Sunday 6 September 2009

Organ Tubuh Anak-Anak Kami Dijarah

Organ Tubuh Anak-Anak Kami Dijarah
Oleh Donald Bostrom

Diterjemahkan dari Article Our Sons Plundered for Their Organs yang dimuat dalam salah satu media terpandang di Swedia dan mengundang reaksi kemarahan Israel.

Penerjemah : Umar Badarsyah


Kau boleh memanggil saya mak comblang, ucap Levy Uzhak Rosenbaum, dari Brooklyn, Amerika Serikat, dalam sebuah rekaman rahasia dengan seorang agen FBI menyamar, yang disangkanya seorang klien. Sepuluh hari kemudian, akhir Juli tahun ini (2009), Rosenbaum ditangkap dan kegemparan , bak drama Soprano,atas kasus pencucian uang dan penjualan organ tubuh manusia mengemuka. Pencomblangan yang dilakukan Rosenbaum tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan cinta. Itu semua berkenaan dengan jual beli pasar gelap ginjal dari Israel. Rosenbaum mengatakan bahwa dia membeli ginjal-ginjal itu sehar $10.000, dari orang-orang miskin. Dia kemudian menjual organ-organ itu kepada para pasien yang putus asa di negara-negara bagian (AS)seharga $160.000. Pengungkapan itu telah menggempakran usaha transplantasi Amerika. Jika hal ini benarm berarti untuk pertama kalinya penyelundupan organ manusia terdokumentasi di AS, demikian ungkap para ahli kepada harian New Jersey Time News.

Ketika ditanya mengenai berapa banyak organ-organ tubuh manusia yang telah dijualnya, Rosenbaum menjawab: “cukup banyak dan saya tidak pernah gagal,” sumbarnya. Usaha itu telah berjalan cukup lama. Francis Delmonisci, profesor bedah transplantasi Harvard dan anggota Dewan direktur National Kidney Foundation, mengatakan kepada harian yang sama bahwa penyelundupan organ manusia, seperti yang dilaporkan dari Israel, juga dilakukan di tempat-tempat lain di dunia. Sekitar 5 sampai 6000 operasi pertahun, sekitar sepuluh persen dari transplantasi ginjal dunia, dilakukan secara ilegal, demikian menurut Delmonici.

Negara-negara yang dicurigai melakukan aktivitas ini adalah Pakistan, Filipina dan China, dimana organ-organ manusia itu dicurigai diambil dari para tahanan yang dieksekusi. Namun, orang-orang Palestina memiliki kecurigaan kuat terhadap Israel atas penangkapan pemuda-pemuda mereka ,untuk kemudian menjadikan mereka sebagai cadangan organ manusia bagi Negara Yahudi tersebut—suatu tuduhan yang teramat serius, dengan cukup banyak tanda tanya untuk mendorong Pengadilan internasional memulai penyelidikan terhadap kemungkinan kejahatan perang tersebut.

Israel telah berulangkali berada di bawah kecurigaan atas cara-cara penganan tidak etisnya terhadap organ-organ manusia dan praktik transplantasi. Perancis adalah salah satu dari negara-negara yang menghentikan kerjasama di bidang organ manusia dengan Israel di tahun sembilan puluhan. Jerusalem Post menulis bahwa “sisa dari negara-negara Eropa diharapkan mengikuti contoh Perancis sesegera mungkin.” Setengah dari ginjal yang ditranplantasikan kepada orang-orang Israel sejak awa tahun 2000 dibeli secara ilegal dari Turki, Eropa Timur atau Amerika Latin. Otoritas kesehatan Israel sepenuhnya tahu praktis bisnis ini tetapi tidak melakukan apapun untuk menghentikannya. Dalam sebuah konferensi di tahun 2003 tersingkap bahwa Israel adalah satu-satunya negara barat yang otoritas medisnya tidak mengutuk penjualan organ ilegal. Negara itu tidak melakukan upaya-upaya hukum melawan dokter-dokter yang terlibat pada sebagian besara transplantasi ilegal, menurut Dagens Nyheter (5 Desember,2003).

Di musim panas 1992, Ehud Olmert, yang ketika itu menjabat sebagai menteri kesehatan, berupaya mengatasi masalah kekurangan organ-organ transplantasi dengan mengkampanyekan agar melakukan pendaftaran publik untuk melakukan donor pasca kematian (post mortem donation). Setengah juta pamflet disebarkan melalui koran-koran lokal. Ehud Olmert sendiri merupakan orang pertama yang mendaftar. Beberapa pekan kemudian Jerusalem Post melaporkan bahwa kampanye itu merupakan sebuah kesuksesan. Tidak kurang dari 35.000 orang telah mendaftar. Sebelum kampanye barangkali hanya akan ada 500 pendonor di bulan yang normal. Meski demikian, pada artikel yang sama, Judy Siegel, sang reporter, menulis bahwa jurang antara pasokan dan kebutuhan masih tinggi. Sebanyak 500 orang antri untuk mendapatkan tranplantasi ginjal, tetapi hanya 124 transplantasi yang bisa dilakukan. Dari 45 orang yang membutuhkan hati, hanya tiga yang bisa dioperasi di Israel.
Sementari kampanye terus berlangsung, pemuda-pemuda Palestina mulai menghilang dari desa-desa di tepi Barat dan Gaza. Setelah lima hari, tentara Israel akan membawa mereka pulang dalam keadaan mati, dengan tubuh-tubuh mereka penuh sobekan terbuka.

Pembicaraan mengenai tubuh-tubuh itu meneror para penghuni wilayah-wilayah penundukan. Terdapat rumor mengenai peningkatan hilangnya pemuda-pemuda secara dramatis, yang diikuti dengan pemakaman-pemakaman malam hari atas tubuh-tubuh yang terotopsi. Saya sedang berada di wilayah tersebut waktu itu, sedang proses merampungkan sebuah buku. Dalam beberapa kesempatan saya didatangi oleh staff PBB yang khawatir dengan perkembangan itu. Orang-orang yang menghubungi saya mengatakan bahwa pasti pencurian organ telah terjadi tetapi mereka dicegah untuk melakukan sesuatu terhadap praktik itu. Ketika bertugas untuk sebuah jaringan penyiaran, saya kemudian melakukan perjalanan keliling, mewawancarai sejumlah besar keluarga Palestina di Tepi Barat dan Gaza—menjumpai para orang tua yang mengatakan bagaimana putera-putera mereka diambil organ-organ tubuhnya sebelum dibunuh. Satu contoh yang saya temui dari perjalanan mengerikan ini adalah kasus Bilal Achmed Ghanan Si pelempar batu muda.

Waktu itu menjelang tengah malam ketika rauman suara motor milik pasukan Israel terdengar dari pinggiran Imatin, sebuah desa kecil di sebelah utara Tepi Barat. Dua ribu penduduk desa terbangun. Mereka bergeming, menunggu laksana bayangan diam di kegelapan, beberapa berbaring di atas atap, beberapa bersembunyi di balik tirai, tembok, atau pepohonan yang memberikan perlindungan selama jam malam berlangsung tetapi tetap menawarkan pandangan penuh atas apa yang kemudian menjadi pemakaman bagi martir pertama desa itu. Pihak militer telah memutus listrik dan wilayah itu menjadi tertutup –jam malam militer—yang bahkan seekor kucing tidak bisa menggeser pintu luar tanpa membahayakan nyawanya. Cekaman malam pekat bisu itu hanya diganggu oleh isakan lirih. Saya tidak ingat apakah mengigilnya kami karena kedinginan atau karena situasi yang mencekam. Lima hari sebelumnya, pada 13 Mei 1992, sebuah pasukan spesial Israel menggunakan bengkel tukang kayu untuk markas penyergapan. Orang yang menjadi sasaran target mereka adalah Bilal Achmed Ghanan, salah satu dari pelempar batu pemuda Palestina yang membuat hidup terasa sulit bagi para prajurit Israel.

Sebagai salah satu pelempar batu yang terkemuka Bilal Ghanan telah bertahun-tahun menjadi incaran pasukan militer Israel. Bersama dengan pelempar batu lainnya dia bersembunyi di pegunungan Nablus, tanpa ada atap di atas kepalanya. Tertangkap berarti siksaan dan kematian bagi anak-anak ini – mereka harus tetap tinggal di pegunungan apa pun yang terjadi.

Pada tanggal 13 Mei, Bilal melakukan pengecualian, ketika untuk suatu alasan, dia berjalan tanpa perlindungan melewati bengkel tukang kayu. Bahkan Talal, kakaknya, tidak tahu mengapa ia mengambil resiko itu. Barangkali bocah tersebut kehabisan persediaan makanan dan butuh untuk memenuhinya kembali.

Segala sesuatunya berjalan sesuai rencana bagi pasukan khusus Israel. Para prajurit itu mematikan rokok mereka, menyingkirkan kaleng-kaleng coca-cola mereka dan dengan tenang membidik lewat jendela yang pecah. Ketika Bilal berada cukup dekat mereka hanya butuh menarik pelatuknya saja. Tembakan pertama mengenainya di dada. Menurut para penduduk desa yang menyaksikan insiden itu, Bilal kemudian ditembak oleh masing-masing satu peluru di tiap kakinya. Dua orang prajurit kemudian berlari dari bengkel tukang kayu dan menembak Bilal sekali di perut. Akhirnya mereka menggenggam Bilal melalui kakinya dan menyeretnya naik ke atas melalui dua puluh pukanak anak tangga bengkel kayu itu. Para penduduk desa mengatakan orang-orang baik dari PBB maupun bulan Sabit Merah berada dekat kejadian, mendengan insiden itu dan datang untuk mencari orang-orang terluka yang membutuhkan pertolongan. Sejumlah adu mulut terjadi soal siapa yang harus menangani korban tersebut. Diskusi berakhir ketika prajurit-prajurit Israel mengangkut Bilal yang terluka parah ke atas sebuah jeep dan membawanya ke pinggiran desa, di mana sebuah heilkopter militer telah menunggu. Bocah itu diterbangkan ke suatu tujuan yang tidak diketahui oleh keluarganya. Lima hari kemudian dia kembali, dalam keadaan mati dan terbungkus kain hijau rumah sakit.

Seorang penduduk desa mengenal Kapten Yahya, pemimpin dari pasukan militer yang membawa jasad dari pusat otopsi postmortem Abu Kabir, di pinggir Tel Aviv, ke tempat peristirahatan terakhirnya. “Kapten Yahya orang yang terjahat di antara mereka semua,” bisik seorang penduduk desa di telinga saya. Setelah Yahya menurunkan jasad bilal dan mengganti kain hijau dengan kain katun putih, beberapa kerabat laki-laki korban dipilih para tentara untuk melakukan penggalian dan mengauk semen.

Bersamaan dengan suara tajam dari cangkul kami bisa mendengar tawa para prajurit yang sambil menunggu waktu pulang, bertukar lelucon. Ketika Bilal diletakkan ke dalam kuburan, dadanya terbuka. Segalanya tiba-tiba menjadi jelas bagi beberap orang yang hadir, tentang siksaan macam apa yang dialami oleh pemuda itu. Bilal bukan pemuda Palestina pertama yang dikuburkan dengan luka sayatan sepanjang abdomen hingga dagunya.

Keluarga-keluarga di Tepi Barat dan di Gaza merasa bahwa mereka tahu apa yang telah terjadi: “putera-putera kami digunakan sebagai pendonor organ non-sukarela,” para kerabat Khaled dari Nablus mengatakan pada saya, juga yang dikatakan Ibu dari Raed dari Jenin, dan paman-paman dari Machmod dan Nafes dari Gaza, yang semuanya menghilang untuk beberapa hari dan kembali dalam keadaan mati dan terotopsi pada malam hari.

“Mengapa meraka menahan mayat-mayat itu hingga lima hari sebelum mengizinkan kami mengubur mereka?Apa yang terjadi terhadap tubuh-tubuh itu selama waktu tersebut? Mengapa mereka melakukan otopsi, diluar kehendak kami, ketika penyebab kematiannya sangat jelas? Mengapa tubuh-tubuh itu dikembalikan pada malam hari? Mengapa dikembalikan dengan pengawalan militer? Mengapa wilayah pemakaman ditutup waktu pemakaman? Mengapa listrik dimatikan?” Paman Nafe kecewa dan memiliki banyak pertanyaan.
Para kerabat pemuda-pemuda palestina yang mati tidak lagi memendam keraguan alasan pembunuhan itu, meski demikian juru bicara pasukan Israel mengklaim bahwa tuduhan-tuduhan pencurian organ itu merupakan kebohongan. Seluruh korban Palestina menjalani otopsi secara rutin, ujarnya. Bilal Achmed Ghanem merupakan satu dari 133 orang-orang Palestina yang dibunuh dengan berbagai cara tahun itu. Menurut statistik Palestina beberapa penyebab kematian itu adalah: ditembak di jalan, ledakan, gas air mata, ditabrak sengaja, digantung dalam tahanan, ditembak di sekolah, dibunuh di rumah dan lain-lain. Ke 133 orang yang terbunuh berusai antara empat bulan hingga 88 tahun. Hanya setengah dari meraka, 69 korban, menjalani pemeriksaan postmortem. Otopsi rutin terhadap mereka—yang disebut oleh juru bicara militer itu—tidak pernah terjadi di wilayah-wilayah pendudukan. Pertanyaan-pertanyaan itu tetap tidak terjawab.

Kita tahu bahwa Israel memiliki kebutuhan tinggi terhadap organ-organ manusia, tahu bahwa terdapat perdagangan masif illegal organ-organ manusia yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, tahu bahwa pihak yang berwenang mengetahui hal ini dan para dokter yang berada di posisi manajerial rumah sakit-rumah sakit besar terlibat, begitu juga dengan para petugas sipil terlibat dalam level yang beragam. Kami juga tahu bahwa para pemuda Palestina berhilangan, bahwa mereka kemudain dikambelikan setelah lima hari, pada malam hari, di bawah kerahasiaan yang luar biasa, dijahit kembali setelah disayat dari perut hingga dagu. Inilah saatnya untuk membawa kejelasan kepada bisnis mengerikan ini, saatnya memberikan cahaya terhadap apa yang terjadi dan apa yang telah berlangsung di wilayah-wilayah pendudukan oleh Israel sejak Intifada dimulai.

-Donald Bostrom merupakan seorang jurnalis foto Swedia. Beliau merupakan kontributor koran sore berhaluan sosial-demokrat, Aflonbladet. Dia mendedikasikan artikel ini (diterbitkan dalam bentuk asli berbahasa Swedia, 17 Agustus 2009, di Aflonbladet) ke PalestineChronicle.com.

1 comment: