Tuesday 13 October 2009

Cegah Korupsi Legislasi

Cegah Korupsi Legislasi
Oleh Umar Badarsyah
Peneliti Hukum dan Kebijakan Publik , Institute for Sustainable Reform (INSURE) lembaga analisis media dan kebijakan publik

Korupsi terhadap produk legislasi menjadi tema yang hangat di media saat ini. Kasus sempat hilangnya ayat 2 pasal 113 dari Undang-Undang Kesehatan menggemparkan publik. Terlepas dari sensivitas materi yang mengatur tembakau sebagai salah satu bentuk zat adiktif, perilaku penghilangan sebuah ayat hasil proses legislasi yang dilindungi oleh konstitusi jelas merupakan pelanggaran besar terhadap konstitusi dan demokrasi.

Beruntung kali ini korupsi ayat dapat dideteksi dan mendapat perhatian publik. Ini tidak lepas dari keteledoran pelaku (jika memang terjadi karena unsur kesengajaan) yang lupa menghapus penjelasan ayat yang dihilangkan pada bagian penjelasan. Bagaimana jadinya, jika suatu norma yang disepakati bersama melalui proses legislasi kemudian dihilangkan sebagian, atau dibuat sumir dari yang seharusnya? Tentunya ini akan berakibat pada perbedaan pada tataran implementasi baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun peraturan kebijakan nantinya.

Mengingat bahwa fungsi legislasi merupakan kewenangan konstitusional bersama antara DPR dan Pemerintah, maka korupsi terhadap proses legislasi ini merupakan kejahatan konstitusional. DPR merupakan perwakilan rakyat yang kemudian menjalankan tugasnya lewat kedaulatan yang diserahkan oleh rakyat, kejahatan terhadap hasil legislasi juga berarti kejahatan terhadap rakyat dan demokrasi. Untuk itu kejahatan ini perlu dicegah dan dibasmi.

Pelaku harus mendapatkan hukuman yang setimpal atas kejahatan yang dilakukannya (punitive). Terhadap norma yang dikorupsi juga perlu dipikirkan proses hukum untuk memulihkan dan mengembalikannya (restorative). Proses legislasi juga harus diperbaiki dan diperkuat sehingga ruang upaya melakukan kejahatan ini tertutup(Prefentive) .


Kriminalisasi Pelaku

Hingga saat ini tidak ada ancaman pidana khusus bagi pelaku penghilangan, pengubah pasal atau ayat atau bagian apapun dari Undang-Undang. Meski diduga sering terjadi, kejahatan ini terbilang baru, atau barangkali tidak pernah terpikirkan akan terjadi pelanggaran konstitusi berat semacam ini. Namun bukan berarti pelaku kejahatan ini tidak bisa dijerat hukum di luar proses hukuman kode etik internal lembaga masing-masing.

Dilihat dari potensi pelaku, maka pelaku adalah oknum yang terlibat dalam proses pasca pengesahan undang-undang hingga pengundangan. Jika mengacu proses pengundangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No 1 tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No M.01-HU.03.02 tahun 2007, maka potensi pelaku adalah oknum unsur DPR dan pejabat Sekretariat Jenderal DPR; pejabat Kementerian Sekretaris Negara; pejabat direktorat jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM. Keseluruhan unsur tersebut merupakan pejabat Negara.

Terhadap pelaku bisa dikenakan pidana pemalsuan surat dalam pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman maksimal enam tahun dengan pemberatan 1/3 pidana pokok karena kedudukannya sebagai petugas negara. Hanya saja terdapat tantangan dalam pasal ini. Sebagian besar surat yang dimaksud dalam kelompok pidana pemalsuan surat adalah jenis dokumen berharga yang terkait dengan hubungan perdata. Jika penyelewengan terhadap naskah UU dapat dipersamakan dengan pemalsuan terhadap surat, maka pelaku bisa dengan mudah untuk dijerat.

Justru lebih mudah untuk menjerat pelaku yang dalam kapasitas jabatannya menyuruh melakukan pejabat teknis untuk melakukan pemalsuan, atau korupsi naskah UU itu. Pelaku jenis ini bisa dikenakan kelompok pidana penyalahgunaan kewenangan pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hanya saja pidananya tidak setimpal dengan dampak kejahatannya yang jelas-jelas menghina kewenangan konstitusional fungsi legislasi , yaitu maksimal 2 tahun 8 bulan. Baru jika terbukti ada suap dalam kasus bisa dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi.

Melihat tantangan menjerat pelaku dan pemidanaan yang tidak setimpal perlu dipikirkan delik tersendiri
mengenai kehajatan ini. Penting untuk menekankan bahwa kejahatan ini merupakan tindak pidana yang serius. Meski demikian kajian yang mendalam masih diperlukan untuk ini.


Judicial Review atau Legislative Review?

Hal yang paling utama mesti dilakukan, adalah bagaimana substansi materi yang dikorupsi atau diselewengkan dikembalikan sesuai kesepakatan. Jika merujuk pada bangunan hukum nasional terkait perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan terkait pengundangan sebagaimana disebut di muka, boleh dikatakan terjadi kekosongan hukum soal bagaimana mengembalikan naskah hasil kesepakatan jika pasca pengundangan suatu undang-undang dalam Lembaran Negara terdapat perubahan substantif yang berpotensi menyimpang dari kesepakatan.

Cara yang paling mudah barangkali adalah merevisi penyelewengan Undang-Undang yang terlanjur diundangkan sesuai dengan risalah sidang. Ini bisa dilakukan dengan menuangkannya dalam Lembaran Negara baru. Namun bahkan cara termudah sekalipun tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, disini diskresi Presiden selaku pimpinan lembaga yang diserahkan fungsi pengundangan berlaku.Presiden bisa memerintahkan pejabat pengundangan, yakni menteri sekretaris negara merevisi, atau mengubah Lembaran Negara.

Masalah akan timbul jika jangka waktu antara ditemukannya penyelewengan cukup lama, dan materi yang diselewengkan merupakan payung hukum, atau memberikan delegasi bagi peraturan perundang-undangan maupun peraturan kebijakan yang muncul lebih kemudian. Adanya pihak-pihak yang dirugikan dan diuntungkan dalam pelaksanaan aturan kebijakan yang menyimpang dari kesepakatan akan memperumit dan memperluas dimensi permasalahan. Jika dibiarkan terlalu lama, maka upaya restorasi justru bisa berdampak pada ketidakpastian hukum.Sedangkan upaya pembetulan administrasi lewat revisi Lembaran Negara rasanya tidak cukup kuat untuk kemudian menghapuskan kekuatan hukum peraturan perundang-undangan yang dihasilkan kemudian.

Uji formil pembentukan undang-undang lewat MK bisa menjadi alternatif. UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 53 ayat 3 menyatakan MK juga berwenang menguji proses pembentukan UU. Jika melihat UU 10 tahun 2004, pengundangan merupakan bagian dari proses pembentukan UU. Dengan demikian permasalahan ini masuk sebagai obyek perkara (objectum litis) di bawah kewenangan MK. Persoalannya tinggal membuktikan adanya hak konstitusional pemohon yang dilanggar. Baik pada pengujian formil maupun uji materil unsur terjadinya pelanggaran hak konstitusional perlu dibuktikan. Dalam pemeriksaan pendahuluan. pemohon harus membuktikan bahwa ada hak konstitusionalnya yang dilanggar dalam proses pembentukan UU. Dalam praktek jauh lebih sulit mendalilkan adanya hak konstitusional yang dilanggar dari proses formil pembentukan UU seperti pada pengujian formil UU nomor 3 tahun 2009 tentang perubahan kedua UU Mahkamah Agung.

Alternatif lain yang bisa dalam hal kesalahan ini dibiarkan terlalu lama terjadi adalah melalui proses legislasi. DPR bersama Pemerintah bisa menerbitkan Undang-Undang baru yang merubah, memperbaiki penyelewengan yang terjadi. Hanya saja sebagaimana dimaklumi legislasi sebagai proses politik, kentalnya kepentingan politik besar pengaruhnya terhadap cepat atau lambatnya, atau bahkan keinginan untuk memperbaikinya.


Mencegah Lebih Baik

Melihat pilihan-pilihan sulit upaya memperbaiki kesalahan akibat korupsi legislasi, adagium kesehatan yang berbunyi ‘mencegah lebih baik daripada mengobati’ sangat cocok dalam perkara ini.

Akses masayarakat dalam melakukan pengawasan pembentukan peraturan perundang-undangan perlu diperkuat. Keberadaan UU Keterbukaan Informasi Publik (UU No.14/2008) dan UU Pelayanan Publik (UU No.25/2009) berpotensi mendorong pengawasan publik terhadap proses legislasi. Meski demikian jika tidak disertai dengan penguatan hak pengawasan publik sebagai bagian penting dalam proses pembentukan perundang-undangan dalam UU 10 tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan turunannya, celah bagi upaya melakukan korupsi legislasi masih belum sepenuhnya bisa ditutup.
Demi menjaga tegaknya konstitusi dan memperkuat kualitas demokrasi, korupsi legislasi harus dicegah dan diberantas.
End