Wednesday 5 May 2010

BHP dan Dua Paradigma Penyelenggaraan Pendidikan

tulisan ini versi 1.0 sebelum diedit oleh rekan sejawat, untuk disesuaikan dengan standar surat kabar, 700 kata, 5000 karakter

BHP dan Dua Paradigma Penyelenggaraan Pendidikan

 
Oleh: Umar Badarsyah
Koordinator Peneliti Bidang Hukum, HAM dan Keamanan
Institute for Sustainable Reform (INSURE)

 
Putusan Mahkamah Konstitusi  membatalkan keberlakuan  UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) bertentangan dengan UUD 1945.Tetapi MK tidak menyatakan pasal 53 ayat (1) UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Artinya, potensi pemerintah untuk mengeluarkan UU BHP baru sangat besar, karena itu merupakan delegasi Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas.

Pasca keputusan itu Kementerian Pendidikan Nasional kemudian berencana mengusulkan peraturan pengganti perundang-undangan (perppu) tentang BHP. Rencana ini dikhawatirkan oleh kalangan pemerhati pendidikan,tidak lebih  sebagai kanibalisasi UU BHP. Indikasi itu terlihat dari pemaparan Kementerian Pendidikan Nasional kepada sejumlah rektor PTN dan PT BHMN beberapa waktu lalu. Perppu BHP nanti hanya akan menambahkan pengaturan keberadaan yayasan, perkumpulan, badan wakaf, atau badan hukum lain sejenis yang selama ini menyelenggarakan pendidikan (Darmaningtyas, Kompas 3/5). Adapun ruh BHP lama yang berupaya menggeser peran Negara dari penyelenggaraan langsung atas pendidikan sebagai pelayanan public, tidak diganti.

Dua Paradigma Penyelenggaraan Pendidikan

Di dalam konstitusi, terdapat dua paradigma penyelenggaraan pendidikan, yaitu paradigma penyelenggaraan pendidikan imperatif (PP Imperatif), dan paradigma penyelenggaraan pendidikan fakultatif(PP Fakultatif).

PP Imperatif adalah penyelenggaraan pendidikan yang wajib dilakukan oleh negara, sebagai tugas publik. MK dalam keputusannya menegaskan peran wajib negara itu. Dalam  5 panduan pertimbangan aspek filosofis, akademis, maupun yuridisial ditegaskan sebagai wujud penjaminan hak memperoleh pendidikan pasal 28C ayat (1) dan pasal 31 ayat (1) UUD 1945 (poin pertama). Poin kedua kemudian menegaskan tugas itu sebagai fungsi perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM dalam pasal 28I ayat (4) Konstitusi. Penyelenggaraan pendidikan pada poin yang sama ditegaskan sebagai tugas publik pemerintah.(Putusan MK hlm.372)

Adapun penyelenggaraan pendidikan fakultatif merupakan hak warga negara, baik secara individu maupun kolektif untuk turut serta dalam menyelenggarakan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan ini merupakan perwujudan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang mana menurut MK hak ini juga termasuk hak untuk mendirikan, menyelenggarakan pendidikan sebagai bagian dari hak pendidikan pada pasal 28C ayat (1) konstitusi.

Dua paradigma ini sejalan dengan paradigma hukum internasional. Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (EKOSOB) Pasal 13 menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan dasar, pendidikan sekunder, dan pendidikan tinggi merupakan tugas publik negara. Adapun ayat (4) dari pasal itu memberikan jaminan perlindungan kebebasan bagi perorangan/kelompok untuk menyelenggarakan pendidikan sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan  minimum yang ditentukan oleh negara.

Pemahaman terhadap dua paradigma ini penting untuk , Pertama memahami bahwa tugas penyelenggaraan pendidikan utama terletak pada negara. Kedua, paradigma ini memiliki konsekuensi pengaturan yang berbeda terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh negara, dan oleh masyarakat(swasta).

Penyelenggaraan pendidikan oleh negara membawa konsekuensi bentuk penyelenggaraan pendidikan langsung oleh negara, dengan anggaran yang sebagian besar atau seluruhnya oleh negara. Dalam menjalankan tugas publik penyelenggaraan pendidikan ini, negara berlaku sebagai badan hukum publik, bukan badan hukum perdata. Sebaliknya tugas negara terhadap penyelenggaraan pendidikan fakultatif adalah menjamin dan melindungi keberadaannya melalui regulasi, pengawasan, dan bantuan anggaran bilamana perlu dan dimungkinkan. Penyelenggaraan pendidikan fakultatif oleh masyarakat inilah yang kemudian bisa dijalankan dengan bentuk badan hukum perdata.

Celah Putusan MK

MK pada putusannya juga menggariskan keberadaan dua bentuk penyelenggaraan pendidikan ini. Hanya saja ketika membicarakan bagaimana bentuknya ada celah yang kemudian dapat menggeser peranan negara dalam menyelenggarakan pendidikan secara langsung.

Dalam putusannya, MK meluruskan penafsiran BHP sebagai fungsi penyelenggaraan pendidikan, bukan suatu badan hukum khusus, , yang akan berakibat pada penyeragaman yang bertentangan dengan konstitusi.

Pada titik ini putusan MK sangat positif. Hanya saja ketika berbicara mengenai pilihan bentuk badan hukum dari badan hukum pendidikan, MK seolah-olah menggiring bentuk BHP ke arah pilihan badan hukum perdata saja, “… sesuai dengan bentuk yang dikenal dalam peraturan perundang-undangan seperti yayasan, perkumpulan, perserikatan, badan wakaf dan sebagainya.”(Hlm.400)

Jika melihat dinamika UU BHP lama; keterikatan pemerintah terhadap kontrak dengan Bank Dunia melalui Proyek Pengembangan Relevansi dan Efisiensi Pendidikan Tinggi ; dan mitos kekurangan anggaran untuk mencukupi kebutuhan pendidikan yang selama ini dijadikan alasan, nyaris mustahil pemerintah mau menafsirkan kata-kata sesuai bentuk yang dikenal dalam peraturan perundang-undangan sebagai termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan melalui badan hukum publik (penyelenggaraan langsung oleh negara). Dengan demikian, pasca keputusan MK, pergeseran peran negara selaku pelaku dan penanggung jawab utama penyelenggaraan pendidikan akan terus terjadi.

Tentu kita tidak ingin hal ini terjadi. Penyelenggaraan pendidikan oleh Negara merupakan kewajiban konstitusi. Semoga Kementerian Pendidikan Nasional memahami betul tugas ini. Kita tunggu bagaimana bentuk BHP baru, peraturan ini akan menjadi barometer utama komitmen pemerintah terhadap hak atas pendidikan.