Sunday 25 April 2010

Selalu dengan Tersenyum

Ini aku dedikasikan untuk adikku, Ifah Scientia dan teman-teman Serambi-nya.

Semoga Allah memuliakan kalian karena kesungguhan dalam berdakwah. Semoga Allah mencatat pula, upaya teman-teman menegur soal apa yang dihitung dalam Islam sebagai kemusyrikan, sebagai amalan baik yang akan mencegah teman-teman dari Neraka, dan beroleh tiket ke surga.

Ini soal penegasan bagaimana kita berdakwah di lingkungan tempat kita diamanahkan. Kali ini izinkan Kakakmu ini menukil apa yang dituliskan oleh Om Hasan dalam Dakwatuna, Dakwah Kami.

Ifah, tidakkah kau ingat bahwa Om Hasan memberikan tiga solusi dalam satu paket sebagai upaya untuk membangkitkan umat dari keterpurukannya. Ketiganya secara berturut adalah Manhaj yang benar, Aktivis yang beriman, dan Pemimpin yang tegas dan Terpercaya.

Bosku, Sang Nobunaga memberikan tafsiran yang lebih luas soal Manhaj yang benar pada urutan Al-Quran, Sunnah, dan Manhaj IM.

Soal kemusyrikan jelas tertera dalam Al-Quran dan Sunnah, tapi juga soal berdakwah dengan cara terbaik juga digariskan pula dalam Al-Quran. Kau jauh lebih tahu surah-surahnya.

Biarkan aku mengulas apa yang digariskan oleh Om Hasan soal sikap orang-orang yang memandang dakwah IM, dan bagaimana sikap terbaik kita kepada mereka.

Tuan Guru Hasan membagi masyarakat kepada empat golongan, Orang Mukmin, Orang yang Ragu, Orang Oportunis, dan Orang Arogan.

Perhatikan seruan kepada orang Mukmin, maka "..kepada orang ini kami mengajak untuk segera bergabung dan bekerja bersama kami, agar jumlah para mujahid semakin banyak..." Tidak berhenti pada menggariskan apa yang harus dilakukan kepada golongan ini , tapi Imam Hasan memberikan caranya..yaitu dengan penyadaran bahwa "...iman tidak akan punya arti bila tidak disertai dengan amal. Akidah tidak akan memberi faedah bila tidak mendorong penganutnya untuk merealisasikannya dan berkorban di jalannya." Imam syahid kemudian menekankan pentingnya berkaca pada sejarah para Nabi dan generasi terdahulu.

Selanjutnya pada orang yang ragu..."orang seperti ini kami bairkan bersama keraguannya. Di samping itu kami memberi saran kepadanya agar tetap berhubungan lebih dekat lagi dengna kami, memperhatikan kami dari dekat atau dari jauh, mengkaji tulisan-tulisan kami, mengunjungi pertemuan-pertemuan kmai , dan berkenalan dengan saudara-saudara kami. Setelah itu, insya Allah ia akan percaya kepada kami. Memang begitulah keadaan orang-orang yang ragu dari kalangan pengikut rasul-rasul dahulu."

Pada orang oportunis, Imam as-Syahid tidak lantas menyuruh mereka untuk pergi meninggalkan jamaah. Nasehat menjadi pendekatan terbaik, nasehat bahwa dakwah tak menjanjikan apa-apa kecuali pahala dari Allah jika ikhlas hadir dalam dirinya. Setelah nasehat kemudian doa, agar Allah menyingkap tabir penutup dari hatinya dan menghilangkan kabut keserakahan dari jiwanya. Jikapun tidak berhasil, Imam Syahid merefleksikan bagaimana sikap Rasulullah terhadap orang-orang golongan ini di masanya. Rasulullah hanya menyatakan bahwa bumi ini hanyalah milik Allah. Ia akan mewariskannya kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sesungguhnya kemenangan akhir selalu menjadi milik orang-orang yang bertakwa.

Terakhir, golongan orang arogan, kepada mereka Imam Syahid sepanjang pemahamanku menggariskan tiga hal. Pertama berdoa agar diri kita dikuatkan dalam kebenaran, dan menghindari kebatilan. Kedua tetap mengajak untuk bersedia menerima ajakan dan berdoa untuknya dengan tetap memahami bahwa petunjuk adalah hak prerogratif Allah. Ketiga tetap mencintainya karena Syiar yang kita terapkan adalah syiar yang pernah diajarkan Rasulullah seraya mengutip hadis "Ya Allah ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui."

Dari ke empat golongan dan metode yang diterapkan tak ada satupun penekanan penggunaan kekerasan, amarah atau kemurkaan. Yang ada hanya seruan yang tiada henti, doa dan cinta. Rasulullah mendasari dakwahnya dengan cinta, tercermin dalam akhlak kesehariannya. Percayalah dengan sekedar menebar salam dan senyumpun sesuatu bisa berubah, maka tersenyumlah.

--Natsir Ayahku, Hasan paman guruku

Tak Mau Terlambat

Setidaknya masih bisa bernafas lega karena punya alasan syar'i untuk menghindar dari tawaran mengikat dari MR.

Pada dua pertemuan sebelumnya beriskukuh mengatakan blum dapet izin ortu, dan harus berbicara dulu dengan mereka. Hari ini syukurnya mereka masih bergeming, meski dengan bahasa yang jauh melunak.

Boleh jadi ini kemenangan, tapi bisa jadi kekalahan ... soal nikah menikah ini nyaris seperti sesuatu yang menakutkan, karena aku... masih belum sepenuhnya siap, atau setidaknya siap dengan siapapun gadis salehah yang ditawarkan.

Padahal dalam perjalanan hidupku Allah mengajarkan dengan penuh kesan soal "...Apa  yang baik menurutmu belum tentu baik di sisi Ku, dan apa yang baik bagi Allah..." penggalan Al-Baqarah 216. Tapi aku bersikukuh, setidaknya, aku harus terus berusaha memantaskan diri untuknya.

Sudah menjadi satu kewajiban seorang Ayah untuk memilihkan Ibu yang baik untuk0nya, dan dalam timbanganku gadis ini yang terbaik. Jika diujung usaha manusia ada takdir Allah yang kelak membuktikan mana yang terbaik buat ku di sisi-NYa, izinkan aku untuk memantapkan dan memaksimalkan usahaku.

Aku masih punya waktu, atau setidaknya itu yang aku tahu, semoga aku tak sekedar berharap. Tak mau terlambat.


Monday 19 April 2010

Kok Komisi Kejaksaan Sepi Peminat?

Kok Komisi Kejaksaan Sepi Peminat?

Oleh: Umar Badarsyah, peneliti INSURE

Selasa, 30 Maret 2010

Sabtu, 27 Maret 2010 kemarin semestinya waktu penutupan pendaftaran Komisi Kejaksaan. Sejauh ini media nasional belum memberikan perhatian sejauh mana proses ini berlangsung. Tanggal tersebut sebenarnya merupakan waktu pendaftaran yang telah diperpanjang selama sepekan dari jadwal semula, yakni 19 Maret 2010. Perpanjangan dilakukan karena komisi itu sepi peminat. Hingga kurun pertama hanya 10 orang yang mendaftar padahal tahun 2005 ketika Komisi Kejaksaan (KK) baru dibentuk terdapat 206 orang mendaftar dengan 78 orang di antaranya adalah advokat (Kompas, 24 Maret 2010).

Turunnya minat ini disinyalir justru akibat buruknya kinerja KK. Padahal  dari segi kewenangan KK memiliki kewenangan yang cukup besar meski KK tidak memiliki kewenangan pemberian sanksi secara langsung, karena hal ini merupakan kewenangan Jaksa Agung. Berdasarkan Perpres Nomor 18 tahun 2005 KK memiliki tugas mengawasi, memantau, serta menilai kinerja dan perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya. Bahkan KK memiliki kewenangan untuk mengambil alih pemeriksaan jaksa ’nakal’ jika terdapat indikasi Pengawas Internal Kejaksaan main-main dalam menjalankan fungsinya.

KK selama ini bertugas menerima aduan masyarakat. Selama tahun 2006, ada 398 laporan. Sebanyak 204 surat diteruskan ke Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti.  Pada tahun 2007, laporan naik menjadi 435 buah. Sebanyak 227 laporan diteruskan. Tahun  2008, sebanyak 425 surat diterima KK  dan telah diteruskan sebanyak 251 surat. Pada tahun 2009 (Januari-21 Desember), terdapat 332 laporan.

Sekilas memang terlihat bahwa komisi pengawas eksternal para adhyaksa ini melakukan tugasnya. Namun jika melihat kinerja kejaksaan dan beragam kasus yang melibatkan jaksa, keberadaan komisi itu seolah-olah tidak membawa dampak perubahan apapun terhadap budaya korup Kejaksaan. Di tahun 2008 terdapat kasus Urip Tri Gunawan yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi beserta uang suap 660.000 dollar Amerika Serikat. Ada juga jaksa Burdju Ronni Alan Felix dan Cecep Sunarto yang terbukti menerima uang Rp 550 juta dari terdakwa kasus korupsi. Meski jelas-jelas dihukum, Burdju dan Cecep sempat ditugaskan lagi di Kejaksaan Agung. Di akhir 2009 hingga awal 2010 kita juga dikejutkan dengan kasus Jaksa Esther dan Dara Veranita yang terlibat penggelapan ekstasi. Belum lagi indikasi mafia peradilan di tubuh kejaksaan lewat drama percakapan Anggodo Widjaja beberapa waktu lalu. Kasus terakhir, runutan kejanggalan pada penggelapan pajak oleh Gayus Tambunan menunjukkan kemustahilan jika tidak ada oknum kejaksaan yang terlibat.

Boleh jadi memang KK tidak seperti Komisi Yudisial yang memiliki kekuatan payung hukum setingkat UU hingga kewenangannya lebih besar, tetapi itu juga tidak semestinya menjadi alasan karena Komisi Kepolisian Nasional yang keberadaannya juga hanya ditopang sebatas Peraturan Presiden bisa lebih terdengar ketimbang KK.

Emerson Yuntho dari ICW melihat memang keberadaan KK terkunci pada UU Kejaksaan nomor 16 tahun 2004. Kerap kali laporan yang telah diteruskan oleh KK tidak dilanjutkan dengan penindakan yang memadai oleh Jaksa Agung.

M Ali Zaidan anggota KK menyadari sorotan publik terhadap kinerja komisinya itu.  Dengan banyaknya laporan yang diteruskan kepada Jaksa Agung selama ini, Zaidan menyadari KK terkesan seperti Tukang Pos saja. Meski demikian ia menyatakan jika laporan pengaduan masyarakat diteruskan ke Jaksa Agung, Komisi Kejaksaan wajib mempertanyakan tindak lanjut penyelesaian. Dalam waktu tertentu, jika tak direspon, Komisi Kejaksaan dapat meminta penjelasan tertulis. Bahkan, meminta rapat koordinasi.

Terlepas dari sepinya peminat, dan sorotan terhadap kinerja KK, keberadaan komisi pengawas eksternal kejaksaan ini tetap penting dan diperlukan. Untuk itu perkembangan proses seleksinya harus juga dipantau, agar tujuh orang pimpinan dan anggota KK yang dipilih oleh presiden nantinya merupakan orang-orang yang berkualitas dan berintegritas untuk bisa membawa KK pada performa yang jauh lebih baik.

Pembuktian Terbalik Pejabat Negara

Oleh: Umar Badarsyah, peneliti INSURE

Selasa, 13 April 2010

Terkuaknya mafia kasus pajak dan hukum pada kasus Gayus disusul kemudian Bahasyim dan Syahril Djohan yang melibatkan para pejabat di tiga institusi: pajak, kepolisian dan kejaksaan, memunculkan sejumlah wacana terkait upaya memberantas korupsi dan membuat jera para pelakunya. Dari mulai penguatan sanksi sosial hingga hukuman mati banyak disuarakan publik. Pembuktian terbalik juga menjadi sebuah wacana yang diperbincangkan serius.

Anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Mas Achmad Santosa bahkan mengatakan bahwa Satgas telah membahas konsep pembuktian terbalik bersama Presiden SBY. Presiden memberikan lampu hijau dan meminta Satgas membahas lebih lanjut bersama Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Menurut rencana pembahasan itu akan dilakukan pekan ini.

Inefektivitas Pelaporan LHKPN

Wacana pembuktian terbalik juga diangkat karena sistem pelaporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) masih dianggap inefektif dalam memberantas korupsi dan mengembalikan kerugian negara. Sejumlah pejabat negara, kepala daerah dan anggota DPR yang terlibat korupsi membuktikan hal itu. Ketiga unsur tersebut merupakan pejabat negara yang dikenakan kewajiban melaporkan harta kekayaannya menurut Undang-Undang. Sorotan terhadap lamanya waktu yang diperlukan antara ditemukannya indikasi penyelewengan dan upaya cepat menyelamatkan uang negara juga menjadi titik lemah yang ada pada sistem pelaporan LHKPN saat ini.  Hal ini diamini oleh Wakil Ketua KPK Hayono Umar. Meski sejak tiga tahun terakhir terdapat 30 kasus yang pengusutannya berawal dari LHKPN, namun perlu waktu lama untuk melakukan pengusutan dan pengembalian harta kekayaan negara.

Pelanggaran Prinsip Pidana

Wacana pembuktian terbalik selalu dihadapkan dengan pelanggaran prinsip pidana. Hal ini dikarenakan pembuktian terbalik memang secara prinsip melanggar asas pidana dan peradilan pidana. Dalam asas pidana berlaku asas presumption of innocent, tersangka atau terdakwa hanya dinyatakan bersalah jika proses persidangan membuktikan dan menyatakan bahwa dirinya bersalah. Prinsip lain yang juga dilanggar dalam pembuktian terbalik adalah non self incrimination, bahwa dalam peradilan negaralah yang memiliki kewajiban untuk membuktikan tuduhan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh seseorang, sedangkan pada pembuktian terbalik, tersangka atau terdakwa dibebankan untuk membuktikan sebaliknya bahwa dirinya tidak bersalah.

Kedua asas yang dilanggar oleh pembuktian terbalik dilindungi dan diakui dalam banyak dokuman hak asasi internasional salah satunya adalah International Covenant on Civil and Political Rights. Menurut Prof.Indriyanto Seno Adji, di seluruh negara hukum baik Anglo Saxon maupun Eropa Kontinental, pembuktian terbalik jarang ditemukan. Bahkan dalam sistem utama peradilan pidana (KUHAP) kita pembuktian terbalik tidak diperkenankan. Pasal 66 KUHAP menegaskan bahwa, tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian

Celah Pembuktian Terbalik
Meski demikian bukan berarti pembuktian terbalik merupakan barang haram dalam dunia hukum. Setidaknya untuk kasus penyuapan pejabat negara (bribery), pembuktian terbalik digunakan oleh sejumlah negara termasuk Indonesia. UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 memperkenankan penggunaan pembalikan pembuktian terbalik dalam kasus suap.

Selain itu pembuktian terbalik juga bisa digunakan sebagai upaya memperkuat sistem LHKPN dalam mencegah penyelewengan pejabat negara. Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, pejabat penyelenggara negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam membuktikan kekayaan yang dimilikinya baik sebelum, sementara dan sesudah menjabat.

Melihat bagaimana kasus Gayus, Bahasyim, kasus-kasus terdahulu dan yang paling baru terkait laporan PPATK terkait sejumlah transaksi mencurigakan sejumlah menteri dan anggota Dewan. Pemberlakuan pembuktian terbalik bagi pejabat penyelenggara negara perlu segera dilakukan demi menyelamatkan uang negara dan menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, bebas KKN.

Berharap (Kembali) Reformasi Kepolisian!

Berharap (Kembali) Reformasi Kepolisian!

Oleh: Umar Badarsyah, peneliti INSURE

Rabu, 24 Maret 2010

Momentum perombakan, perbaikan besar-besaran dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali terbuka. Adalah Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Susno Duadji yang membuka kesempatan itu. Kali ini Susno Duadji mengungkapkan dugaan sejumlah perwira tinggi Markas Besar Polri terlibat sebagai makelar kasus (markus) dalam kasus pengusutan pidana pajak yang melibatkan uang senilai Rp 24 milyar. Ironi mengiringi upaya Susno menguak kasus tersebut. Susno sendiri sebelumnya dikenal sebagai simbol antagonis dalam babak Cicak-Buaya, babak paling mubazir yang pernah dilalui bangsa ini dalam mengupayakan perbaikan signifikan institusi kepolisian.

Evaluasi Cicak Buaya

Penting bagi kita untuk melakukan evaluasi terhadap kegagalan bangsa ini menggunakan momentum Cicak-Buaya. Besarnya dukungan publik dalam melawan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto, dan Chandra Hamzah diakui sebagai lompatan solidaritas civil society yang teramat luar biasa, yang sebelumnya belum pernah terjadi pasca reformasi. Sayangnya hal itu gagal dikapitalisasi bagi kepentingan strategis perbaikan penegakan hukum nasional, terutama perbaikan institusi-institusinya.

Minimal ada tiga penyebab kegagalan kita menggunakan momentum Cicak-Buaya. Pertama, ketiadaan kanalisasi strategis energi dukungan masyarakat. Energi positif masyarakat dalam semangat anti korupsi pada babak kriminalisasi pimpinan KPK lalu gagal diarahkan pada sasaran yang lebih strategis yakni sasaran reformasi kepolisian. Sejumlah tokoh sebenarnya sudah berupaya mengarahkan ke sana. Amien Rais misalnya, termasuk jajaran tokoh yang menekankan pentingnya momentum itu dijadikan entry point reformasi tidak hanya institusi kepolisian tetapi juga kejaksaan. Ahli hukum pidana UI, Rudi Satrio bahkan menggunakan istilah revolusi kepolisian, untuk mengamputasi para perwira tinggi sekalipun, jika terbukti bermasalah di lingkungan Mabes Polri. Sayangnya, ini tidak lantas menjadi hal konsisten yang diperjuangkan. Dan karena sifat dukungan yang sangat cair, tidak ada satupun kelompok yang bisa menjaga fokus maha derasnya dukungan itu. Kepentingan-kepentingan seperti pembebasan kedua pimpinan demi menyelamatkan KPK, dan juga kriminalisasi simbol antagonis yaitu Susno Duadji mengganggu fokus sasaran strategis.

Kedua, politik spin-doctor. Kasus Century menjadi pukulan penyempurna isu reformasi kepolisian. Bagaimana tidak, saat boleh dikatakan semua elemen masyarakat pendukung gerakan anti korupsi bersatu dalam kasus Cicak dan Buaya, maka saat terjadi pengalihan isu kepada kasus Bank Century, elemen-elemen good governance dan antikorupsi (LSM maupun masyarakat) yang bersatu itu bercerai sesuai dengan pendirian masing-masing. Satu kubu menganggap pengambilan kebijakan bailout tepat, dan kebijakan itu tak patut dikriminalisasi, satu kubu melihat ada kejanggalan dalam kebijakan dan harus diusut tuntas.

Ketiga, politik amputasi-kambing hitam. Gelombang energi masyarakat juga kemudian mampu direndam dengan politik amputasi. Susno Duadji -masih teringat jelas dalam memori kita- merupakan sosok Dursasana dalam kriminalisasi KPK. Kemarahan pada perilaku asimpatik Susno harus diakui menjadi salah satu pemicu kian besarnya dukungan masyarakat bagi Cicak. Susno celakanya menjadi maha simbol bagi memori kolektif masyarakat terhadap oknum-oknum polisi korup yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Maka saat Susno kemudian dicopot dari jabatannya sebagai Kabareskrim, terjadi antiklimaks. Publik terlampau cepat puas dengan penegakan keadilan terhadap Susno, kembalinya Bibit dan Chandra memimpin KPK menyempurnakan persepsi masyarakat bahwa kita telah meraih kemenangan.

Alhasil ketiga hal di atas membuat kita lupa, bahwa tugas belum selesai. Selama reformasi kepolisian belum tuntas, maka sosok-sosok oknum polisi dalam bentuk makelar kasus, peminta sogok SIM dan STNK,  perekayasa kasus, tukang catut uang tilang, hingga pelanggar HAM akan terus kita temui.

Fokus Pada Sasaran

Fokus menjadi kunci dalam memanfaatkan momentum pengakuan Susno kali ini. Masyarakat tidak lagi boleh terjebak pada upaya pengalihan isu, yang sudah nampak dilakukan. Jika melihat bagaimana isu pelanggaran kode etik, dan saling tuduh ’maling teriak maling’ dilancarkan, potensi teralihkannya isu dari sasaran mereformasi kepolisian sangat besar. Bahwa apa yang dilakukan oleh Susno berpotensi melanggar kode etik kepolisian, tidak boleh menjadi pengalih isu dari kasus yang hendak diungkap. Kasus harus diusut seusai dengan hukum yang berlaku. Kepolisian harus berani melakukan penyidikan kepada perwiranya sendiri.Jika terbukti, maka kepolisian harus berani mengamputasi para perwira tinggi Polri, termasuk jika Susno pun ternyata punya masalah sebelumnya.

Ketegasan, keadilan dan transparansi dalam menyelesaikan kasus ini merupakan prasyarat mutlak. Hanya dengan ketiga hal inilah kemudian kasus ini membawa nilai kebermanfaatan optimal bagi masyarakat. Bola kini berada di tangan Kapolri Bambang Hendarso Danuri untuk memastikan penyelesaian kasus ini secara baik. Jika kemudian segala sesuatunya terbukti, Kapolri harus berani melakukan terobosan dengan melakukan pembersihan besar-besaran di tubuh Polri sendiri. Self detoxification akan membawa kepercayaan diri bagi para polisi jujur dan bersih yang jumlahnya jauh lebih banyak dari oknum yang korup. Ia kemudian akan menjadi modal bagi penyempurnaan reformasi kepolisian menjadi polisi masyarakat sejati.

Contoh dari Chongqing

Perombakan besar-besaran jajaran kepolisian di Kota Chongqing China barangkali bisa menjadi contoh bagi kita. Pemerintah Kota Chongqing melakukan keputusan berani dengan menghukum mantan kepala Kepolisian Peng Changjian seumur hidup. Tidak itu saja, sebanyak 3.000 perwira polisi diharuskan melamar kembali jika ingin bertugas. Perombakan itu dilakukan sebagai langkah integratif penumpasan geng-geng lokal dan markus yang dilancarkan sejak Juni 2009 oleh pemerintah setempat untuk kemudian membawa perubahan kesatuan kepolisian dengan mempekerjakan 7.700 polisi baru yang diseleksi secara ketat pada 2010 ini.

Jika kemudian kasus yang diungkapkan oleh Susno Duadji terbukti benar, kita berharap Susno juga kemudian membeberkan kasus-kasus yang melibatkan para petinggi kepolisian lainnya. Maka, Kapolri atau bahkan pemerintah, harus berani melakukan gebrakan serupa. Publik merindukan kepolisian yang benar-benar sebagai pelindung dan pelayan masyarakat. Publik lelah memandang penuh kebencian tiap kali harus berurusan dengan pihak kepolisian. Publik rindu untuk bisa mencintai kepolisian. Bagaimanapun publik tahu arti penting kepolisian bagi kemajuan negeri ini. Mari kita bersama-sama menjadikan kepolisian patut untuk dicintai, dengan satu frasa: reformasi kepolisian!

Menimbang Perampingan Penyidik

Menimbang Perampingan Penyidik

Oleh: Umar Badarsyah, peneliti INSURE

Rabu, 10 Maret 2010

Perampingan lembaga penyidik beberapa waktu lalu diwacanakan oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden Jimly Asshiddiqie. Ia melihat potensi tumpang tindih dalam penyidikan sangat besar, melihat bahwa saat ini, menurutnya terdapat 55 lembaga yang memiliki kewenangan penyidikan.Wacana itu mendapat dukungan dari Ketua MK Mahfud MD yang juga mengakui adanya tumpang tindih dalam penyidikan. Wacana itu bahkan diamini oleh Kabareskrim Ito Sumardi, yang melihat fenomena penyidik PNS kerap kali tidak berkoordinasi dengan penyidik kepolisian.

Sebenarnya banyaknya lembaga yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan terjadi berdasarkan peraturan perundang-undangan. UU No. 8 tahun 1981tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pasal 6 ayat 1 menentukan penyidik adalah penyidik pejabat kepolisian dan penyidik PNS yang ditentukan berdasarkan undang-undang. Keberadaan pasal ini kemudian menjadi dasar hukum bagi pembentukan lembaga-lembaga penyidik pejabat PNS (PPNS) sesuai dengan UU sektoral masing-masing. PPNS Bea dan Cukai, PPNS Perikanan, Penyidik Angkatan Laut dan penyidik-penyidik lainnya memiliki dasar pembentukan hukum yang sah.

Keberadaan penyidik PNS ini juga memiliki landasan sosiologis, jika kita merujuk pada semakin berkembangnya bentuk kejahatan dan pelanggaran sektoral. Perkembangan ini jelas membutuhkan penyidik spesifik yang memahami benar seluk beluk peraturan perundang-undangan dan bentuk tindakan kriminal dalam wilayah kerja yang spesifik. Hal mana yang akan sangat sulit dilakukan jika banyaknya permasalahan sektoral ini diserahkan tunggal kepada penyidik kepolisian dengan pola pendidikan kepenyidikan umum yang mereka dapatkan.

Masalah sebenarnya lebih pada persoalan lemahnya koordinasi dan peraturan perundang-undangan yang melangkahi KUHAP.  Persoalan koordinasi antar penyidik pejabat kepolisian dan PPNS telah diatur dalam pasal 107 KUHAP, di mana ditentukan bahwa dalam melaksanakan penyidikan penyidik PNS berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik kepolisian, bahkan proses penyerahan berkas perkara penyidikan kepada penuntut umum, berdasarkan ayat (3) dari pasal tersebut ditentukan harus melalui penyidik kepolisian.

Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis juga melihat masalah lemahnya koordinasi inilah yang menjadi persoalan. Perampingan tidak akan menjawab persoalan efektivitas penyidikan. Ia mengutarakan, dengan banyaknya penyidik saat ini saja belum banyak yang bisa diperbuat. Perampingan akan berakibat pada perluasan kewenangan bagi penyidik lainnya.

Lemahnya pengawasan dan koordinasi justru karena UU sektoral yang terkadang memberikan kewenangan yang melampaui pengaturan KUHAP. Hal mana yang diamini oleh Kabareskrim Ito Sumardi. RUU Keimigrasian sebagai contoh memasukkan usulan kewenangan penyidik imigrasi untuk langsung menyerahkan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum. Padahal sebagaimana dijelaskan berdasarkan KUHAP pelimpahan dilakukan melalui penyidik kepolisian.

Wacana perampingan juga perlu digarisbawahi dalam hal pemberantasan korupsi. Dengan UU 32/2002 tentang KPK, lembaga pemberantasan korupsi ini memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan terkait pidana tindak korupsi. Apakah kemudian isu perampingan juga menyasar kepada KPK?

Tampaknya ada permasalahan lain yang harus lebih dulu dilakukan, yaitu pembenahan dan penguatan Kepolisian RI. KPK lahir dengan preposisi lembaga penegak hukum yang ada tidak berjalan efektif dalam memberantas korupsi. Boleh jadi selain masalah pelanggaran sektoral, banyaknya penyidik PNS terjadi karena Kepolisian belum mampu secara efektif menangani kejahatan dan pelanggaran yang terjadi.

Sejauh ini wacana perampingan penyidik mendapat reaksi positif dari DPR. Wakil Ketua Komisi III Azis Syamsuddin beberapa waktu lalu menyatakan pihaknya berencana membentuk panitia kerja untuk mengkaji perampingan penyidik ini. Jika panja ini jadi dibentuk, kita tentunya berharap pengkajian dilakukan secara mendalam dan holistik untuk dapat merumuskan kebijakan terbaik soal ini.

Fiat justitia pereat mundus

Mewaspadai Bola Liar Penolakan Perppu KPK

Mewaspadai Bola Liar Penolakan Perppu KPK

Oleh: Umar Badarsyah, peneliti INSURE

Senin, 15 Maret 2010

DPR resmi menolak Perppu No.4 tahun 2009 tentang Perubahan atas UU 30 tahun 2002 tentang KPK pekan lalu, Selasa 3 Maret 2010. Sehari setelah keputusan itu, Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menyatakan akan segera membentuk Panitia Seleksi Komisioner KPK pada bulan April ini.

UU 30 tahun 2002 tentang KPK pasal 32 memang mengatur bahwa jika salah satu komisioner KPK berhalangan tetap atau berstatus terdakwa maka pemerintah membentuk Panitia Seleksi untuk mendapatkan calon komisioner KPK pengganti untuk kemudian dipilih oleh DPR. Hanya saja, pernyataan Pemerintah bahwa pembentukan panitia seleksi itu dilakukan sekaligus untuk memilih lima komisioner KPK menjadi sensitif.

Terlebih karena saat ini KPK sedang melakukan proses hukum terhadap dua kasus yang erat dengan dua entitas cabang politik negara: eksekutif dan legislatif.

Kedua kasus itu adalah kasus Bank Century pasca Paripurna DPR yang memutuskan menunjuk lembaga-lembaga penegak hukum KPK, Polri dan Kejagung untuk mengusut kasus ini secara hukum; dan kasus dugaan suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom yang melibatkan sejumlah besar anggota legislatif terutama dari PDIP.

Sidang Paripurna DPR memberi isyarat pada dugaan penyelewengan dua pejabat penting dalam pemerintahan SBY. Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang terlibat dalam pengambilan keputusan bailout Bank Century diduga melakukan pelanggaran undang-undang. Pengusutan terhadap dua pejabat eksekutif, terutama Boediono yang terpilih menjadi Wapres melalui proses pemilu berpotensi mengakibatkan keguncangan politik yang bisa mengganggu jalannya pemerintahan, dan dalam kaitannya dengan SBY, legitimasi politik yang menjadi modal utamanya di awal pemerintahannya yang kedua akan jatuh. Bahkan jika proses penegakan hukum kemudian mengarah kepada pemakzulan Wapres, pemerintahan akan semakin terguncang dan konfigurasi koalisi pemerintahan akan mengalami perombakan. Menimbang hal ini, maka wajar jika kecurigaan intervensi pemerintah melalui pemilihan komisioner baru KPK disuarakan banyak pihak.

Intervensi terhadap KPK yang bisa saja terjadi jika panitia seleksi jadi dibentuk, tidak hanya berpotensi datang dari pemerintah. Kekuatan politik di DPR juga bisa saja mendompleng situasi. Kasus dugaan suap pada pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia melibatkan sejumlah politisi terutama dari PDIP, di samping beberapa dari Fraksi TNI/Polri dan PPP. PDIP mengalami tren penurunan jumlah suara yang signifikan. Citra buruk yang berpotensi didapat dari kasus ini tentu akan mengancam performa politik PDIP ke depan, terlebih sejumlah fungsionaris PDIP diduga terlibat seperti Panda Nababan. PDIP melalui Megawati memang sejauh ini mengeluarkan pernyataan tegas untuk tidak membela kader-kadernya jika terlibat. Hanya tak ada yang bisa benar-benar menduga politik berikut segala kepentingan dibaliknya. Bisa saja keinginan Taufiq Kiemas agar PDIP merapat kepada pemerintah bertemu dengan kepentingan SBY mempertahankan legitimasi pemerintahannya. Jika dua kepentingan ini bertemu, maka pembusukan KPK melalui injeksi oknum komisioner pengganti nantinya, adalah keniscayaan.

Banyak kalangan menyarankan agar panitia seleksi tidak perlu dibentuk, dan biarkan KPK berjalan dengan empat komisioner tersisa. ICW dan aliansi LSM anti korupsi termasuk yang menyuarakan hal itu. Dalam pandangan ICW sebenarnya dengan empat komisioner yang tersisa KPK masih bisa menjalankan kewenangan dan kewajibannya dengan baik. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Tumpak Hatorangan sendiri. Tumpak yang menyadari bahwa keberadaannya bersifat sementara menilai, dengan empat komisioner yang ada KPK tetap bisa berjalan dengan efektif. Terlebih kepengurusan KPK saat ini akan berakhir pada 2011 nanti. Artinya tersisa ’hanya’ kurang dari dua tahun bagi KPK saat ini untuk menjalankan kewenangannya.

Pilihan untuk menseleksi pengganti komisioner KPK saat ini kemudian menjadi tidak hanya rawan terhadap upaya pembusukan KPK, tetapi juga tidak efisien.