Friday 7 November 2008

Pemimpin Muda, Harapan yang Tertunda

Pemimpin Muda, Harapan yang Tertunda

Oleh :Umar Badarsyah

Terpilihnya Barrack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat berkulit hitam pertama dalan usia muda (47 tahun) membawa gairah menguatnya gagasan kepemimpinan muda di Indonesia. Namun realitas politik dan lemahnya sistem politik nasional dalam meregenerasi kepemimpinan menjadi kendala munculnya pemimpin-pemimpin alternatif pada pemilu 2009.

Realitas Politik

Jika tidak ada satupun Parpol atau Perorangan yang mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan pengaturan pasal 9 Undang-Undang Pemilihan Presiden (UU Pilpres)mengenai batas 20% kursi, atau 25 % suara, praktis jalan bagi pemimpin alternatif dalam Pemilu 2009 tertutup. Bahkan, jika sejumlah Parpol dan individu jadi mengajukan judicial review ke MK, penulis pesimis akan berhasil.

Hal ini dikarenakan MK sebagai guardiance of constitutionterikat dengan kesakralan redaksi UUD 1945, intrepretasi atas UUD tidak mungkin bertentangan dengan apa yang menjadi ’bunyi’ pada konstitusi. Dalam hal pengusungan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden , UUD 1945 dalam pasal 6A ayat 2 hanya mengenal jalur partai politik, kemudian pasal 6 ayat 2 mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dalam UU. Alhasil dinamika politik yang kemudian menelurkan ketentuan pasal 9 dari UU Pilpres tersebut memiliki landasan hukum yang kuat yang bahkan tidak satupun dari pasal 28C ayat (2), pasal 28D yang melindungi persamaan hak warga negara untuk memajukan diri dan berperan serta dalam pemerintahan dapat mematahkan sifat pengaturan pasal-pasal mengenai pencalonan pasangan Presiden-Wapres yang specialis sifatnya.

Dengan demikian sulit bagi kita untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin alternatif dari yang ada saat ini. Nama-nama seperti Megawati, pasangan SBY-JK kemungkinan besar akan ikut bertarung dalam pemilihan presiden nanti. Megawati yang diusung oleh PDIP, berkaca pada perolehan suara Pemilu 2004 dan 17 kemenangan di Pilkada Daerah nampaknya cukup punya modal untuk mencapai ketentuan UU Pilpres. SBY-JK, pasangan incumbent yang dianggap masih layak untuk dimajukan dengan modal popularitas dan rapor bagusnya dalam pemberantasan korupsi didukung kendaraan Partai Golkar dan Partai Demokrat, besar kemungkinan tidak akan menemui hambatan untuk dicalonkan, ini tentunya dengan syarat keduanya dan kedua parpol tersebut masih berkomitmen untuk tetap sekoci.

Wacana membangun kembali poros tengah sebagaimana terjadi pada Pemilu 1999 sebagai jalur alternatif untuk memajukan pemimpin alternatif pun akan memenuhi pelbagai hambatan. Tidak ada faktor pendukung yang cukup signifikan bagi partai-partai menengah seperti PKS, PAN, PKB dan PPP ditambah partai-partai baru untuk kembali membangun koalisi. Terlebih PKS jauh-jauh hari sudah mengumumkan calon-calon internalnya sendiri untuk dimajukan, dan gelagat politiknya menunjukkan koalisi dengan antara satu dari PDIP atau Partai Golkar lebih menjanjikan.PPP terlihat cenderung mendukung SBY. Partai-partai baru pun kadung memiliki calon-calonnya sendiri: Partai Gerindra yang mengusung Prabowo, Partai Hanura mengusung Wiranto,Partai Indonesia Baru yang mendukung Sultan Hamengkubuwono, dan sejumlah tokoh lain yang diusung masing-masing parpolnya. Persoalan siapa yang akan diusung juga akan menjadi permasalahan tersendiri di antara partai-partai tersebut, meski perjalanan waktu pemilu legislatif bisa menjadi acuan jago siapa yang nanti akan diusung bersama.

Pemimpin Muda Minim Modal

Jika batasan pemimpin alternatif adalah orang-orang di luar yang pernah berkuasa memimpin negeri ini, maka nama-nama seperti Wiranto, Prabowo, Sultan HB X termasuk di dalamnya. Lain soalnya jika yang dimaksud pemimpin alternatif adalah pemimpin muda yang tidak memiliki keterkaitan dengan ‘dosa-dosa’ orde lama. Wiranto dan Prabowo banyak dikaitkan dalam beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada medio 97-98, Sultan HB X memiliki catatan baik selaku satu dari empat tokoh yang dulu dikenal dengan sebutan Tokoh Ciganjur yang dianggap ikut membidani reformasi. Hanya saja fakta bahwa ketiga tokoh yang lainnya pernah merasakan tampuk kekuasaan eksekutif (Gus Dur dan Megawati) dan Legislatif (Amien Rais) barangkali memunculkan sinisme Sultan memanfaatkan ‘giliran’.

Penulis memilih batasan pemimpin alternatif yang kedua. Hanya saja pemimpin muda menghadapi dilemanya sendiri terlepas dari realitas politik yang mematikan langkah mereka untuk ikut bertarung. Nama-nama seperti Yuddy Chrisnandi,Fadjroel Rahman, Rizal Mallarangeng, Marwah Daud Ibrahim dan tokoh-tokoh muda lainnya tidak memiliki tingkat popularitas yang tinggi. Mereka pun tidak memiliki kendaraan politik yang kuat, kalaupun ya, masih harus berjuang dengan tokoh-tokoh tua yang memiliki pengaruh politik lebih kuat dalam partainya.

Tidak seperti Barrack Obama yang terlahir dari sistem politik dengan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan yang matang, nama-nama yang disebutkan di atas terlahir dari sistem politik yang mandek. Barrack Obama teruji sebagai senator, dan memiliki track record yang jelas tentang kecenderungan kebijakan yang didukungnya, dan pubklik bisa menilai kualitas kepemimpinannya. Kegagalan partai-partai politik sebagai alat utama dalam sistem politik kita dalam mempersiapkan kepemimpinan menjadikan nama-nama muda yang muncul masih diragukan kapasitasnya. Terlebih nama-nama yang muncul di luar sistem partai, publik tidak punya informasi yang kuat untuk percaya bahwa mereka memiliki kapasitas yang diharapkan.

Kegagalan sistem politik inilah yang dituding oleh Boni Hargens, pengamat politik UI, sebagai kemustahilan bagi kita untuk memproduksi Obama-Obama di negeri ini. Sebuah warning dan catatan yang harus segera kita benahi untuk menghadirkan pola kepemimpinan yang matang ke depan.

Alhasil, realitas politik dan kegagalan sistem politik kita menjadikan harapan munculnya pemimpin alternatif tertunda untuk tidak dikatakan mati. Namun, ini bukan berarti akhir dunia.

Ada pelajaran berharga yang patut kita ambil dari proses pemilihan presiden Amerika Serikat yang baru saja berakhir, terutama tiga babak debat kandidat presiden AS. Ketiga debat tersebut membuktikan terlepas kandidat tua maupun muda, mereka maju dengan program-program konkret berbasis ideologinya masing-masing untuk meyakinkan pemilih bahwa merekalah yang pantas untuk memimpin Amerika.

Obama terpilih tidak hanya karena dia muda, tetapi juga karena konsep kebijakan ekonomi yang ditawarkannya dianggap lebih baik oleh para pemilih. Obama menawarkan pajak progressif dengan pemotongan pajak bagi kelas menengah, menawarkan green energy untuk menjawab kebutuhan energi domestik yang sekaligus menyerap lebih dari lima juta pekerjaan baru, menghentikan insentif bagi perusahaan Amerika yang membawa lapangan pekerjaan ke luar negari dna mengalihkannya pada perusahaan-perusahaan yang membuka lapangna pekerjaan domsetik. McCain pun hadir tidak dengan tangan kosong tetapi juga dengan sejumlah formula ekonomi yang jelas dan terukur dengan tetap berpegang teguh pada trickle down effect kapitalisme, McCain tetap menawarkan insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan besar untuk mendorong kemajuan ekonomi, McCain juga memiliki konsep asuransi kesehatan yang jelas, dan tetap dengan kebijakan energii konservatif yang ekspansif.Enam dari sepuluh pemilih menyatakan ekonomi merupakan isu terbesar melebihi satu dari sepuluh untuk perang Irak. Jajak pendapat AP-CNN menunjukkan 53% dari pemilih ini memilih Obama, unggul 9% di atas McCain (Yohanes Sulaiman, Sindo6/11/08, dari AP-CNN).

Siapapun nantinya yang akan bertarung, kita harus mampu memastikan bahwa mereka memang mampu memimpin bangsa ini ke depan. Mereka wajib memaparkan solusi-solusi konkret yang ditawarkan untuk mengatasi pelbagai masalah tidak hanya di bidang ekonomi, dan energi tetapi juga kesehatan, pendidikan dan sektor-sektor penting lainnya. Sehingga kita tidak terjebak pada budaya memilih berdasarkan figuritas, seberapa baik citra yang dimiliki atau siapa anak siapa. Melainkan memilih karena kita menjatuhkan pilihan pada apa yang ditawarkan untuk membawa bangsa ini kepada kemajuannya.

Perlindungan Anak dan RUU Pornografi

Perlindungan Anak dan RUU Pornografi

Oleh :Umar Badarsyah

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Relawan Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia

Akhirnya setelah melalui proses yang panjang hampir lebih dari dua tahun semenjak Rancangan Undang-Undang Pornografi diambil alih inisiatif pengajuannya oleh DPR RI, sebanyak delapan fraksi setuju untuk membawa Rancangan Undang-Undang Pornografi (RUU Pornografi) dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan sedang dua fraksi yang sedari awal 'menolak' bersikap kukuh. Persetujuan ini diambil dalam rapat kerja Pansus RUU Pornografi, Selasa (28/10) malam.(Republika, 28 Okt 08)

Bagi Aliansi Selamatkan Anak Indonesia (ASA Indonesia) perkembangan ini merupakan suatu hal yang teramat menggembirakan, dan merupakan kabar baik bagi upaya perlindungan terhadap anak dari bahaya pornografi. Terlebih fakta di lapangan menunjukkan semakin lama RUU ini disahkan semakin banyak anak yang menjadi korban baik langsung maupun tidak langsung dari bahaya pornografi. Sebagai bukti, Komisi Perlindungan Anak Indonesia sejak awal tahun hingga pertengahan Oktober ini telah menerima 454 laporan kasus anak yang sebagian besarnya berupa laporan kejahatan seksual baik terhadap anak maupun dilakukan oleh anak akibat dorongan pornografi. Jika kita melihat itu sebagai fenomena iceberg maka berapa banyak kasus lain yang tidak dilaporkan oleh KPAI? Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta dalam Pertemuan Cikini yang digagas oleh Aliansi Selamatkan Anak Indonesia dan dihadiri oleh puluhan institusi pendukung RUU Pornografi,memaparkan keprihatinannya ketika mengunjungi 12 Lapas Anak se-Indonesia dan mendapatkan lebih dari 80% anak-anak yang terpidana akibat kasus pencabulan atas dorongan konsumsi materi pornografi.Kasus-kasus kejahatan terhadap anak maupun yang dilakukan oleh anak akibat pornografi pun dapat dengan mudah kita temui dan baca di media cetak beberapa tahun belakangan ini.

Fakta-fakta inilah yang kemudian menjadikan keberadaan suatu UU yang dapat melindungi anak dari bahaya pornografi sangat urgen.

Salah satu alasan yang sempat mengemuka dari kalangan yang menolak keberadaan RUU Pornografi dalam kaitannya dengan perlindungan anak adalah perlindungan anak dari bahaya pornografi telah tercantum dan diatur dalam UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002). Alasan lain yang juga dikemukakan adalah bahwa RUU ini justru ditakutkan malah akan mengkriminalisasi anak.

UU Perlindungan Anak Tidak Cukup

UU Perlindungan Anak memang telah mengatur perlindungan anak dari pornografi tetapi sebagian saja itupun dengan redaksi perlindungan anak dari eksploitasi seksual sebagaimana diatur dalam pasal 59 dan 88. Berikut kutipan pasal-pasal tersebut:

Pasal 59

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 88 Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal ini hanya akan menjerat produsen pornografi anak, padahal anak menjadi korban pronografi bukan hanya atas materi pornografi anak tetapi juga pornografi yang melibatkan orang-orang dewasa.

Ada beberapa perspektif dalam memandang anak sebagai korban pornografi:

  1. Anak menjadi korban pornografi karena terampas haknya untuk tumbuh dan berkembang secara wajar, serta memiliki masa depan karena pemikiran, mentalitas, bahkan fisiknya dirusak oleh pornografi.
  2. Anak menjadi korban pornografi karena dieksploitasi secara seksual untuk menjadi subjek materi pornografi.
  3. Anak menjadi korban pornografi karena terdorong menjadi pelaku kejahatan seksual berupa pencabulan,pemerkosaan hingga pemerkosaan yang berakibat pembunuhan dan terampas masa depannya,terpidana akibat mengkonsumsi pornografi.
  4. Anak menjadi korban kejahatan seksual berupa pencabulan, pemerkosaan hingga pembunuhan oleh pelaku anak-anak maupun dewasa yang terdorong melakukan perbuatan pidana akibat pornografi.

Berbekal pelbagai perspektif tersebut maka perlindungan anak terhadap bahaya pornografi harus dilakukan dengan tidak hanya mencegah akses anak terhadap pornografi tetapi juga orang dewasa terhadap pornografi. Pencegahan akses terhadap pornografi meliputi pelarangan produksi, distribusi hingga konsumsi pornografi. UU Perlindungan Anak hanya meliputi sebagian kecil dari upaya pencegahan ini, yaitu pelarangan disertai pemidanaan bagi orang-orang yang mengeksploitasi anak secara seksual. Perlindungan akses anak dari mengkonsumsi pornografi sendiri belum diatur oleh UU ini.

Jika mengacu pada draft resmi terakhir yang dikeluarkan oleh DPR kepada publik, tertanggal 4 September 2008,pencegahan akses anak terhadap pornografi dengan tegas disebutkan dalam pasal 16 RUU Pornografi: Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.

Seluruh kegiatan dalam siklus pornografi sejak produksi, distribusi hingga konsumsi dibatasi dan dilarang dalam pasal 4 hingga 6 RUU Pornografi, bahkan kegiatan memfasilitasi dan menawarkan diri menjadi objek materi pornografi dilarang oleh ketentuan pasal 7 hingga 10 pada draft yang dilansir ke publik tersebut. Pasal 11 RUU itu kemudian menegaskan pelarangan pelibatan anak pada seluruh kegiatan yang dilarang pada pasal 4 hingga 10.

Dunia internasional juga menilai Indonesia belum memiliki hukum yang memadai dalam melindungi anak dari bahaya pornografi. End Child Pornography, Prostitution and Trafficking for Sexual Purposes (ECPAT), sebuah organisasi internasional yang melakukan advokasi atas kejahatan sexual anak, dalam Global Monitoring Report tahun 2006-nya memberikan dukungan dan rekomendasi masukan atas RUU Pornografi karena hukum Indonesia dianggap belum sesuai dengan definisi internasional tentang pornografi anak dan perlindungan anak dari bahaya pornografi.

Dengan demikian dalam Perlindungan Anak dari bahaya pornografi keberadaan RUU Pornografi menjadi pelengkap dan penyempurna bagi upaya perlindungan anak atas bahaya pornografi dan sejalan dengan tujuan perlindungan atas hak-hak anak secara keseluruhan.

RUU Pornografi Mengkriminalisasi Anak?

Sempat pula mengemuka alasan penolakan RUU Pornografi karena dikhawatirkan justru akan mengkriminalisasi anak. Penulis ingin mengatakan bahwa ya RUU ini kelak jika menjadi UU akan mengkriminalisasi anak. RUU ini juga akan mengkriminalisasi perempuan, sebagaimana juga akan mengkriminalisasi laki-laki, tua muda dan tak peduli SARA apapun semuanya akan dikriminalisasi.

Penting untuk ditanyakan, apa yang dimaksud dengan mengkriminalisasi? Mengkriminalisasi anak? Jika yang dimaksudkan selama ini bahwa RUU hanya akan menjadikan anak-anak terpidana padahal mereka sesungguhnya adalah korban dari pornografi, maka itu keliru. Jika melihat pengaturan dalam draft RUU ini, maka kelak orang-orang yang ikut bertanggung jawab dalam mendorong anak-anak yang terpidana akibat materi pronografi akan ikut terjerat. Selama ini hukum tidak mampu secara efektif menjamah orang-orang yang memproduksi, dan mendistribusikan pornografi hingga dapat diakses oleh anak-anak yang kemudian melakukan tindak pidana akibat dorongannya. RUU ini akan menjerat orang-orang yang secara ironis mendapatkan keuntungan materil saat masa depan anak-anak tersebut terampas.

Jika yang dimaksud dengan mengkriminalisasi anak berarti memenjarakan anak-anak maka para pihak penentang tidak adil dalam memandang suatu Ius Constituendum bernama RUU Pornografi ini karena berapa banyak Ius Constitutum atau hukum positif yang ada dan berpotensi memenjarakan anak? Pasal-pasal dalam KUHP saja semisal pencurian, pembunuhan dan pemerkosaan saja niscaya dapat mengkriminalisasi anak jika konteksnya demikian.

Frase barang siapa dalam KUHP dan setiap orang dalam redaksi yang tertera dalam draft RUU Pornografi abai gender dan usia, dia mensasar semuanya, termasuk persoon hukum tak bergender bernama badan hukum. Oleh karena itu penulis menyatakan RUU ini kelak akan mengkriminalisasi anak, perempuan, laki-laki tua muda dan dari SARA manapun.

Akan tetapi mari kita lihat mengapa sesorang itu kemudian dipidana. Telah menjadi asas umum dalam hukum pidana bahwa tiada seorang pun dapat dipidana kecuali ada kesalahan.Dalam hal pelanggaran atas delik pornografi yang akan diatur dalam RUU inianak-anak, perempuan, laki-laki tua muda dan orang dengan latar SARA manapun hanya akan dipidana jika ia terbukti melakukan kesalahan yang dirumuskan dalam tiap-tiap pasalnya.

Dalam hukum pidana pertanyaan itu tidak berhenti pada apakah ada kesalahan yang diperbuat tetapi melaju pada pertanyaan selanjutnya, apakah orang yang melakukan kesalahan dapat dimintakan pertanggungjawaban,dan sejauh mana pertanggungjawaban itu bisa dikenakan.

Dalam konteks tindak pidana yang dilakukan oleh anak kita memiliki UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mengatur batasan usia anak, kategorisasi usia anak dan bentuk pemidanaan yang dikenakan pada masing-masing kategori usia. UU ini mengatur dengan tegas bahwa terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak hanya dapat dikenakan jenis-jenis pidana dan kadar yang ditentukan dalam UU ini yang mana standarnya lebih rendah ketimbang orang-orang dewasa, pun UU ini mensyaratkan sistem Pengadilan Khusus bagi anak-anak. Sehingga alasan RUU mengkriminalisasi anak terlebih digunakan sebagai alasan menolak pengesahan RUU Pornografi tidak hanya lemah dan tidak berdasar tetapi juga kontra produktif dalam upaya melindungi anak dari bahaya pornografi.

Landasan Hukum RUU Pornografi

Telah menjadi tujuan dan cita-cita pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menuju kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan Pancasila sebagai penentu arah, grundnorm dari upaya perwujudannya. Kesejahteraan umum yang hendak dicapai meliputi keseluruhan pembangunan materiil dan spirituil termasuk di dalamnya menjaga dan mempertahankan identitas moral bangsa. Pornografi merupakan materi yang merusak moral dan kehidupan berbangsa, ia menjadi penghambat dari cita-cita dasar tujuan NKRI ini. Oleh karena itu, keberadaan RUU Pornografi ini memiliki landasan filosofis yang kuat untuk menjadi instrumen dalam mengarah pada tujuan yang dicita-citakan.

Selain memiliki dimensi moralitas yang kuat menuju cita-cita negara, RUU ini juga kental dengan dimensi perlindungan warga negara karena pornografi tidak hanya memicu terjadinya tindak pidana tetapi juga merusak masyarakat sosial, dan dalam kaitannya dengan anak sebagai penerus generasi bangsa, pornografi mengancam masa depan kita.Oleh karena itu perlindungan terhadap bahaya pornografi menjadi hak setiap warga negara Indonesia dan hak kolektif bangsa ini. Upaya perlindungan terhadap hak warga negara merupakan materi yang layak untuk diatur dalam undang-undang (Prof Maria:1998)

UU Perlindungan Anak memberikan landasan yuridis atas keberadaan RUU Pornografi. Pasal 66 UU ini menyatakan :

(1)Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2)Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :

a.penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b.pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c.pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

(3)Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Simak ayat (2) huruf a pasal tersebut. Kata-kata berkaitan dengan perlindungan anak menunjukkan bahwa UU ini membuka kemungkinan adanya ketentuan peraturan perundang-undangan lain berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara seksual. Jika ia hanya membatasi diri pada sosialisasi UU Perlindungan Anak saja maka redaksi seharusnya menjadi ”...sosialisasi undang-undang ini..”, atau ”..sosialisasi UU Perlindungan Anak..” Artinya UU ini mengisyaratkan perlu ada peraturan perundang-undangan lain yang melindungi anak dari eksploitasi seksual termasuk di dalamnya pornografi.UU baik menurut UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maupun doktrin ilmu perundang-undangan merupakan salah satu bentuk dari peraturan perundang-undangan. Dengan demikian RUU Pornografi memiliki landasan yuridis untuk diberlakukan dalam hukum positif Indonesia.

Jika dibandingkan dengan pengaturan negera-negara lain Indonesia jauh tertinggal. Amerika Serikat sudah memiliki peraturan mengenai pornografi sejak abad-19, hingga kini terdapat anti-obscenity law untuk mengatur pornografi , dan sejak 1982, Mahkamah Agung Amerika mengeluarkan New York Law untuk melarang pornografi anak(Moeflich hasbullah), [1] hingga aturan termutakhir tahun 1996 MA mengeluarkan Child Pornography Prevention Act. Kanada bahkan memiliki dua komisi pengawas keberlakuan peraturan yang melarang pornografi, Badgley Comittee untuk mengawasi pornografi anak, dan Fraser Committee untuk mengawasi pornografi dan prostitusi umum(Patra M. Zein).[2] Negeri Jiran Malaysia, dan Singapura melarang pornografi. Tiga aturan hukum Children and Young Person Act, Undesirable Publication Act, dan Film Censor Act menjadi pilar perlindungan warga negara Singapura dari bahaya pornografi, hingga majalah-majalah porno semacam Playboy terlarang di negeri sekuler tersebut. Melihat dampak pornografi yang sedemikian buruk bagi negeri ini dan lemahnya aturan hukum yang kita miliki dalam melindungi anak dari bahaya pornografi, keberadaan RUU Pornografi mutlak diperlukan.

Akhirnya upaya untuk melindungi anak dari bahaya pornografi sudah sedemikian mendesak. Kita tidak lagi ingin ada putera-puteri penerus bangsa ini menjadi korban dari pornografi. Kita juga berharap orang-orang yang paling bertanggung jawab atas hancurnya masa depan mereka mendapatkan ganjaran yang setimpal. RUU Pornografi adalah harapan kita, dan jaminan masa depan kita.

Patut disayangkan jika ada dua fraksi yang masih menolak RUU Pornografi ini. Padahal proses pembahasan yang berlangsung dalam dua minggu terakhir dalam pantauan ASA Indonesia, pelbagai perbedaan yang terjadi di tengah-tengah masyarkat telah diakomodir oleh Panitia Kerja DPR. Termasuk kekhawatiran disintegrasi bangsa berkenaan dengan pengaturan pasal 14 yang mana sedari awal, sebagaimana dalam catatan kami pada uji publik di kantor Meneg Pemberdayaan Perempuan dan uji-uji publik sebelumnya, masyarakat yang pro maupun kontra mendesak pasal ini dihapuskan.

Untuk Anak Indonesia, mari kita sama-sama dukung pengesahan RUU Pornografi ini!


[1] www.pikiran-rakyat.com: Pornografi, Cermin dari AS

[2] http://jiwamerdeka.blogspot.com/: Catatan singkat atas RUU Pornografi

Pornografi, Cermin dari AS

www.pikiran-rakyat.com

Pornografi, Cermin dari AS

Oleh MOEFLICH HASBULLAH

DI tengah-tengah proses kebangkrutan moral yang kini terus-menerus melanda
publik Indonesia, rencana pemberlakuan UU Anti Pornografi dan Pornoaski (UU
APP) masih diiringi perdebatan. Kaum akademisi dan cendekiawan meributkan
masalah istilah, konsep dan definisi "pornografi," kaum feminis
mempersoalkan agar pornografi tidak hanya dialamatkan kepada perempuan saja
tetapi juga laki-laki, dan kubu "liberal" mengusung kebebasan ekspresi kaum
perempuan sebagai hak asasi otonomi tubuh.

Di awal-awal pemberlakuan Di Amerika Serikat, UU pornografi sering mengalami
kesulitan disebabkan perbedaan persepsi antara hakim, juri, pengacara, dan
publik tentang pengertian cabul dan porno. Namun demikian, obscenity and
pornography (cabul dan pornografi) secara umum didefinisikan sebagai istilah
untuk menentukan tulisan, rekaman atau gambar, termasuk gambar bergerak,
dimana masyarakat menganggap sebagai cabul dan memengaruhi orang.

Karena UU Anti Pornografi untuk mengatur masyarakat, jadi ukurannya adalah
pandangan masyarakat dan pengaruhnya pada orang, bukan pandangan individu.
Pengertian obscenity sendiri adalah istilah yang mengacu pada bahasa atau
perilaku yang diyakini merusak moral publik, sedangkan pornografi lebih
diarahkan pada bahan-bahan cetakan dan gambar dimaksudkan untuk menumbuhkan
stimulasi seksual seseorang.

Tetapi intinya, sama dengan saat kelahiran UU Anti-cabul (Anti-obscenity) di
Amerika, masyarakat Indonesia pun terbagi ke dalam dua kubu. Kubu pertama
meyakini pornografi menyumbangkan peran terhadap kebangkrutan moral
masyarakat, dan kubu kedua, UU Pornografi bertentangan dengan kebebasan
berekspresi (freedom of expression) masyarakat, terutama kaum wanita,
seperti diungkapkan oleh Gadis Arivia, Dosen Filsafat Universitas Indonesia
(PR, 9/1).

Tentang munculnya gagasan UU Pornografi ini, bangsa Indonesia yang dikenal
religius jauh ketinggalan dibanding Amerika Serikat yang diklaim sekuler.
Dalam beberapa hal, bukan hanya ketinggalan, Amerika jauh lebih serius,
lebih tegas dan lebih keras dalam memerangi pornografi. Sebagai cermin atas
kontroversi di Indonesia, sejarah penanganan pornografi di Amerika Serikat
mungkin bisa menjadi pelajaran.

Di negara Paman Sam itu, gagasan memberlakukan UU Pornografi sudah muncul
sejak abad ke-19. Kongres Amerika untuk pertama kalinya meloloskan UU untuk
memerangi tindakan cabul sebagai bagian dari Tariff Act tahun 1842.
Undang-undang ini menyatakan perilaku tidak senonoh dan cabul (indecent and
obscenity) sebagai perbuatan ilegal. Setelah itu kemudian lahir Comstock Law
tahun 1873 yang melarang korespondensi yang menyertakan hal-hal yang berbau
cabul atau sensual. Hukum ini dimaksudkan untuk menjerat dan mengganjar para
pengedar pornografi ke pengadilan, juga untuk menyiapkan sistem sensor bagi
para pejabat kantor pos, tanpa harus kepengadilan. Jika para petugas kantor
pos menemukan barang-barang seperti buku, gambar dan surat lain yang berbau
cabul atau porno, mereka akan menahannya dan tidak mengirimkannya. Kantor
Pos Amerika sudah menjalankan Comstock Law ini kurang lebih selama 93 tahun.

Tahun 1957, Mahkamah Agung Amerika mengeluarkan peraturan bahwa kebebasan
pers sebagaimana dijamin UU-- tidak termasuk hal-hal yang bernuansa cabul
dan porno, meskipun tidak memberikan uraian rinci tentang pengertian cabul
dan porno itu. Tahun 1970, berdasarkan laporan tidak ditemukannya
bukti-bukti bahwa pornografi telah memicu kejahatan orang dewasa atau
pelanggaran di antara anak-anak muda, Komisi Nasional tentang Perilaku Cabul
dan Pornografi kemudian merekomendasikan agar pemerintah AS mengganti
seluruh perangkat hukum yang melarang penjualan pornografi. Tetapi UU itu
juga merekomendasikan agar setiap negara bagian tetap melarang penjualan
gambar cabul kepada anak-anak muda.

Tahun 1973, untuk mengatasi kontroversi istilah yang masih terjadi di
masyarakat, Mahkamah Agung kemudian membuat rumusan untuk menentukan sesuatu
bisa disebut cabul atau tidak. Menurut rumusan MA itu, sesuatu dianggap
cabul bila mengandung unsur-sunsur sebagai berikut (1) jika produk (printed
materials atau bukan) dibuat untuk stimulasi seksual atau kepentingan nafsu
birahi, (2) jika produk itu mengekspos gambar-gambar porno secara jelas,
vulgar dan terbuka, terutama yang dianggap cabul menurut definisi hukum, (3)
jika gambar-gambar porno itu tidak mengandung nuansa seni, sastra, politik
atau kepentingan ilmu pengetahuan.

Mahkamah Agung kemudian memerintahkan agar menggunakan definisi ini sebagai
hukum antipornoaksi (anti-obscenitiy laws) di masing-masing negara bagian
untuk menyatakan sesuatu disebut cabul/porno atau tidak demi penegakan
hukum. Pada tahun 1982, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan New York Law
yang melarang dengan tegas penggunaan anak-anak dalam pornografi dan
penjualan bahan-bahan porno yang melibatkan anak-anak. Tahun 1986, Komisi
Pornografi Jaksa Agung, kelompok yang bergerak khusus dalam riset tentang
pornografi, mendesak pelaksanaan UU lebih keras lagi untuk pengaturan
barang-barang cabul dan porno. Lembaga ini juga menyerukan kontrol ketat
atas program TV kabel dan bisnis barang-barang seputar adult only, dan
mendesak hukuman penjara lebih lama bagi para pelanggar UU Anti Pornografi
ini terutama yang mengeksploitasi anak-anak.

Banyak negara sekuler sudah menerapkan UU APP ini sejak lama seperti
Amerika, Kanada, Italia, dan Irlandia. Sampai tahun 1997, beberapa negara
lain seperti Denmark, Inggris, dan Israel pernah berusaha mencabut UU itu,
tetapi tetap saja dihadapkan pada masalah dilematis: memimpikan kebebasan
tetapi dengan risiko kebangkrutan moral publik. Karena tidak mungkin
dihapuskan, maka pengaturan secara ketat dan penegakan hukum secara tegas
adalah solusinya. Kuatnya komitmen penegakan aturan tentang pornografi di
berbagai negara menunjukkan bahwa pornografi sudah menjadi common enemy
(musuh bersama) dan terdapatnya common sense (pemahaman bersama) universal
bahwa pornografi dan pornoaksi berperan terhadap kebangkrutan moral
masyarakat, selain kebangkrutan moral itu diciptakan oleh faktor-faktor lain
seperti korupsi, penyelewengan kekuasaan, perjudian, obat-obat terlarang,
dan yang lainnya.

Adalah fakta yang sudah menjadi konklusi publik bahwa di Indonesia,
kebebasan pers, media porno, dan tayangan-tayangan cabul dalam televisi
termasuk acara-acara yang mempertontonkan kekerasan seksual sangat liberal
melebihi negara-negara maju. Liberalitas ini karena tiadanya pengaturan
hukum, acara-acara dewasa di televisi dipertontonkan dalam prime time yang
ditonton anak-anak, barang cetakan cabul dan porno bisa dibeli di mana saja
dan oleh siapa saja, goyang pinggul yang vulgar dan mengumbar nafsu birahi
diidolakan sebagai hak asasi, hak tubuh yang otonom, kebebasan perempuan dan
media karier. Tetapi, masih ada harapan karena basis liberalitas di
Indonesia bukan anutan paham pemikiran melainkan efek negatif dari impotensi
hukum. Impotensi hukum menyebabkan masyarakat menjadi permisif, menjadi
masyarakat yang seolah tanpa kontrol, tanpa kendali, tanpa etika.
Terbentuknya kultur permisif ditopang oleh ide-ide hak asasi sekuler dan
impian kebebasan.

Indonesia perlu segera menerapkan UU ini karena kita ketinggalan jauh.
Apalagi bangsa ini memiliki ironi, dikenal religius tetapi menempati jajaran
papan atas dan peringkat tertinggi dalam berbagai hal yang memalukan,
korupsi, produksi dan penggunaan obat terlarang, lemahnya penegakkan hukum,
angka kemiskinan, tingkat pengangguran, kesemrawutan lalu lintas, kasus
perkosaan, jumlah korban AIDS/HIV, dan lain-lain. Seperti di Amerika,
pengaturan secara ketat dan penegakan hukum yang tegas melalui UU Anti
Pornografi dan Pornoaksi adalah satu langkah positif dalam usaha
mengeliminasi kebangkrutan moral bangsa. Dari negara sekuler kita bisa
bercermin. Cermin sekuler itu ternyata bening dan tampaklah wajah kita yang
bopeng dalam cermin itu. Setelah tahu bopeng mari kita haluskan
bagian-bagian wajah kita yang kasar, kotor dan berdebu!!***

Penulis, Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Depok, Jawa
Barat.

Negara (Tukang) Hukum

Negara (Tukang) Hukum

Oleh : Umar Badarsyah

Peneliti Muda Institute for Sustainable Reform Insure

Lembaga Kajian Strategis

Pendahuluan

Pada titik 100 tahun Kebangkitan Indonesia, 63 tahun pasca kemerdekaan Republik tercinta ini masih saja ada pekerjaan rumah besar untuk segera dituntaskan demi kebangkitan yang dicita-citakan. Pekerjaan itu seputar penegakan rule of law. Sejak kelahirannya negara ini telah menganut prinsip negara hukum, dan sejak perubahan ketiga UUD 1945 di tahun 2001 pasal 1 ayat 3 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Oleh karenanya upaya menegakkan rule of law telah menjadi cita yang inheren dalam Negara ini.

Sayangnya cita negara hukum belum sepenuhnya tegak berdiri di Republik ini. Hal ini dapat dilihat dalam dunia penegakan hukum pidana di Indonesia. Dugaan salah tangkap pada kasus pembunuhan Asrori akhir-akhir ini sedikit banyak bisa mewakili sejauh mana rule of law ditegakkan.

A.V. Dicey mengurai tiga ciri penting dalam negara Rule of law, yaitu supremacy of the law, equality before the law, dan due process of law.[1] Supremacy of the law merujuk pada adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Equality before the law mempersyaratkan adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Tidak boleh ada diskriminasi dalam bentuk apapun yang menghalangi setiap penduduk negara atas hak memperoleh persamaan kedudukan dalam hukum. Sedangkan due process of law merupakan rambu yang mempersyaratkan seluruh organ dalam negara termasuk pemerintahan bergerak atas perundang-undangan yang berlaku berdasarkan prinsip legalitas.Dalam dugaan salah tangkap pembunuhan Asrori ketiga ciri utama rule of law ini ternodai.

Kasus pembunuhan Asrori sendiri bermula dari diketemukannya sosok mayat di sebuah kebun tebu di Jombang pada 29 September 2007 silam. Berdasarkan ciri-ciri fisik yang diakui keluarga.polisi menetapkan korban bernama Asrori (28). Pada medio Oktober 2007 dua orang tersangka, yakni Imam Kambali alias Kemat dan Devid Eko Priyanto ditangkap dan diproses secara hukum hingga kemudian pada 8 Mei 2008 PN Jombang memvonis Kemat 17 tahun dan David 12 tahun pidana kurungan. Seorang tersangka lain yang diduga ikut terlibat, Maman Sugianto alias Sugik masih dalam proses persidangan.

Dugaan salah tangkap mencuat saat sang Jagal Jombang, Ryan membuat pengakuan kontroversial bahwa korban kesebelas dari rangkaian pembunuhan yang dilakukannya bernama Asrori. Lewat test DNA oleh Laboratorium Forensik Kepolisisan mayat Mr.X yang digali dari pekarangan rumah Ryan di Jombang cocok dengan DNA kaka kandung Asrori yang diduga dibunuh oleh Kemat cs. Bahkan kini Markas Besar Kepolisian RI kemarin mengumumkan bahwa mayat yang semula diduga Asrori adalah Fauzin Suyanto warga Ploso, Nganjuk. Ironisnya, bukti DNA ini tidak mengubah pendirian pihak kepolisian bahwa telah terjadi salah tangkap. Padahal selain bukti nyata tes DNA tersebut, pengakuan para terdakwa yang mengalami penyiksaan selama proses penyidikan, dan kejanggalan dua rekonstruksi kejadian yang berbeda-beda semakin memperkuat indikasi salah tangkap tersebut.

Bukan Kali Pertama

Institute for Sustainable Reform menelusuri kasus-kasus salah tangkap yang beredar di media elektronik dan menemukan setidaknya tiga kasus yang salah satu di antaranya adalah kasus Sengkon Karta yang terjadi di tahun 70-an.Dua kasus lainnya adalah kasus Budi Harjono yang secara kebetulan terjadi di wilayah kewenangan relatif yang sama dengan kasus Sengkon-Karta, Pengadilan Negeri Bekasi. Satu kasus lainnya yang menjadi perhatian banyak media elektronik adalah kasus Pengadilan Sesat Gorontalo.

Ada beberapa persamaan yang mengkhawatirkan yang menghubungkan keempat kasus di atas.Pertama, pada ke-empat kasus di atas para tersangka mengaku mengalami penyiksaan oleh oknum-oknum penyidik pada tahap penyidikan dan dipaksa untuk mengakui tindak pidana yang terjadi. Kedua, kecuali kasus Sengkon-Karta yang terjadi sebelum Undang-Undang no. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku(KUHAP), para tersangka tidak diberikan haknya untuk mendapat bantuan hukum cuma-cuma meski pidana yang disangkakan lebih di atas 5 tahun, padahal pasal 56 dari UU tersebut menjamin hak untuk mendapatkan bantuan hukum. Pada kasus Pengadilan Sesat bahkan kerangka mayat yang sebelumnya diduga sebagai korban tidak melalui visum et repertum. Manipulasi BAP dengan tidak memasukkan keterangan saksi yang menyangkal keterlibatan para tersangka juga terdeteksi pada beberapa kasus-kasus tersebut (lihat tabel bawah).

Aksi nekrofilik para oknum penyidik terhadap tersangka merupakan pelanggaran langsung atas prinsip rule of law.[2] Di dalam acara pidana asas praduga tak bersalah mesti ditegakkan, bahwa para tersangka tidak boleh diperlakukan layaknya penjahat dengan menggunakan metode-metode kekerasan. Selain itu keberadaan KUHAP sebenarnya telah menggantikan aturan warisan kolonial dengan menggeser asas pemeriksaan inquisitorial yang lebih mengejar pengakuan, dan menerapkan asas akusator di mana pemeriksaan dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan.[3] Pergeseran prinsip ini dimaksudkan untuk melindungi hak asasi para tersangka serta melindungi mereka dari penyiksaan yang kerap kali dipakai demi mengejar pengakuan. Sayangnya meski asas itu telah menjadi bagian dari Hukum Acara Pidana Nasional tetapi ia belum menjadi living law dan tertanam pada para penegak hukum kita. Metode penyiksaan seolah-olah masih menjadi warisan genetik para pelindung masyarakat.

Meski telah menggeser asas pemeriksaan, UU no. 8 Tahun 1981 turut ikut andil dalam membiarkan praktik ini terjadi. Hal ini dikarenakan UU tentang Hukum Acara Pidana tidak mengatur mengenai status alat bukti yang didapat melalui proses-proses pemeriksaan yang tidak sah dan melanggar HAM. KUHAP hanya mengatur hak tersangka/terdakwa untuk mengajukan pra-peradilan atas upaya paksa yang tidak sah, semacam penahanan dan penangkapan yang melanggar due process of law. Oleh karena itu potensi peradilan sesat sangat mungkin terjadi ketika kasus telah melewati tahap penyidikan. Seluruh keterangan yang tertera dalam BAP, tanpa peduli ia didapat melalui proses hukum yang benar atau tidak, menjadi raw material bagi proses penuntutan dan pemeriksaan sidang. Pihak penuntut umum dan hakim sangat mungkin merasa dia telah menjalankan tugas sebaik-baiknya karena ia berpedoman pada sumber yang salah, ditambah posisi psikologis terdakwa yang lemah dalam pemeriksaan sidang untuk mengafirmasi apa yang tertera dalam BAP, vonis pun dijatuhkan.

Selain itu ketiadaan sistem jaminan bantuan hukum terhadap para tersangka terutama yang berpendidikan rendah dan berekonomi lemah memperparah penegakan hukum di Indonesia. Padahal ini merupakan wujud konkret dari prinsip equality before the law. Dalam kasus Risman dan Rostin sejak tahap penyidikan mereka tidak didampingi oleh penasehat hukum, bahkan untuk sekedar diberitahu adanya hak mereka untuk mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma pun tidak mereka dapatkan. Penasehat hukum memiliki fungsi untuk menjaga proses hukum yang berlangsung dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, sekaligus memastikan hak-hak tersangka/terdakwa dipenuhi. KUHAP hanya meletakkan dasar keberadaan jaminan itu pada pasal 56. Hanya saja tidak didukung dengan kelembagaan bantuan hukum dan pendanaan yang memungkinkan bagi siapapun tersangka atau terdakwa yang memenuhi syarat undang-undang bisa menikmati haknya.

Momentum Pembenahan

Tragedi mayat Asrori yang memakan korban Kemat dan Devid bisa menjadi berkah jika kiranya seluruh elemen bangsa menjadikan momentum ini untuk mempercepat dan menuntaskan reformasi integral struktur penegakan hukum nasional. Setidaknya ada tiga hal yang menurut penulis perlu kita lakukan bersama-sama. Pertama, mempercepat RUU tentang KUHAP. Kedua, mendorong RUU Bantuan Hukum,dan ketiga menuntaskan Reformasi Kepolisian.

RUU KUHAP telah masuk ke dalam program legislasi nasional tahun 2008 ini, hanya saja sampai saat ini DPR belum terdengar sekalipun melakukan pembahasan. Salah satu wacana yang bisa membantu proses perbaikan penegakan hukum adalah adanya hakim komisaris yang memiliki kewenangan untuk menjamin keabsahan proses-proses hukum yang berlangsung. Sehingga diharapkan kasus-kasus yang ditengarai semenjak proses penyidikannya dijalani dengan cara-cara yang melanggar UU seperti penyiksaan, dan manipulasi BAP tidak dapat diteruskan kepada proses lanjutan pada tahap penuntutan dan pemeriksaan sidang. Hakim komisaris juga dapat memberikan hak tersangka dan terdakwa untuk memperoleh rehabilitasi dan ganti rugi atas proses-proses yang tidak sesuai dengan Undang-Undang.

Pelbagai pelanggaran proses hukum yang menjadikan para tersangka dan terdakwa sebagai korban juga tidak perlu terjadi jika sekiranya kita telah memiliki sistem jaminan atas bantuan hukum yang memadai. KUHAP hanya memberikan landasan keberadaan bantuan hukum bagi rakyat tidak mampu, begitupun UU Advokat, hanya saja hal ini tidak disertai dengan dukungan institusionalisasi bantuan hukum dengan pendanaan yang memadai. Sebagai perbandingan Belanda sudah memiliki UU Bantuan Hukum sejak tahun 1994 dan telah diamandemen thaun 2000, Australia tahun 1976, bahkan Afrika Selatan negeri yang lebih belakang merdeka dan banyak terinspirasi oleh kemerdekaan kita, sejak tahun 1969 telah memiliki UU Bantuan Hukum (LBH Jakarta:2007). Keberadaan UU Bantuan Hukum penting untuk benar-benar menjamin bahwa bantuan hukum bisa diaksess oleh masyarakat yang membutuhkan. Hal ini dikarenakan dengan keberadaan UU Bantuan Hukum tidak hanya ada jaminan keberadaan institusi bantuan hukum tapi juga pengawasan pelaksanaannya dan dukungan dana dari pemerintah. Hingga saat ini RUU Bantuan Hukum belum masuk Prolegnas, padahal sejak thaun 2005 kumpulan Lembaga Bantuan Hukum telah menyusun draft RUU Bantuan Hukum dan memberikannya kepada pemerintah yang kemudian berkomitmen menjadikannya RUU inisiatif pemerintah. Adalah tugas kita untuk kemudian terus mendorong lahirnya UU Bantuan Hukum ini.

Aparat kepolisian sebagai ujung tombak penegakan hukum menjadi sorotan utama dalam kasus salah tangkap ini. Keberadaan kasus ini menunjukkan reformasi kepolisian belum sepenuhnya mengarah pada perubahan yang ktia harapkan. Reformasi kepolisian sebenarnya telah dimulai sejak pemisahan institusi kepolisian dari TNI berkat Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, Tap MPR No. VII/MPR/2000 Tentang Peran dan Fungsi TNI dan Polri dan disempurnakan dengan keberadaan UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hanya saja proses share vision untuk menjadikan polisi sebagai sahabat masyarakat masih dirasa kurang, semangat itu belum menjadi sesuatu yang inheren pada tiap pribadi bapak-bapak polisi kita. Profesionalitas dan kapasitas polisi kita harus ditingkatkan. Pola rekrutmen polisi yang kini hanya menerima calon polisi dari pendidikan S1 diharapkan mampu meningkatkan kinerja kepolisian ke depan. Hal yang lebih penting adalah political will dari pemerintah dan petinggi Polri untuk benar-benar menuntaskan reformasi kepolisian ini. Adalah tugas dan tantangan bagi Bambang Hendarso Danuri dan hendaknya seluruh elemen menyuarakan untuk segera menuntaskan reformasi kepolisian. Kita sedemikian merindukan polisi yang benar-benar sahabat masyarakat, pelayan masyarakat. Kita pasti merindukan polisi semacam Pak Kitabashi dalam tulisan opini Reza Indragiri (Indopos, 2 September 08) yang dengan penuh sahaja berkata,”Bagi polisi seperti kami, tugas tidak hanya menuntut tambahan keterampilan kerja.Yang terpenting adalah menjalin kasih sayang dengan masyarakat...”

Mengawal RUU KUHAP, mendorong lahirnya UU Bantuan Hukum dan menuntaskan reformasi institusi kepolisian menjadi tugas bagi seluruh elemen bangsa. Ini merupakan tugas penting untuk benar-benar menegakkan cita negara hukum, agar negara ini tidak lagi menjadi Negara tukang menghukum. Fiat justitia perat mundus.


[1] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer.. Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana HukumFakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004

[2] Tom Saptaatmaja. Salah Hukum di Tengah Kultur Nekrofilia. Surya-Online, 2 september 2008

[3] Yahya Harahap. Pembahasan Permaslahaan dan Penerapan KUHA Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 89

Upaya Mengusung Undang-Undang Bantuan Hukum

Ulasan Kebijakan:

Upaya Mengusung Undang-Undang Bantuan Hukum

Disusun Oleh : Umar Badarsyah

Pendahuluan

Salah satu ciri utama dari negara hukum demokrasi adalah persamaan perlakuan di depan hukum, equality before the law. Prinsip ini belum sepenuhnya ditegakkan di negara Republik Indonesia tercinta yang telah menegaskan dirinya sebagai negara hukum dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3. Hal ini bisa dilihat dari minimnya akses bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Padahal dalam prinsip persamaan hukum, setiap orang tanpa kecuali, memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, termasuk akses mendapatkan bantuan hukum.

Kebutuhan masyarakat miskin atas bantuan hukum cuma-cuma sangat tinggi. LBH Jakarta dalam laporannya[1] menyebutkan setidaknya dalam 5 tahun terakhir lebih dari 5000 kasus diterima dan sebanyak 96.681 orang diperkirakan terbantu. Hingga tahun 2006 terdapat 1.123 kasus yang diterima dan orang yang dibantu sebanyak 10.015 jiwa. Jika dibandingkan dengan data BPS tahun 2007 yang menyebutkan jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 37,17 juta (16,58 persen) maka dapat disimpulkan prosentase penduduk miskin yang membutuhkan bantuan hukum cuma-cuma sangat besar. Padahal tidak jarang kita melihat tersangka atau terdakwa yang dikarenakan ketidakmampuannya secara ekonomi harus berhadapan dengan aparat hukum sendirian.

Atas dasar lemahnya jaminan bantuan hukum bagi mereka yang miskin, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan LSM-LSM yang bergerak di bidang advokasi publik mendorong pemerintah untuk membuat Undang-Undang Bantuan Hukum. Mereka mendesak agar RUU Bantuan Hukum masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di tahun 2008 ini.

Bantuan Hukum Vs Komersialisasi

Sebenarnya keberadaan bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu sudah diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 56 yang berbunyi:

(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman lima belas tahun atau lebih atau mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

Begitupun dengan Undang-Undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal 22 Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa Advokat wajib memberikan bantuan hukum cuma-cuma pada para pencari keadilan yang tidak mampu. Hanya saja aturan tersebut belum menjadi the living law dikarenakan tidak adanya aturan yang terperinci untuk menjamin keberlangsungannya.

Pada prakteknya menurut Frans H. Winata, anggota Komite Hukum Nasional[2], yang terjadi selama ini adalah adanya kesemrawutan konsep bantuan hukum dengan kemunculan kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut biaya (fee) yang menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan kewajiban dari advokat.

Selain itu, budaya (life style) yang berkembang di lingkungan advokat juga menjadi sorotan. Penggolongan advokat sebagai profesi yang mulia (officium nobellium) menemukan ironi tatkala komersialisme menerpa para pembela publik ini. Komersialisasi itu terlihat dari gaya hidup para advokat yang mewah, dengan kantor mewah, setelan kemeja dan jas mewah, yang keseluruhannya dianggap biasa demi menaikkan citra dalam upaya berkompetisi merebut kepercayaan para klien. Hal ini berdampak pada tingginya nilai ekonomis jasa layanan hukum. Kini advokat menjadi profesi yang komersil. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Asfinawati[3], advokat akan memilih kasus-kasus yang menguntungkan dirinya secara materi. Dengan demikian akses masyarakat miskin untuk mendapatkan bantuan hukum semakin sempit.

Urgensi/signifikansi Bantuan Hukum

Keberadaan bantuan hukum merupakan suatu keharusan dalam negara hukum. Pada negara hukum terdapat prinsip-prinsip yang harus ditegakkan. Salah satu di antaranya adalah persamaan perlakuan di depan hukum. Bahwa tidak boleh ada perlakuan diskriminatif kepada siapapun dengan alasan apapun baik itu ras, suku, agama, gender dan status sosial. Sayangnya di negara kita diskriminasi itu kerap kali terjadi, baik di lapangan hukum pidana, perdata, maupun kebijakan publik.

Pada ranah hukum pidana masyarakat miskin kerap kali menjadi korban ketidakadilan hukum. Akses mereka terhadap hak-hak yang semestinya mereka peroleh kerap ditutupi atau tidak diberikan oleh pihak aparat.Seperti hak mereka untuk dikunjungi keluarga, hak mereka untuk mendapatkan bantuan hukum, hak mereka untuk menjalani pemeriksaan tanpa tekanan dan siksaan, hak mereka untuk segera diahukan dalam pengadilan, hak mereka untuk meminta penangguhan penahanan atas alasan yang diperbolehkan UU. Kasus Sengkon-Karta tidak hanya terjadi diera 70-an saat aturan hukum acara pidana masih warisan penjajah tetapi terulang saat UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang bernafaskan perlindungan HAM sudah berjalan puluhan tahun. Di tahun 2002 ada kasus Budi Harjono yang sempat dipenjara selama 6 bulan penjara atas tuduhan membunuh ayah kandungnya sendiri, dia kemudian dibebaskan setelah pembunuh sebenarnya tertangkap. Di tahun yang sama Risman- Rostin pasangan suami istri divonis penjara 3 tahun atas tuduhan pembunuhan terhadap Alta, putri kandung Risman sendiri. Setelah mereka menjalani penuh hukuman mereka publik gempar karena si anak yang diduga mati tiba-tiba hidup dan kembali pulang. Kasus terakhir terjadi baru-baru ini atas diri Kemat dan David, mereka disangka membunuh Asrori yang ternyata keliru berdasarkan pemeriksaan DNA dan pengakuan sang pembunuh sebenarnya, Ryan. Kasus-kasus ini bisa jadi merupakan fenomena gunung es yang sering terjadi di lapangan, akibat lemahnya komitmen penegakan hukum dan perlindungan hak-hak hukum masyarakat miskin.

Di wilayah hukum perdata status sosial mereka sudah terlebih dahulu menetapkan posisi kasus mereka manakala lawan yang dihadapi adalah orang, atau badan yang memiliki status yang lebih tinggi, atau bahkan badan pemerintah yang melakukan perbuatan hukum perdata. Ini terlihat dalam banyak kasus-kasus sengketa tanah.

Masyarakat miskin juga menjadi pihak yang paling rentan atas kebijakan publik. Mereka tidak memiliki daya untuk mempertahankan hak-hak hukumnya dari kebijakan penggusuran, pengusiran, dan relokasi tempat usaha, padahal tidak jarang mereka memiliki legalitas yang kuat, atau setidaknya memiliki legalitas ‘palsu’ dikarenakan keterlibatan oknum aparat tetapi tetap saja, hak-hak mereka terabaikan akibat lemahnya akses mereka atas keadilan dalam sistem hukum kita.

Kasus-kasus yang telah disebutkan di atas tidak perlu terjadi kiranya kita memiliki sistem bantuan hukum yang memadai. Keberadaan sistem ini sangat penting tidak hanya untuk menjamin hak-hak hukum masyarakat miskin tetapi juga untuk menegakkan keadilan hukum itu sendiri.

Bantuan Hukum Sebagai Hak Konstitusional

Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Secara ekstensif pasal ini juga berarti negara bertanggung jawab memberikan jaminan hak ekonomi, sosial, politik, dan budaya serta hukum bagi fakir miskin, termasuk di dalamnya hak atas bantuan hukum. Terlebih lagi pasal 28D menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 pada pasal 14 juga melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan hukum yang sama tanpa adanya diskriminasi. Dengan demikian hak mendapatkan bantuan hukum merupakan hak konstitusional bagi masyarakat di negara ini, tanpa terkecuali juga terhadap masyarakat miskin.

Posisi RUU Bantuan Hukum

Usulan RUU Bantuan hukum sudah bergulir sejak 12 Juni 1967. Ketika itu Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (kini Badan Pembinaan Hukum Nasional atau BPHN) telah mengusulkan RUU Bantuan Hukum yang terdiri dari 7 bab dan 34 pasal. RUU tersebut kemudian ditinjau kembali pada tahun 1975 dan 1977. Peninjauan itu didasari oleh beberapa alasan. Di antaranya penyelarasan substansi RUU Bantuan Hukum dengan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun, RUU Bantuan Hukum tersebut belum pernah diajukan ke parlemen untuk dibahas.

Pada April 2006 lalu usulan RUU Bantuan Hukum kembali mencuat, kali ini diusung LBH. RUU Bantuan Hukum yang diusung oleh LBH ini merupakan hasil kajian gabungan LBH-LBH nasional, termasuk di dalamnya YLBHI, melalui pelbagai seminar dan lokakarya sejak 2005 silam. Kemudian pada 14 Maret 2008, delegasi YLBHI telah bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta untuk membahas tentang posisi RUU Bantuan Hukum. Pertemuan itu ditindaklanjuti dengan pertemuan antara YLBHI dengan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM, Abdul Wahid Masru, pihak pemerintah berkomitmen untuk menjadikan RUU Bantuan Hukum in imenjadi inisiatif Pemerintah, dan berupaya untuk menggolkannya pada Program Legislasi nasional tahun ini.

Sampai ulasan ini diturunkan RUU Bantuan Hukum belum masuk ke dalam Prolegnas 2008.



[1] Asfinawati, Bantuan Hukum Akses Masyarakat Marjinal Terhadap Keadilan, LBH Jakarta, 2007

[2] Frans Hendar Winata, Dasar Konstitusional Bantuan Hukum, Suara Pembaruan 23 Agustus 2007

[3] Asfinawati, Ibid.