Wednesday 21 May 2008

Pemilihan Umum antara Demokrasi Politik dan Kesejahteraan

Salus Publica Suprema Lex Esto

-Cicero

 

Mobil mikrolet nomor 17 jurusan Garut Kota – Wanaraja itu melaju menembus hujan lebat yang turun di Garut. Meski hujan deras tetapi suara lantang penceramah dari Toa sebuah masjid kampung yang dilalui terdengar oleh sang supir, kernet yang duduk di samping sang supir, seorang teman, penulis dan dua orang penumpang lainnya.“ahhh, masing keneh ajengan ge amun tos jadi pejabat mah ngabangsat (biarpun kiyai kalau sudah jadi pejabat pasti jadi bangsat),”ujar sang supir setengah berteriak. “ lain pajabat, penjahat I(bukan pejabat, penjahat),”timpal sang kernet. Penulis hanya bisa tersenyum, dalam tatapan heran teman yang kebetulan beretnis Jawa dan sama sekali tidak mengerti bahasa Sunda.

Apa yang diungkapkan oleh sang supir dan kernet itu pada dasarnya menunjukkan satu hal. Kepercayaan publik pada pejabat daerah dan sangat mungkin Pemerintah Daerah bahkan mungkin Pemerintah Pusat, apa pun latar belakang pejabat sebelumnya, teramat rendah. Mereka lelah dengan proses demokrasi politik bernama Pemilu atau dalam hal ini Pilkada yang selama ini tidak membawa dampak langsung bagi kehidupan ekonomi mereka, atau tepatnya kesejahteraan mereka.

Sejatinya keberadaan Pemilihan Umum (pemilu) termasuk di dalamnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah ciri dari suatu negara demokrasi. Pemilu menurut teori demokrasi klasik merupakan suatu “transmission belts of power”,  rakyat merupakan sumber political authority para wakil rakyat maupun kepala pemerintahan. Pemilu merupakan proses transformasi itu. Jargon negara Republik, “ pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” diwujudkan dengan pemilu.

John Locke mengungkapkan bahwa salah satu tujuan didirikannya negara adalah untuk melindungi hak-hak individu masyarakatnya, dan puncaknya berdirinya suatu negara dimaksudkan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Pengalaman pemilu di Indonesia pasca reformasi, semenjak Pemilu 1999 dan 2004. Proses transformasi kekuasaan dari rakyat kepada wakil rakyat untuk kemudian menjalankan fungsi-fungsi negara yang bertujuan pada upaya mensejahterakan warga negara tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Jika berkaca pada data kemiskinan, tidak ada peningkatan berarti sejak berakhirnya era Soeharto hingga kepemimpinan SBY saat ini. Prosentase penduduk miskin bahkan meningkat dari 14% di akhir era Soeharto hingga paruh akhir kepemimpinan SBY pada kisaran 16.8 %. \jika ukurannya harga bahan makanan pokok maka terjadi peningkatan yang signifikan. Secara perlahan tapi pasti subsidi BBM dikurangi, yang berimbas secara langsung kepada menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat. Pendidikan di era reformasi bukan merupakan hak konstitusional sebagaimana semestinya. Pendidikan merupakan beban yang mesti ditanggung dan harus memakan korban. Tidak hanya sekali kita dikejutkan dengan perilaku ibu yang membunuh anaknya dan menghabisi hidupnya sendiri akibat akumulasi tekanan ekonomi yang tinggi. Tukang gorengan yang gantung diri. Siswa SD yang gantung diri. Contoh ekstrem memang karena anak putus sekolah, gizi balita buruk, makan nasi aking adalah fenomena yang biasa di tengah kedaulatan politik yang selama ini berlangsung.

Tingkat kesejahteraan yang menurun, dan tekanan hidup yang meningkat diperparah dengan perilaku korupsi dan penegakan hukum yang menyedihkan. Pemilu di satu sisi merupakan pesta demokrasi dan sebagaimana diungkapkan di atas merupakan proses transformasi kedaulatan rakyat. Namun, di sisi lain dia merupakan hajatan yang banyak membutuhkan dana. Suara-suara kedaulatan rakyat tergadaikan dengan beras-beras berkedok baksos, upeti preman, jatah 25ribuan untuk para tukang ojek, handphone gratis, konsesi proyek, konsesi jabatan politik (jabatan lurah dan camat). Merupakan ’biaya-biaya’ di luar biaya kampanye yang rela dikeluarkan oleh para calon pejabat publik yang haus kekuasaan. Maka wajar jika baik calon incumben maupun orang baru pasca terpilih akan berupaya untuk menanggulangi kerugian yang dideritanya. Perilaku ini di tengah kebebasan informasi dan media menjadi hal yang hampir setiap hari menemani rakyat dalam pergulatan akrobatik hidup mereka.  

Agaknya demokrasi yang kita nikmati saat ini baru sekedar demokrasi prosedural. Demokrasi yang sekedar mengantarkan individu-individu yang besar kemungkinan kemudian, meminjam istilah sarkastik yang digunakan oleh sang supir bahkan Kiyai pun saat menjadi pejabat bisa menjadi bangsat!!

Sudah saatnya dan semestinya kita mengupayakan demokrasi yang sejati yaitu demokrasi yang mensejahterakan. Sebagaimana apa yang diutarakan oleh Cicero, kepentingan, kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi.

Viva altermundialista!!