemenangan bagi Spanyol yang untuk kedua kalinya sejak 44 tahun silam merengkuh Piala Henry Delauney. 

Sebelum final dilaksanakan banyak pengamat menilai Jerman memiliki peluang lebih besar untuk merengkuh juara. Ini didasarkan pada catatan sejarah negeri itu yang telah tiga kali keluar sebagai juara EURO, sebaliknya Spanyol punya predikat sebagai langganan calon juara, atau tim yang selalu digadang-gadang untuk menjadi juara karena banyaknya talenta yang dimiliki dan mutu permainan yang disuguhkan. Namun talenta yang berlimpah dan tehnik permainan yang tinggi sebelum kemarin tidak pernah mendapatkan hasil baik di tingkatan Eropa apalagi dunia.

Jika sejarah Tim nasional senior yang menjadi acuan maka memang itu faktanya. Perlu 44 tahun bagi tim nasional senior untuk dapat merasakan juara kembali. Sejarah yang berbeda akan kita lihat jika kita menilik prestasi tim nasional Spanyol di level junior, baik U-20, U-19, U-17, maupun U-16, para Spaniards muda dikenal sebagai para juara. Pada kejuaraan dunia U-20 Spanyol 3 kali masuk final dan sekali juara di tahun 1999 di Nigeria. Pada kejuaraan dunia U-17 Spanyol hanya tiga kali menjadi finalis tanpa sekalipun juara. Di level Eropa mereka adalah Raja. EUFA European U-21 Football Championship Spanyol empat kali masuk final dengan dua kali menjadi juara. Untuk kejuaraan U-19 mereka 7 kali menjadi juara hanya terpaut dua kali di bawah Inggris yang menjadi tim nasional yang paling banyak merebut juara pada kejuaraan tingkat Eropa tersebut. Pada kejuaraan UEFA U-17 yang selalu diadakan setahun sebelum kejuaraan dunia pada umur yang sama mereka 12 kali masuk final dan 8 kali keluar sebagai juara.

Darah-darah juara

Kecuali Marcos Senna yang merupakan pemain naturalisasi asal Brazil, Dani Guiza dan Kiper ketiga Andreas Palop maka para pemain Spanyol yang kini menjadi kampiun EURO 2008 adalah para juara di kejuaraan umur usia yang masing-masing mereka ikuti. Sebelum merasakan gelar juara di level senior mereka telah ‘terbiasa’ mencicipi gelar juara.

Sebut saja Fernando Torres dan Andres Iniesta yang keduanya bersama-sama memenangkan kejuaraan U-16(2001) dan U-19(2002)  Eropa. Di tahun 2004 David Silva, Sergio Ramos, Raul Albiol dan Ruben De La Red adalah para punggawa yang berhasil meraik juara U-19 Euro Champion. Pepe Reina menikmati status juara U-16 di tahun 2001 bersama Torres dan Iniesta. Daftar ini masih panjang dengan keberhasilan Cesc Fabregas menjadi juara Euro U-17 dan setahun setelahnya bersama David Silva hanya kalah dari Brazil di Final, Fabregas mencatatkan prestasi pribadi dengan menjadi pemain terbaik dan pencetak gol terbanyak.

Para darah juara ini dipimpin oleh juara dunia U-20 tahun 1999 di Nigeria, Saint Cassilas. Bersama Marchena dan Xavi, Spanyol sebagaimana dalam kejuaraan Euro 2008 menjadi tim tak terkalahkan hingga merebut juara. Xavi dan Marchena punya catatan lain dengan meraih perak di olimpiade 2000 bersama Puyol dan Capdevilla. Adapun Cassilas selain merasakan dua kali trofi liga Champion Eropa bersama Real Madrid, juga merupakan juara Eropa U-16.

 

Mitos, dan tangan dingin Aragones

Para darah juara ini diramu dan diracik oleh tangan dingin kakek-kakek bernama Luis Aragones. Mantan bomber Atletico Madrid yang kini berusia 70 tahun itu berupaya memanfaatkan mental juara para Spaniard muda yang sebagian besar dari mereka telah lama saling mengenal dan bekerja sama untuk menjajal peruntungan di tengah kesialan dan kutukan yang melanda timnas Spanyol di level senior.

Bisa jadi keputusan untuk tidak memanggil dua punggawa Real Madrid Raul Gonzales dan Guti Hernandez didasarkan alasan untuk memutus mata rantai kesialan yang menimpa tim Spanyol. Meski keduanya juga memiliki sejarah mengesankan di level junior tapi kegagalan yang panjang di level senior membuktikan keduanya tak mampu mendobrak jeratan kutukan seputar El Matador. Raul dan Guti adalah ikon era di mana perselisihan internal antara Castillas, Catalan dan pemain-pemain Basque masih tinggi. Aragones berkepentingan untuk memutus rantai itu. Berbekal para pemain yang telah lama saling mengenal, ia mencoba membuka babak baru.

Tidak hanya itu Aragones meletakkan beban untuk memimpin generasi baru Spanyol kepada Iker Cassilas alih-alih kepada Carles Puyol yang lebih senior dan selalu menjadi wakil kapten di masa Raul yang memimpin. Pilihan untuk menaruh beban pada Kiper terbaik Piala Dunia 1999 Nigeria sekaligus sang jawara tidaklah salah. Simak penampilan matang Cassilas pada kejuaraan ini. Ia tidak segan-segan berteriak menyemangati atau bahkan memaki rekan-rekannya yang lebih senior sekalipun. Kemampuannya yang mumpuni dengan hanya kebobolan 2 gol itupun hanya di babak penyisihan.  

Baja-baja yang terbaik tidak akan menjadi pedang yang tajam tanpa penanganan yang baik. Aragones adalah pandai besi yang mumpuni dalam meramu permainan dan memotivasi para pemainnya. Tidak hanya itu, kesiapan mental dan kemampuan para awak La Furia Roja telah lebih dulu dipersiapkannya dengan melakukan serangkaian pertandingan persahabatan melawan tim-tim juara, hasilnya Perancis dan Italia digebuk dengan skor yang sama 1-0.

Semua bahan untuk juara kini telah digenggaman. Aragones punya belati dan perisai ampuh untuk mengoyak serta menangkal kesialan dan pelbagai mitos yang menyelubungi prestasi timnas senior Spanyol. Tim jawara muda Spanyol tampil konsisten bahkan impresif sejak pertama kali menginjak rumput Euro. Russia ditaklukkan 4-1, Swedia 2-1, dan Yunani juara tahun sebelumnya dipaksa pulang tanpa hasil dengan skor 2-0.

Di perempat final Spanyol harus menghadapi mitos pertama. Tidak pernah lolos dari perempat final dalam kurun waktu 24 tahun terakhir, baik di kejuaraan Euro maupun Dunia. Tantangan yang dihadapi semakin besar tatkala lawan yang harus dihadapi adalah tak lain sang juara dunia Itali. Permainan tetap tidak berubah dengan skor 0-0 meski dua kali perpanjangan waktu telah dilakukan. Mitos selanjutnya, Penalti! Pada kejuaraan dunia 2002 di Korea Selatan mereka terhenti di perempat final melalui drama adu penalty melawan tuan rumah, padahal mereka baru saja lolos melalui drama yang sama di perdelapan final melawan Irlandia. Cassilas adalah saksi sejarah dan pelaku dalam dua drama adu penalti tersebut. Situasi ini merupakan ujian mental pertama dan bahkan mungkin yang paling menentukan dalam perjalanan tim Spanyol menjadi juara. Cassilas sukses memblok dua algojo Italia, Danielle De Rossi dan Di Natalie menjadi pecundang. Spanyol lolos setelah gerbong terakhir dan termuda dari La Furia Roja, Cesc Fabregas sukses menyarangkan gol, skor 4-2 untuk Spanyol.

Di Semifinal mereka telah lebih dulu ditunggu oleh Rusia yang telah mengalahkan Belanda yang tampil impresif di penyisihan grup. Rusia yang akan mereka hadapi adalah tim yang berbeda. Kali ini yang akan dihadapi bukan beruang tidur, tapi beruang yang telah menunjukkan taring dan cakarnya yang salah satunya mencuat pada diri Andre Arshavin. Tidak hanya itu, para banteng merah dihadapi dengan persoalan lain: mitos warna kuning!

Pada beberapa kesempatan melaju ke perempat final Spanyol gagal melangkah ke fase berikutnya, dan itu terjadi ketika mereka mengenakan kostum away berwarna kuning. Kekhawatiran untuk ditaklukkan pun semakin nyata saat 45 menit pertandingan berjalan tidak sesuai harapan, dan skor masih kacamata. Di sini peran Aragones dalam memainkan bidak caturnya sedemikian penting. Dua pergantian untuk dua gol pelengkap kemenangan. Setelah Xavi berhasil memasukkan gol pertama bagi Spanyol, Aragones memasukkan Fabregas. Pemain Arsenal ini kemudian memberikan dua assist kepada rekannya David Silva dan pemain pengganti Dani Guiza, skor 3-0 dan untuk kedua kalinya dalam 24 tahun setelah kalah di final oleh Perancisnya Michel Platini, Spanyol masuk final.

Tantangan di final tidak sembarangan, lawan yang mereka hadapi adalah tim yang paling banyak memenangi kejuaraan Euro (3 kali), Jerman! Tidak hanya itu , Jerman dikenal sebagai tim spesialis turnamen dan bermental juara.Statistik pertandingan juga menunjukkan grafik produktivitas Jerman sebelum masuk ke final meningkat, 2 kali lipat dari Spanyol yang hanya mencetak 3 gol pasca babak penyisihan, selain itu Jerman bermain dengan sangat efisien. Meski menjalani pertandingan semifinal tidak dengan baik, para pengamat dan dunia masih yakin Jerman lebih berpeluang untuk merebut juara. Masalah sejarah mental juara ini menjadi tantangan psikologis yang harus di hadapi oleh para matador muda.

Peluit kick off telah dibunyikan, Jerman mengambil inisiatif penyerangan, dan beberapa kali tusukan Jerman dari sisi kanan pertahanan Spanyol melalui Philip Lahm, Podolski dan Schweinsteger membahayakan Spanyol. Namun secara perlahan tapi pasti Spanyol memainkan umpan-umpan pendek cepat dan kreatif untuk mengambil alih permainan. Setelah dua kali mengancam gawang Jens Lehman, sebuah umpan terobosan Xavi mengundang adu lari dan duel fisik Fernando Torres dan Philip Lahm, keputusan Jens Lehman untuk maju menghadang menjadi keputusan pahit yang akan menandai akhir karirnya di timnas Jerman karena sontekan pelan Fernando Torres yang unggul dalam kecepatan dan tenaga menjadikan skor 1-0 bagi Spanyol, skor yang tidak berubah hingga peluit akhir pertandingan dibunyikan. Spanyol akhirnya juara!

Keberhasilan Spanyol mengoyak seluruh mitos dan kesialan yang menimpa selama 44 tahun akan menjadi modal besar mereka ke depan. Kini para jawara muda telah merasakan rasanya menjadi juara sesungguhnya, sekaligus menandai era generasi juara, gerbong yang dipimpin lokomotif Saint Cassilas dan dikawal oleh Cesc Fabregas, daftar gerbong ini masih panjang, setelah mereka masih ada Raul Garcia, Nunez, Diego Capel, Antonio Baragan, Fran Merida dan Bojan Krkic kita tunggu saja. Bravo La Furia Roja!!!

 

*Penulis adalah pencinta sepak bola dan pengamat timnas Senior dan Junior Spanyol sejak 1996