Sunday 6 September 2009

Yehuda Hiss: Rantai yang Hilang dalam Kasus Pencurian Organ Tubuh Orang-Orang Palestina?

Yehuda Hiss: Rantai yang Hilang dalam Kasus Pencurian Organ Tubuh Orang-Orang Palestina?
Oleh Jonathan Cook – Nazareth

Sebagaimana diterjemahkan secara bebas oleh Umar Badarsyah dari artikel asli berjudul “Yehuda Hiss: Missing Link in Palestinian Organ Theft”,

Upaya pengkaburan masalah dari para pemimpin Israel(1) terhadap sebuah cerita yang diterbitkan sebuah koran Swedia bulan lalu (2) yang menduga bahwa pasukan Israel membantu pencurian organ dari orang-orang Palestina telah mengalihkan perhatian dari tuduhan mengganggu keluarga-keluarga Palestina yang menjadi dasar klaim artikel koran tersebut.

Keluarga-keluarga itu khawatir bahwa kasus kerabat-kerabat mereka, yang dibunuh oleh tentara Israel, yang diambil organ tubuhnya lewat otopsi illegal di Israel telah ditutupi dengan tuduhan mengulang “blood libel”* langsung kepada sang reporter, Donald Bostrom, dan kepada harian Aftonbladet, juga kepada rakyat dan pemerintah Swedia.

*”blood libel” adalah tuduhan kepada orang-orang Yahudi atas praktik pemujaan dengan meminum darah korban, tuduhan ini ikut mendasari perlakuan anti-semit dan holokus kepada orang-orang Yahudi pada masa antar Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Dengan mengatakan David Bostrom, harian, serta pemerintah dan rakyat Swedia melakukan tuduhan blood libel, Israel berupaya memutar lagu lama, selaku korban holokus, dan mengutuk upaya itu sebagai ancaman serius terulangnya pembantaian terhadap Yahudi.

Saya tidak tahu apakah cerita itu sendiri benar atau tidak. Seperti sebagian besar jurnalis yang bekerja di Israel dan Palestina, saya telah mendengar rumor-rumor tentang hal itu sebelumnya. Sebelum Bostrom menuliskan karyanya, tidak ada jurnalis barat, sejauh yang saya tahu, telah melakukan investigasi terhadap tuduhan itu. Selama bertahun-tahun, asumsi yang berkembang di antara para jurnalis adalah bahwa hanya terdapat sedikit harapan untuk mendapatkan bukti – kecuali secara literal dengan menggali kuburan mayat-mayat tersebut- untuk mengungkapnya. Tanpa diragukan, tuduhan tak terelakkan menyebar anti-semitisme bagi laporan mengenai hal tersebut, merupakan faktor kuat keengganan para jurnalis untuk melakukan investigasi.

Apa yang mengejutkan dari drama kali ini adalah bahwa keluarga-keluarga yang melakukan tuduhan itu tidak diberi kesempatan untuk didengar pada akhir 1980 and dan awal 1990 an, ketika intifada yang pertama, di mana sebagian besar laporan dugaan pencurian organ-organ tubuh itu muncul, hingga kini pun terus mendapatkan hak mereka untuk berbicara diabaikan.

Sensitivitas Israel terhadap tuduhan pencurian organ- atau ‘panen’, sebagaimana banyak pengamat menggunakan kata yang lebih halus terhadap praktek itu – justru mengangkat kepentingan murni keluarga-keluarga tersebut untuk mengungkap siksaan yang mungkin saja terjadi kepada orang-orang yang mereka cintai.

Bostrom telah banyak dikritik terhadap sedikitnya bukti yang dia hasilkan untuk mendukung ceritanya yang menghebohkan. Memang terdapat banyak hal untuk dikritisi dari tulisannya dan dari presentasi laporan harian tersebut.

Hal yang paling signifikan, Bostrom dan Aftonbladet membiarkan diri mereka menjadi obyek tuduhan anti-semitisme – setidaknya dari kacamata pejabat Israel sebagai sesuatu yang salah – melalui sebuah kesalahan penilaian yang besar.

Mereka memperkeruh air dengan mencoba membuat koneksi hubungan yang lemah antara tuduhan keluarga-keluarga Palestina terhadap pencurian organ tubuh manusia selama otopsi tanpa persetujuan, dengan temuan terpisah bulan ini tentang sekelompok Yahudi Amerika yang tertangkap melakukan pencucian uang dan penjualan organ-organ tubuh manusia.(3)

Dalam upaya membuat hubungan itu, Bostrom dan Aftonbladet memberi kesan bahwa masalah pencurian organ sebagai sesuatu yang terkini ketika mereka hanya mampu menghadirkan sejumlah contoh dari dugaan di awal 1990an. Mereka juga secara tidak langsung menyatakan, baik itu disengaja atau tidak, bahwa tindakan yang dituduh dilakukan oleh tentara Israel tersebut entah bagaimana bisa dinisbatkan sebagai tindakan yang bisa diatribusikan kepada orang-orang Yahudi secara umum.

Reporter Swedia itu seharusnya lebih berkonsentrasi pada pertanyaan berdasar dari keluarga-keluarga itu tentang mengapa militer Israel, dengan otorisasi mereka sendiri, mengambil mayat-mayat lusinan orang Palestina yang dibunuh oleh tentaranya, kemudian menjalankan otopsi kepada mayat-mayat itu tanpa izin dari keluarga dan mengembalikan mayat mereka untuk dikuburkan dalam upacara yang diadakan dengan pengamanan yang ketat.

Artikel Bostrom mengangkat kasus seorang Palestina, berusia 19 tahun, Bilal Ahmed Ghanan, dari desa Imatin sebelah utara Tepi Barat, yang terbunuh di tahun 1992. Gambar mengejutkan tubuh Bilal yang terjahit menemani laporan tersebut (4)

Bostrom telah menyatakan kepada media Israel bahwa ia tahu lebih dari 20 kasus keluarga-keluarga yang mengklaim bahwa tubuh orang-orang yang mereka kasihi dikembalikan dengan bagian-bagian tubuhnya menghilang, (5) hanya saja dia tidak mengatakan apakah ada satu di antara insiden yang dituduhkan ini muncul baru-baru ini.

Di tahun 1992, pada tahun yang menjadi pusat pertanyaan, Bostrom mengatakan, militer Israel mengakui kepadanya bahwa mereka melakukan otopsi terhadap 69 dari 133 orang-orang Palestina yang meninggal akibat sebab-sebab tidak alami. Pihak militer belum membantah bagian ini dari laporan tersebut.

Pertanyaan berdasar dari para keluarga yang diangkat oleh Bostrom adalah: mengapa pasukan militer Israel menginginkan otopsi dilakukan? Kecuali bisa dibuktikan bahwa militer Israel menginginkan dilakukannya investigasi terhadap kematian-kematian itu- dan nampaknya tidak ada tanda-tanda bahwa mereka punya keinginan melakukan itu- otopsi tidak perlu dilakukan.

Pada faktanya, otopsi itu sangat tidak perlu dilakukan. Upaya melakukan otopsi konter-produktif jika kita berasumsi bahwa militer Israel tidak berkepentingan mengumpulkan bukti yang bisa digunakan, di masa mendatang, untuk mengadili tentara-tentaranya atas kejahatan perang.

Apa yang menjadi keprihatinan yang mendalam dari keluarga-keluarga korban adalah fakta bahwa semasa mayat-mayat orang yang mereka cintai diambil oleh tentara untuk diotopsi, satu-satunya institusi di Israel yang melakukan otopsi tersebut, Rumah Sakit Abu Kabir, dekat Tel Aviv, telah nyata menjadi pusat perdagangan organ-organ tubuh manusia yang kemudian belakangan menjadi sebuah skandal di dalam Israel sendiri.

Fakta yang sama mengkhawatirkannya, adalah dokter di belakang pembajakan bagian-bagian tubuh manusia, Prof Yehuda Hiss, direktur terpilih institute Abu Kabir di akhir 1980-an, belum pernah dipenjara meski telah mengakui praktek pencurian organ itu dan terus menjabat sebagai Kepala Pathologist Negara di institut tersebut.

Hiss bertanggung jawab terhadap otopsi orang-orang Palestina,saat Bostrom mendengarkan keluhan keluarga-keluarga Palestina tersebut di tahun 1992. Hiss setelah itu diperiksa dua kali, di tahun 2002 dan 2005, atas pencurian bagian-bagian tubuh manusia dalam jumlah besar.

Tuduhan-tuduhan terhadap perdagangan illegal organ-organ tubuh manusia yang dilakukan oleh Hiss, pertama kali terungkap di tahun 2000 melalui investigasi para reporter koran Yediot Aharonot, yang melaporkan bahwa dia memliki “daftar harga” untuk bagian-bagian tubuh manusia dan dia telah menjual terutama ke Universitas-universitas Israel dan sekolah-sekolah kedokteran (6)

Bahkan tanpa terdeteksi oleh laporan-laporan harian tersebut, Hiss masih menyimpan banyak organ-organ tubuh dalam tanggung jawabnya di Abu Kabir ketika pengadilan Israel memerintahkan penggeledahan di tahun 2002. Media nasional Israel melaporkan waktu itu:”Dalam kurun tahun-tahun terakhir, para pemimpin institute itu, nampaknya telah memberikan sejumlah organ-organ tubuh manusia untuk penelitian tanpa izin, sementara mengelola sebuah gudang penyimpanan organ-organ tubuh manusia di Abu Kabir.” (7)

Hiss tidak membantah perampasan organ-organ tubuh itu, mengakui bahwa bagian-bagian tubuh itu berasal dari para tentara yang tewas dalam tugas, dan telah dikirimkan ke institute-institut medis dan rumah sakit-rumah sakit untuk kepentingan pengembangan penelitian. Mudah untuk memahami jika keluarga-keluarga korban Palestina tidak begitu saja puas dengan penjelasan Hiss. Jika izin keluarga dari para tentara Israel saja bisa diabaikan oleh Hiss, maka mengapa izin keluarga-keluarga Palestina juga tidak?

Hiss dibiarkan untuk melanjutkan jabatan direktur Abu Kabir hingga tahun 2005 ketika tuduhan terhadap sebuah perdagangan organ-organ tubuh manusia kembali mengemuka. Pada kejadian ini Hiss mengakui telah mengizinkan pengambilan bagian-bagian tubuh dari 125 mayat tanpa izin otorisasi. Melalui pembelaan tawar menawar dengan Negara, penuntut umum memutuskan untuk tidak mendakwa dengan tuduhan criminal dan Hiss hanya dikenakan sebuah teguran. (8) Dia sejak itu terus menjabat sebagai kepala Pathologist di Abu Kabir.

Penting juga untuk dicatat, bahwa Bostrom menunjukkan, bahwa di awal 1990 an Israel mengalami kekurangan akut donor organ-organ tubuh manusia, bahkan hingga Ehud Olmert, saat itu menteri kesehatan, menerbitkan kampanye publik mendorong orang-orang Israel untuk menjadi donor. Hal ini menawarkan penjelasan yang mungkin terkait sepakterjang Hiss. Dia bisa saja memegang andil dalam upaya mengurangi defisit itu.

Melaui fakta-fakta yang telah diketahui, setidaknya pasti ada suatu kecurigaan kuat bahwa Hiss mengambil organ-organ tubuh manusia tanpa otorisasi dari orang-orang Palestina yang diotopsinya. Baik isu ini, maupun kemungkinan peran militer menyediakan Hiss mayat-mayat, perlu investigasi.
Hiss juga terlibat pada skandal panjang dan tak terpecahkan yang lain di awal-awal berdiri Israel di tahun 1950an, ketika anak-anak imigran baru Yahudi ke Israel dari YAman diadopsi oleh pasangan-pasangan Ashkenazi setelah para orang tua dari Yaman itu diberitahu bahwa anak mereka telah mati, (9) umumnya setelah masuk rumah sakit.

Setelah sebuah upaya pengungkapan awal, para orang tua Yahudi dari Yaman terus menekan untuk mendapatkan jawaban dari Negara, dan memaksa para pejabat untuk membuka kembali kasus-kasus itu. Orang-orang Palestina layak untuk mendapatkan keadilan yang serupa.

Hanya saja tidak seperti orangtua Yahudi keturunan Yaman, kesempatan mereka untuk mendapatkan investigasi dalam bentuk apapun, secara transparan atau tidak, hanya merupakan harapan yang sia-sia.
Ketika tuntutan keadilan orang-orang Palestina tidak didukung oleh investigasi para jurnalis atau protes-protes dari komunitas Internasional, Israel bisa mengabaikan tuntutan itu dengan aman.

Penting untuk mengingat dalam konteks ini upaya konsisten berulang-ulang dari kelompok perdamaian di Israel bahwa okupasi empat dekade yang brutal terhadap orang-orang Palestina telah sedemikian mendalam membuat masyarakat Israel korup.

Ketika militer menikmati kekuasaan tanpa akuntabilitas, bagaimana orang-orang Palestina, atau kita, tahu apa yang boleh dilakukan oleh tentara-tentara itu dengan dalih pendudukan? Apa kendali-kenadi yang bisa dijadikan pijakan untuk mencegah kesewenang-wenangan? Dan siapa yang mengadili mereka jika mereka memang melakukan kejahatan-kejahatan?

Sama halnya, ketika para politisi Israel bisa berteriak “blood libel” atau “anti-semitisme” jika mereka dikritik,mereka bisa menghancurkan reputasi orang-orang yang mereka tuduh, apa insentif yang mereka dapatkan untuk menginisiasi penyelidikan yang dapat membahayakan mereka sendiri, atau institusi yang mereka awasi? Alasan apa yang mereka miliki untuk berlaku jujur ketika mereka bisa memukul sebuah kritik menjadi diam dengan godam, tanpa berakibat apapun bagi mereka sendiri?

Ini adalah arti dari frase “Kekuasaan itu Mengkorupsi” dan para politisi serta para tentara Israel, juga setidaknya seorang pathologist (Hiss), secara demonstratif memiliki terlalu banyak kekuasaan – terlebih khusus terhadap orang-orang Palestina di bawah pendudukan.

-Jonathan Cook adalah seorang penulis dan jurnalis yang tinggal di Nazareth, Israel. Buku terbarunya adalah “Israel and Clash of Civilizations: Iraq, Iran and the Plan to Remake the Middle Eas”(Penerbit: Pluto Express) dan “Disappearing Palestine: Israel’s Experiments in Human Despair”(Penrebit: Zed Books). Website beliau www.jkcook.net. Dia mengkontribusikan artikel ini ke PalestineChronicle.com

Organ Tubuh Anak-Anak Kami Dijarah

Organ Tubuh Anak-Anak Kami Dijarah
Oleh Donald Bostrom

Diterjemahkan dari Article Our Sons Plundered for Their Organs yang dimuat dalam salah satu media terpandang di Swedia dan mengundang reaksi kemarahan Israel.

Penerjemah : Umar Badarsyah


Kau boleh memanggil saya mak comblang, ucap Levy Uzhak Rosenbaum, dari Brooklyn, Amerika Serikat, dalam sebuah rekaman rahasia dengan seorang agen FBI menyamar, yang disangkanya seorang klien. Sepuluh hari kemudian, akhir Juli tahun ini (2009), Rosenbaum ditangkap dan kegemparan , bak drama Soprano,atas kasus pencucian uang dan penjualan organ tubuh manusia mengemuka. Pencomblangan yang dilakukan Rosenbaum tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan cinta. Itu semua berkenaan dengan jual beli pasar gelap ginjal dari Israel. Rosenbaum mengatakan bahwa dia membeli ginjal-ginjal itu sehar $10.000, dari orang-orang miskin. Dia kemudian menjual organ-organ itu kepada para pasien yang putus asa di negara-negara bagian (AS)seharga $160.000. Pengungkapan itu telah menggempakran usaha transplantasi Amerika. Jika hal ini benarm berarti untuk pertama kalinya penyelundupan organ manusia terdokumentasi di AS, demikian ungkap para ahli kepada harian New Jersey Time News.

Ketika ditanya mengenai berapa banyak organ-organ tubuh manusia yang telah dijualnya, Rosenbaum menjawab: “cukup banyak dan saya tidak pernah gagal,” sumbarnya. Usaha itu telah berjalan cukup lama. Francis Delmonisci, profesor bedah transplantasi Harvard dan anggota Dewan direktur National Kidney Foundation, mengatakan kepada harian yang sama bahwa penyelundupan organ manusia, seperti yang dilaporkan dari Israel, juga dilakukan di tempat-tempat lain di dunia. Sekitar 5 sampai 6000 operasi pertahun, sekitar sepuluh persen dari transplantasi ginjal dunia, dilakukan secara ilegal, demikian menurut Delmonici.

Negara-negara yang dicurigai melakukan aktivitas ini adalah Pakistan, Filipina dan China, dimana organ-organ manusia itu dicurigai diambil dari para tahanan yang dieksekusi. Namun, orang-orang Palestina memiliki kecurigaan kuat terhadap Israel atas penangkapan pemuda-pemuda mereka ,untuk kemudian menjadikan mereka sebagai cadangan organ manusia bagi Negara Yahudi tersebut—suatu tuduhan yang teramat serius, dengan cukup banyak tanda tanya untuk mendorong Pengadilan internasional memulai penyelidikan terhadap kemungkinan kejahatan perang tersebut.

Israel telah berulangkali berada di bawah kecurigaan atas cara-cara penganan tidak etisnya terhadap organ-organ manusia dan praktik transplantasi. Perancis adalah salah satu dari negara-negara yang menghentikan kerjasama di bidang organ manusia dengan Israel di tahun sembilan puluhan. Jerusalem Post menulis bahwa “sisa dari negara-negara Eropa diharapkan mengikuti contoh Perancis sesegera mungkin.” Setengah dari ginjal yang ditranplantasikan kepada orang-orang Israel sejak awa tahun 2000 dibeli secara ilegal dari Turki, Eropa Timur atau Amerika Latin. Otoritas kesehatan Israel sepenuhnya tahu praktis bisnis ini tetapi tidak melakukan apapun untuk menghentikannya. Dalam sebuah konferensi di tahun 2003 tersingkap bahwa Israel adalah satu-satunya negara barat yang otoritas medisnya tidak mengutuk penjualan organ ilegal. Negara itu tidak melakukan upaya-upaya hukum melawan dokter-dokter yang terlibat pada sebagian besara transplantasi ilegal, menurut Dagens Nyheter (5 Desember,2003).

Di musim panas 1992, Ehud Olmert, yang ketika itu menjabat sebagai menteri kesehatan, berupaya mengatasi masalah kekurangan organ-organ transplantasi dengan mengkampanyekan agar melakukan pendaftaran publik untuk melakukan donor pasca kematian (post mortem donation). Setengah juta pamflet disebarkan melalui koran-koran lokal. Ehud Olmert sendiri merupakan orang pertama yang mendaftar. Beberapa pekan kemudian Jerusalem Post melaporkan bahwa kampanye itu merupakan sebuah kesuksesan. Tidak kurang dari 35.000 orang telah mendaftar. Sebelum kampanye barangkali hanya akan ada 500 pendonor di bulan yang normal. Meski demikian, pada artikel yang sama, Judy Siegel, sang reporter, menulis bahwa jurang antara pasokan dan kebutuhan masih tinggi. Sebanyak 500 orang antri untuk mendapatkan tranplantasi ginjal, tetapi hanya 124 transplantasi yang bisa dilakukan. Dari 45 orang yang membutuhkan hati, hanya tiga yang bisa dioperasi di Israel.
Sementari kampanye terus berlangsung, pemuda-pemuda Palestina mulai menghilang dari desa-desa di tepi Barat dan Gaza. Setelah lima hari, tentara Israel akan membawa mereka pulang dalam keadaan mati, dengan tubuh-tubuh mereka penuh sobekan terbuka.

Pembicaraan mengenai tubuh-tubuh itu meneror para penghuni wilayah-wilayah penundukan. Terdapat rumor mengenai peningkatan hilangnya pemuda-pemuda secara dramatis, yang diikuti dengan pemakaman-pemakaman malam hari atas tubuh-tubuh yang terotopsi. Saya sedang berada di wilayah tersebut waktu itu, sedang proses merampungkan sebuah buku. Dalam beberapa kesempatan saya didatangi oleh staff PBB yang khawatir dengan perkembangan itu. Orang-orang yang menghubungi saya mengatakan bahwa pasti pencurian organ telah terjadi tetapi mereka dicegah untuk melakukan sesuatu terhadap praktik itu. Ketika bertugas untuk sebuah jaringan penyiaran, saya kemudian melakukan perjalanan keliling, mewawancarai sejumlah besar keluarga Palestina di Tepi Barat dan Gaza—menjumpai para orang tua yang mengatakan bagaimana putera-putera mereka diambil organ-organ tubuhnya sebelum dibunuh. Satu contoh yang saya temui dari perjalanan mengerikan ini adalah kasus Bilal Achmed Ghanan Si pelempar batu muda.

Waktu itu menjelang tengah malam ketika rauman suara motor milik pasukan Israel terdengar dari pinggiran Imatin, sebuah desa kecil di sebelah utara Tepi Barat. Dua ribu penduduk desa terbangun. Mereka bergeming, menunggu laksana bayangan diam di kegelapan, beberapa berbaring di atas atap, beberapa bersembunyi di balik tirai, tembok, atau pepohonan yang memberikan perlindungan selama jam malam berlangsung tetapi tetap menawarkan pandangan penuh atas apa yang kemudian menjadi pemakaman bagi martir pertama desa itu. Pihak militer telah memutus listrik dan wilayah itu menjadi tertutup –jam malam militer—yang bahkan seekor kucing tidak bisa menggeser pintu luar tanpa membahayakan nyawanya. Cekaman malam pekat bisu itu hanya diganggu oleh isakan lirih. Saya tidak ingat apakah mengigilnya kami karena kedinginan atau karena situasi yang mencekam. Lima hari sebelumnya, pada 13 Mei 1992, sebuah pasukan spesial Israel menggunakan bengkel tukang kayu untuk markas penyergapan. Orang yang menjadi sasaran target mereka adalah Bilal Achmed Ghanan, salah satu dari pelempar batu pemuda Palestina yang membuat hidup terasa sulit bagi para prajurit Israel.

Sebagai salah satu pelempar batu yang terkemuka Bilal Ghanan telah bertahun-tahun menjadi incaran pasukan militer Israel. Bersama dengan pelempar batu lainnya dia bersembunyi di pegunungan Nablus, tanpa ada atap di atas kepalanya. Tertangkap berarti siksaan dan kematian bagi anak-anak ini – mereka harus tetap tinggal di pegunungan apa pun yang terjadi.

Pada tanggal 13 Mei, Bilal melakukan pengecualian, ketika untuk suatu alasan, dia berjalan tanpa perlindungan melewati bengkel tukang kayu. Bahkan Talal, kakaknya, tidak tahu mengapa ia mengambil resiko itu. Barangkali bocah tersebut kehabisan persediaan makanan dan butuh untuk memenuhinya kembali.

Segala sesuatunya berjalan sesuai rencana bagi pasukan khusus Israel. Para prajurit itu mematikan rokok mereka, menyingkirkan kaleng-kaleng coca-cola mereka dan dengan tenang membidik lewat jendela yang pecah. Ketika Bilal berada cukup dekat mereka hanya butuh menarik pelatuknya saja. Tembakan pertama mengenainya di dada. Menurut para penduduk desa yang menyaksikan insiden itu, Bilal kemudian ditembak oleh masing-masing satu peluru di tiap kakinya. Dua orang prajurit kemudian berlari dari bengkel tukang kayu dan menembak Bilal sekali di perut. Akhirnya mereka menggenggam Bilal melalui kakinya dan menyeretnya naik ke atas melalui dua puluh pukanak anak tangga bengkel kayu itu. Para penduduk desa mengatakan orang-orang baik dari PBB maupun bulan Sabit Merah berada dekat kejadian, mendengan insiden itu dan datang untuk mencari orang-orang terluka yang membutuhkan pertolongan. Sejumlah adu mulut terjadi soal siapa yang harus menangani korban tersebut. Diskusi berakhir ketika prajurit-prajurit Israel mengangkut Bilal yang terluka parah ke atas sebuah jeep dan membawanya ke pinggiran desa, di mana sebuah heilkopter militer telah menunggu. Bocah itu diterbangkan ke suatu tujuan yang tidak diketahui oleh keluarganya. Lima hari kemudian dia kembali, dalam keadaan mati dan terbungkus kain hijau rumah sakit.

Seorang penduduk desa mengenal Kapten Yahya, pemimpin dari pasukan militer yang membawa jasad dari pusat otopsi postmortem Abu Kabir, di pinggir Tel Aviv, ke tempat peristirahatan terakhirnya. “Kapten Yahya orang yang terjahat di antara mereka semua,” bisik seorang penduduk desa di telinga saya. Setelah Yahya menurunkan jasad bilal dan mengganti kain hijau dengan kain katun putih, beberapa kerabat laki-laki korban dipilih para tentara untuk melakukan penggalian dan mengauk semen.

Bersamaan dengan suara tajam dari cangkul kami bisa mendengar tawa para prajurit yang sambil menunggu waktu pulang, bertukar lelucon. Ketika Bilal diletakkan ke dalam kuburan, dadanya terbuka. Segalanya tiba-tiba menjadi jelas bagi beberap orang yang hadir, tentang siksaan macam apa yang dialami oleh pemuda itu. Bilal bukan pemuda Palestina pertama yang dikuburkan dengan luka sayatan sepanjang abdomen hingga dagunya.

Keluarga-keluarga di Tepi Barat dan di Gaza merasa bahwa mereka tahu apa yang telah terjadi: “putera-putera kami digunakan sebagai pendonor organ non-sukarela,” para kerabat Khaled dari Nablus mengatakan pada saya, juga yang dikatakan Ibu dari Raed dari Jenin, dan paman-paman dari Machmod dan Nafes dari Gaza, yang semuanya menghilang untuk beberapa hari dan kembali dalam keadaan mati dan terotopsi pada malam hari.

“Mengapa meraka menahan mayat-mayat itu hingga lima hari sebelum mengizinkan kami mengubur mereka?Apa yang terjadi terhadap tubuh-tubuh itu selama waktu tersebut? Mengapa mereka melakukan otopsi, diluar kehendak kami, ketika penyebab kematiannya sangat jelas? Mengapa tubuh-tubuh itu dikembalikan pada malam hari? Mengapa dikembalikan dengan pengawalan militer? Mengapa wilayah pemakaman ditutup waktu pemakaman? Mengapa listrik dimatikan?” Paman Nafe kecewa dan memiliki banyak pertanyaan.
Para kerabat pemuda-pemuda palestina yang mati tidak lagi memendam keraguan alasan pembunuhan itu, meski demikian juru bicara pasukan Israel mengklaim bahwa tuduhan-tuduhan pencurian organ itu merupakan kebohongan. Seluruh korban Palestina menjalani otopsi secara rutin, ujarnya. Bilal Achmed Ghanem merupakan satu dari 133 orang-orang Palestina yang dibunuh dengan berbagai cara tahun itu. Menurut statistik Palestina beberapa penyebab kematian itu adalah: ditembak di jalan, ledakan, gas air mata, ditabrak sengaja, digantung dalam tahanan, ditembak di sekolah, dibunuh di rumah dan lain-lain. Ke 133 orang yang terbunuh berusai antara empat bulan hingga 88 tahun. Hanya setengah dari meraka, 69 korban, menjalani pemeriksaan postmortem. Otopsi rutin terhadap mereka—yang disebut oleh juru bicara militer itu—tidak pernah terjadi di wilayah-wilayah pendudukan. Pertanyaan-pertanyaan itu tetap tidak terjawab.

Kita tahu bahwa Israel memiliki kebutuhan tinggi terhadap organ-organ manusia, tahu bahwa terdapat perdagangan masif illegal organ-organ manusia yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, tahu bahwa pihak yang berwenang mengetahui hal ini dan para dokter yang berada di posisi manajerial rumah sakit-rumah sakit besar terlibat, begitu juga dengan para petugas sipil terlibat dalam level yang beragam. Kami juga tahu bahwa para pemuda Palestina berhilangan, bahwa mereka kemudain dikambelikan setelah lima hari, pada malam hari, di bawah kerahasiaan yang luar biasa, dijahit kembali setelah disayat dari perut hingga dagu. Inilah saatnya untuk membawa kejelasan kepada bisnis mengerikan ini, saatnya memberikan cahaya terhadap apa yang terjadi dan apa yang telah berlangsung di wilayah-wilayah pendudukan oleh Israel sejak Intifada dimulai.

-Donald Bostrom merupakan seorang jurnalis foto Swedia. Beliau merupakan kontributor koran sore berhaluan sosial-demokrat, Aflonbladet. Dia mendedikasikan artikel ini (diterbitkan dalam bentuk asli berbahasa Swedia, 17 Agustus 2009, di Aflonbladet) ke PalestineChronicle.com.