Wednesday 18 November 2009

KPK Superbody?

KPK Superbody?

Oleh: Umar Badarsyah[1]

Bangsa ini sedang diuji dengan skandal penegakan hukum nasional. Drama yang menguras sedemikian besar energi. Drama yang saya khawatirkan, berujung pada kesia-siaan, kemubaziran atau bahkan kontraproduktif, tatkala mafia peradilan, dan mafia korupsi justru semakin menguat alih-alih melemah!

Kriminalisasi KPK! Ini yang publik tangkap dari sejumlah rentetan fakta-fakta terpisah namun mudah ditafsirkan mengarah pada satu benang merah, yaitu adanya upaya pelemahan institusi yang lahir karena tuntutan reformasi dan sejauh ini menunjukkan performa jauh lebih baik dalam upaya pemberantasan korupsi.

Salah satu fakta yang menjadi rangkaian itu justru pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri. Dalam satu kesempatan(24 Juni 2009) yang kemudian dilansir oleh banyak media, Presiden Yudhoyono menilai kedudukan KPK menjadi seperti superbody. SBY mengatakan "terkait KPK, saya wanti-wanti benar, power must not go unchecked. KPK ini sudah super powerholder yang luar biasa Pertanggungjawabannya hanya kepada Allah Hati-hati."[2]

Hal yang sama juga disuarakan beberapa minggu yang lalu oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Fahri Hamzah dari Fraksi PKS. Dalam notes pribadinya yang kemudian beredar di dunia maya, beliau mengatakan KPK memiliki kewenangan absolut sekaligus terhadap kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penyadapan dan upaya paksa lainnya, yang itu berpotensi terjadi kesewenang-wenangan.[3] Fahri mengutip adagium Lord Acton,”power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.”

 

Absolute Power

Ungkapan Lord Acton yang dikutip Fahri Hamzah tersebut merupakan kutipan dari surat Sejarawan terkemuka Inggris yang bernama lengkap John Emerich Edward Dalberg-Acton kepada Mandell Craighton di bulan April 1887. Isi surat tersebut merupakan protes keras Acton terhadap praktik standar ganda aturan gereja yang menempatkan raja dan paus pada preposisi dianggap tidak pernah dan tidak akan pernah melakukan kesalahan. Padahal keduanya memegang kekuasaan yang sedemikian besar, dan keputusannya atau sekedar pengaruhnya saja, berpotensi merugikan banyak pihak.[4]

Dalam kaitannya dengan pembatasan kekuasaan absolut, ungkapan Lord Acton sering digunakan untuk memperkuat teori pemisahan kekuasaan, Trias Politica, dari filsuf Perancis yang hidup hampir seabad lebih dulu, yaitu Montesquieu. Ide Trias Politica didasari pada filosofi "government should be set up so that no man need be afraid of another" dengan membagi kekuasaan eksekutif, legislatif dan judicial secara terpisah, dan meletakkan prinsip check and balances antar ketiganya. Ini merupakan kritik atas  pemerintahan Perancis pada masa Raja Louis XIV dimana ketiga kekuasaan itu berada di tangan raja seorang, yang menciptakan pemerintahan tiran. Jamak kita ketahui, Raja Louis XIV terkenal dengan ungkapannya L'Etat c'est moi, negara adalah saya.

Menurut saya, baik kritik Lord Acton maupun teori yang dilansir oleh Montesquieu berangkat dari kekhawatiran atas absolutisme kekuasaan yang bertumpu pada dua hal, yaitu keberadaan subyek yang memegang dan bertumpuk padanya kewenangan yang sedemikian besar, dan ketiadaan otoritas lain yang melakukan peran kontrol terhadap subyek pertama. Hal mana yang hendak saya gunakan untuk menimbang apakah benar KPK merupakan lembaga superbody atau bukan.

 

KPK memang Superbody!

Baik pernyataan Presiden SBY bahwa KPK merupakan  super powerholder yang luar biasa, dan dalam istilah Fahri Hamzah: KPK terlalu absolute, barangkali ada benarnya.

Jika merujuk pada kewenangan yang dimiliki oleh KPK dalam memberantas korupsi dan membandingkannya dengan Kepolisian dan Kejaksaan dengan jelas kita dapat melihat perbedaan yang signifikan.

KPK berdasarkan UU 30/2002 memegang sekaligus kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.[5] Hal mana ketiga peran tersebut dalam UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (HAPID) diserahkan pada tiga otoritas yang berbeda: Penyelidik, Penyidik, dan Penuntut Umum.[6] Padahal pemisahan ketiga kewenangan ini punya arti perbedaan kewenangan dan supervisi. Penyelidik misalkan tidak memiliki kewenangan melakukan upaya paksa tanpa otoritas dari penyidik. Adapun penuntut umum dalam fase pra-penuntutan memiliki fungsi supervisi kepada penyidik dalam hal, terdapat kekurangan dalam penyidikan atau dalam istilah hukum yang kini akrab ditelinga publik adalah P-19. Sedangkan konsekuensi tiga kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sekaligus dalam satu KPK memiliki konsekuensi supervisi dilakukan secara internal.

Dalam pola hubungannya dengan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai institusi, KPK menurut pasal 7 dan pasal 8 UU 30/2002 merupakan koordinator sekaligus supervisor dalam hal pemberantasan korupsi. Bahkan pasal 8 memberikan kewenangan bagi KPK untuk mengambil alih kasus-kasus yang sedang diproses oleh Kepolisian, maupun yang sedang diproses oleh Kejaksaan.

Fahri Hamzah juga benar ketika mengatakan KPK dilengkapi dengan kewenangan yang lebih dalam hal melakukan penyadapan, dan dilengkapi dengan upaya paksa yang lebih banyak ketimbang bentuk-bentuk upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan dll) konvensional yang diatur dalam KUHAP.

Keseluruhan kewenangan yang saya sebutkan di atas baru sebagian dari kewenangan yang dimiliki oleh KPK di bidang pemberantasan. Masih ada lagi sejumlah kewenangan KPK di bidang pencegahan dan monitoring. Semisal melaporkan dan memeriksa kekayaan pejabat negara.

Dari besarnya dan banyaknya kewenangan yang dimiliki oleh KPK tersebut, maka ukuran pertama keberadaan subyek pemegang otoritas yang besar dan bertumpuk pada satu persona terpenuhi.

 

KPK memang Superbody?

Meski memiliki kewenangan yang besar dan bertumpuk. Kekhawatiran Presiden SBY bahwa kewenangan KPK unchecked, dan dalam istilah Fahri Hamzah KPK memegang kekuasaan absolut, belum tentu benar.

Sejak perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, Negara Republik Indonesia meneguhkan statusnya sebagai negara hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menyebutkan Negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karenanya segala tata laku, dan tata kelola negara dan pemerintahan didasarkan atas 12 prinsip-prinsip negara hukum, di antaranya supremasi hukum ,dan legalitas. (Jimly Asshiddiqie,2004)[7].

Ini berlaku tak terkecuali kepada KPK. Keberadaan KPK dilandasi oleh legalitas melalui UU 30/2002, dan KPK tidak impun (bebas dari hukum) terhadap peraturan perundang-undangan yang lainnya. KPK juga terikat dengan prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia dan prinsip pembagian kekuasaan yang keduanya juga merupakan bagian dari prinsip negara hukum. Dengan demikian, KPK sesungguhnya checked by the rule of law. Lantas bagaimana dan apa bentuk konkrit dari kontrol terhadap KPK ini?

Untuk menjawabnya kita perlu melihat UU 30/2004 dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

Pasal 3 UU KPK memang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya lembaga ini bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. Namun pengaturan ini harus ditafsirkan dalam suasana atau cita negara hukum, yang berarti sifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun yang dimaksud tidak bersifat mutlak, tetapi sesuai dengan koridor hukum.

Benar bahwa ketiga kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, serta pelbagai upaya paksa diberikan kepada KPK. Namun pemberiannya dilakukan due process of law, terikat pada aturan hukum baik itu UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana maupun UU Tindak Pidana Korupsi sebagaimana ditegaskan dalam pasal 38 dan 39 UU KPK sendiri.

Artinya orang yang misalkan dikenakan penahanan atau upaya paksa lainnya oleh KPK, dapat menuntut haknya untuk dibebaskan apabila upaya paksa yang dilakukan terhadapnya tidak sesuai dengan cara dan tujuan yang digariskan oleh UU. KUHAP memberikan hak mengajukan keberatan melalui Pra-Peradilan bagi orang-orang ini kepada pengadilan negeri. Dari sini terlihat, pengadilan negeri diberi kewenangan oleh hukum untuk melakukan kontrol atas pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh KPK.

Begitupun dengan kewenangan supervisi dan pengambilalihan kasus yang ditangani kepolisian atau kejaksaan oleh KPK. Ini harus dilakukan sesuai dengan koridor yang ditentukan dalam UU, dalam hal ini pasal 9 UU KPK, di mana pengambilalihan hanya dapat dilakukan jika memenuhi alasan yang ditentukan sebagai berikut:

a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;

b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

Jika tidak dilakukan berdasarkan ketentuan tersebut, pejabat KPK berpotensi dikenakan pidana penyalahgunaan kewenangan.

UU 30/2002 juga memberikan bentuk political check terhadap KPK melalui mekanisme pemilihan dan pengisian pimpinan lembaga pemberantasan korupsi itu. Berdasarkan pasal 30 ayat (1) pemilihan pimpinan KPK dilakukan oleh DPR terhadap calon-calon yang diajukan oleh Presiden. Proses sebelum pencalonannya pun diatur melalui panitia seleksi yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat, dimana terdapat 11 persyaratan bagi calon pemegang kendali lembaga yang memiliki kewenangan besar di bidang pemberantasan korupsi ini. Melihat besarnya kewenanangan yang dimiliki, maka idealnya proses pencalonan hingga pemilihan dilakukan dengan penuh kehati-hatian baik oleh presiden maupun oleh DPR. Ini dikarenakan proses yang mereka lakukan merupakan simbol penyerahan belt of souvereignty terbatas bagi para calon terpilih untuk kemudian memiliki keabsahan mengemban wewenang yang diberikan.

Oleh karena itu wajar jika tingkat tinggi rendahnya keberhati-hatian presiden dan DPR dalam proses ini sering disorot sebagai ukuran komitmen pemberantasan korupsi kedua subyek tersebut. Jika kemudian Presiden mengkhawatirkan sepak terjak penggunaan kewenangan KPK oleh pimpinan KPK saat ini, dan Fahri Hamzah menyoroti perilaku Antasari, maka semestinya keduanya sadar, bahwa ada andil mereka dalam hal ini.

Dengan adanya kontrol hukum atas kewenangan KPK, kontrol subyek lain seperti pengadilan dan political check dari Presiden dan DPR, maka unsur kedua absolutisme kewenangan KPK, yaitu ketiadaan otoritas pengontrol tidak terpenuhi.

 

Bukan Superbody tapi Ekstraordinary

Berdasarkan uraian di atas, saya ingin mengatakan bahwa pendapat KPK merupakan superbody tidak benar. Namun kita juga tidak bisa menafikan bahwa KPK memang memiliki kewenangan yang lebih besar jika dibandingkan dengan lembaga penegakan hukum lainnya,dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Istilah yang lebih tepat untuk KPK barangkali bukan superbody, melainkan esktraordinary body, karena besarnya kewenangan yang dimiliki lembaga itu memang lebih dari kewenangan yang dimiliki oleh institusi penegakan hukum lainnya, tentu dengan catatan terbatas di bidang pemberantasan korupsi saja.

Keberadaan KPK sebagai lembaga ekstraordinary bukan tanpa sebab. Dia dilahirkan tidak nihil konteks. Setidaknya ada dua alasan yang saya tangkap baik dari konsideran maupun penjelasan UU 30/2002 tentang KPK. Pertama, bahwa korupsi dianggap sebagai ekstraordinary crime yang merugikan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional sehingga dibutuhkan pendekatan ekstraordinary pula dalam membasminya[8].

Kedua, bahwa KPK didirikan karena lembaga konvensional yang menangani pemberantasan korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien, ini tidak hanya merujuk pada kepolisian dan kejaksaan, tetapi juga lembaga-lembaga pemberantasan korupsi lainnya yang pernah didirikan sebelum KPK berdiri seperti Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan lain-lain.

Berpijak pada dua alasan inilah maka KPK diberi kewenangan ekstraordinary demi menjadikan pemberantasan korupsi lebih efektif dan efisien. Terbukti sejak pendiriannya di tahun 2003 hingga kini, KPK menunjukkan performa yang lebih baik dalam memberantas korupsi. Ini dapat terlihat pada peningkatan signifikan indeks prestasi korupsi Indonesia. Pada tahun 2004 IPK Indonesia 2,0 dan berada pada peringkat 137 dari 146 negara.[9]Untuk tahun 2009, Transparency International mencatat IPK Indonesia 2,8 dan berada di peringkat 111 dari 180 negara.[10] Publik juga melihat bagaimana KPK berkiprah membasmi korupsi yang dilakukan oleh Kepala-Kepala Daerah, Bekas Menteri, Menteri, Duta Besar, Mantan Polisi, bahkan besan Presiden sekalipun.

 

Perkuat KPK

Mencermati perkembangan kisruh lembaga pemberantasan korupsi, terutama pasca penyerahan rekomendasi Tim Delapan kepada Presiden. Ternyata keberadaan KPK sebagai lembaga ekstraordinary membawa masalah kecemburuan institusi penegakan hukum konvensional. Hal ini menurut saya terjadi karena kesalahan kolektif kita bersama dengan pemerintah dan DPR periode lama memegang porsi yang lebih besar. Ini dikarenakan dalam kurun 2004 hingga saat ini, reformasi institusi penegakan hukum konvensional tidak dilakukan secara optimal. Padahal preposisi keberadaan KPK salah satunya adalah belum efektifnya institusi penegakan hukum konvensional.

Dalam pandangan saya keberadaan KPK sebagai lembaga ekstraordinary body tetap harus dipertahankan, sementara reformasi penegakan hukum ditingkatkan.  Meski demikian, terhadap KPK juga perlu dilakukan penguatan dan pembenahan pada sisi koordinasi antar lembaga penegakan hukum.

Di luar pembenahan koordinasi, saya mengusulkan dua perubahan untuk memperkuat KPK. Pertama, penguatan proses political check pemilihan komisioner KPK. Harus dibangun sistem yang mampu menjamin Presiden, dan DPR benar-benar serius dalam memilih pejabat pimpinan KPK, agar lembaga ekstraordinary ini diisi oleh orang-orang yang benar-benar ekstraordinary dari segi integritas, kejujuran dan komitmen pemberantasan korupsi. Saya optimis ini bisa dilakukan jika proses pemilihan yang ada saat ini dibenahi dengan mengintegrasikan keberadaan UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Pelayanan Publik. Porsi keterlibatan masyarakat, Civil society diperkuat.

Berkaca pada kesuksesan pemberantasan korupsi di Hongkong yang dimotori oleh Independent Commission Against Corruption (ICAC/KPK-nya hongkong). Pilar keempat kesuksesan pemberantasan korupsi di negara bagian Cina bekas jajahan Inggris ini, adalah dukungan komunitas atas pemberantasan korupsi. Oleh karenanya masyarakat harus memperkuat diri dan diberikan akses lebih kuat dalam memilih komisioner KPK.

Kedua pendekatan represif melalui sanksi yang lebih progresif kepada pejabat KPK yang melakukan penyelewengan. Sudah semestinya kewenangan yang ekstraordinary disertai dengan tuntutan tanggung jawab yang ekstraordinary pula. Sayangnya hal itu tidak konsisten dilakukan dalam UU KPK saat ini. Pejabat KPK yang melakukan penyelewengan masih diberikan sanksi ‘konvensional’ dengan standar pemberatan 1/3 tambahan pidana pokok,[11] sama seperti pemidanaan pemberatan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.[12] Seharusnya dikenakan pidana minimal dan maksimal hukuman mati sekaligus bagi pejabat KPK. Misal minimal 5 tahun maksimal hukuman mati. Sehingga hakim dalam memberikan vonis terbatas pada pilihan vonis bebas, pidana minimal atau lebih hingga pidana mati.

-----

Semoga energi kolektif yang terserap begitu besar dalam babak kisruh institusi penegakan hukum kali ini, berujung pada buah positif penuh kebermanfaatan bagi penegakan hukum nasional ke depan. Hingga hukum benar-benar dirasa membawa kebermanfaatan dan kesejahteraan bagi rakyat. Salus Publica Suprema Lex Esto

[1] Peneliti Institute for Sustainable Reform (INSURE), lembaga analisis media dan kebijakan publik

[2] Koran Tempo, 12 November h.A3

[3] Dikutip secara merangkum, tidak utuh, bisa dilihat di http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg96498.html

[4] Dalberg-Acton, John Emerich Edward (1949), Essays on Freedom and Power, Boston:The Becon Press, p. 364 sebagaimana saya baca dan pahami dari sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/John_Dalberg-Acton,_1st_Baron_Acton#cite_note-2

[5] Pasal 6 huruf c UU 30/2002

[6] Secara ringkas penyelidik dan penyidik adalah pejabat polisi dan penyidik PNSdengan masing-masing syarat kepangkatan tertentu, adapun penuntut umum adalah pejabat kejaksaan yang ditunjuk sebagai jaksa penuntut umum.

[7] Jimly Asshiddiqqie. “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer”. Simbur Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004 ISSN No. 14110-0614

 

[8] Lihat alinea ketiga dari penjelasan umum UU 30/2002 tentang KPK

[9] http://www.kilasberita.com/kb-news/kilas-indonesia/12276-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-mengalami-kenaikan

[10] http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/11/18/05303146/Indeks.Korupsi.Indonesia.Rawan

[11] Pasal 67 UU 30/2002

[12] Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

No comments:

Post a Comment