Friday 27 November 2009

Cahaya Bagi Semua Bangsa

Cahaya Bagi Semua Bangsa
Oleh Gilad Atzmon- London


Diterjemahkan oleh Umar Badarsyah

Terjemahan dari : As a Light Unto The Nations
Sumber : palestinechronicle.com

‘Israel adalah cahaya bagi bangsa-bangsa’ sabda Taurat. Tentu saja benar, tidak hanya karena Taurat lah yang mengatakan demikian. Bangsa Israel memang selalu di depan orang lain dalam banyak hal. Sebagai contoh, dalam menteror populasi sipil dan mempraktekkan beberapa taktik penghancuran mematikan terhadap orang-orang tua, perempuan dan anak-anak.

Jerussalem Post melaporkan kemarin bahwa Ketua Komite Militer NATO, Admiral Giampaolo Di Paola mengunjungi Israel awal pekan ini untuk mempelajari “Taktik dan metode Tentara Pertahanan Israel (IDF) yang bisa digunakan oleh aliansi militer tersebut untuk perang di Afghanistan.” Seorang petugas tentara pertahanan Israel menambahkan “satu hal yang ada dalam pikiran NATO hari in iadalah bagaimana untuk menang di Afghanistan…Di Paola sangat kagum terhadap IDF, yang (baginya) merupakan sumber informasi besar/penting karena pengalaman operasi kami.”

Saya hendak menyarankan baik pejabat Israel itu dan Admiral Di Paola untuk sedikit menahan antusiasme mereka. IDF tidak pernah memenangkan sebuah peperangan pun sejak 1967. Bahwa ya, Israel telah membunuh banyak penduduk sipil, Israel telah meratakan banyak kota, membuat jutaan orang kelaparan, dan hingga kini telah melakukan kejahatan-kejahatan perang tiap harinya selama beberapa decade tapi tetap saja Israel tidak memenangkan sebuah perang pun. Oleh karena itu, Israel tidak bisa benar-benar mengajarkan kepada NATO bagaimana caranya menang di Afghanistan. Jika para jenderal NATO cukup bodoh untuk mengikuti taktik-taktik IDF, seperti para jenderal Israel, mereka akan mulai melihat tuntutan-tuntutan kejahatan perang ditumpuk dan dilemparkan kepada mereka. Mereka bahkan bisa cukup beruntung untuk berbagi sel tahanan dengan beberapa orang Israel karena hal itu (kejahatan perang), nanti saat keadilan ditegakkan.

Admiral Di Paola menghabiskan dua hari dengan Kepala Staf IDF yang tidak populer Jend. Gabi Ashkenazi, orang yang memimpin serangan IDF ke Gaza Desember kemarin.

Di negara Yahudi mereka sangat antusias dengan kedatangan Admiral Di Paola. Mereka memaknainya sebagai jaminan kembali atas ‘business as usual/bisnis seperti biasa’. Kunjungan pejabat tinggi NATO penting untuk memberikan keyakinan kepada mereka bahwa tidak ada seorang pun yang mempedulikan laporan Goldstone. “Kunjungan Di Paola sangat signfikan” ujar Jerusalem Post,”terlebih karena kedatangannya di waktu IDF dalam kritikan yang meningkat akibat Laporan Goldstone atas Operation Cast Lead juga akibat keputusan Turki – negara anggota NATO- untuk melarang Israel ikut dalam latihan militer udara.

Meski demikian, penting untuk mengelaborasi kepentingan bersama yang muncul antara kedua pihak ini, yaitu Israel dan NATO. “Saat pertemuan mereka Rabu lalu, Ashkenazi dan Di Paola mendiskusikan cara meningkatkan ikatan militer Israel-NATO juga soal rencana melibatkan Angkatan Laut Israel dalam Active Endeavour, sebuah misi NATO yang dibangun setelah serangan 9/11, suatu program di mana kapal-kapal NATO berpatroli di laut Mediterania untuk mencegah penyelundupan terror illegal(pengiriman senjata, bom, teroris dll)”.

Ini jelas merupakan langkah yang diperlukan bagi Israel. Saat ini Angkatan Laut Israel beroperasi di Latu Mediterania laksana komplotan Yidisshe Piraten (Bajak Laut Yahudi), menghancurkan, membajak dan mencuri kapal-kapal di lautan internasional. Begitu beroperasi di bawah bendera NATO, pasukan Israel bisa meneror setiap kapal di perairan bebas atas nama ‘barat’. Bagi negara Yahudi ini merupakan suatu langkah kemajuan yang besar. Hingga kini Israel telah melakukan kejahatan atas nama orang-orang Yahudi. Saat beroperasi di bawah bendera NATO nanti, Israelis bisa melakukan aksi pembajakan mereka atas nama Eropa. Langkah itu akan menjadi bukti transisi spiritual dan ideological dalam Zionisme, dari ‘tanah yang dijanjikan’ menjadi ‘planet yang dijanjikan’.

Sementara Israel sangat membutuhkan legitimasi dari NATO, kepentingan NATO jauh lebih sederhana. Apa yang dibutuhkan oleh NATO adalah pengetahuan dan taktik-taktik. Untuk beberapa alasa NATO bersikeras untuk belajar dari Israel soal bagaimana mengakibatkan luka bagi populasi sipil. Lebih banyak luka, tentu saja, dari luka yang sudah diberikan oleh NATO. “Para pejabat NATO mengatakan bahwa Di Paola memanfaatkan pertemuan dengan IDF untuk belajar teknologi baru yang bisa diterapkan dalam perang di Afghanistan”. Jerusalem Post melaporkan bahwa Israel adalah ‘pemimpin masyhur dunia dalam pengembangan peralatan perang spesial untuk berlindung dari improvised explosive devices (IDS/bahasa jawanya mah bom tanam rakitan hasil improvisasi local wisdom) , atau yang juga disebut dengan ranjau darat.” Inilah masalahnya. Para Jenderal Israel paham sejak lama bahwa prajurit-prajurit muda berharga mereka lebih memilih sembunyi dalam tank-tank mereka daripada berperang langsung dengan ‘musuh’ i.e. populasi sipil, anak-anak, orang tua dan wanita. Tidak berhenti di situ, Di Paola juga tertarik atas ‘kemampuan Intelejen Israel dan metode yang digunakan oleh IDF ketika beroperasi di tengah-tengah populasi sipil.” Di Paola mencatat bahwa “NATO dan IDF menghadapi ancaman yang sama- NATO di Afghanistan dan Israel dalam perangnya melawan Hamas dan Hizbullah.”

Saya akan menyarankan kepada Admiral Di Paola untuk segera membaca laporan Goldstone secara menyeluruh, sehingga ia bisa menemukan nurani hukumnya begitu dia memulai ‘taktik-taktik Israel’. Jika Admiral Di Paola ingin menggerakkan pasukannya, di memang seharusnya mengunjungi Israel, dia juga harus bertemu dengan setiap penjahat perang baik di militer dan politik sehingga dia tahu dengan jelas apa yang mestinya tidak dilakukan.

Peluang NATO untuk menang di Afghanistan terbatas, mereka bahkan sebenarnya kewalahan. NATO hanya bisa kalah. Beberapa analis militer dan jenderal-jenderal veteran berargumen bahwa sebenarnya NATO sudah kalah lebih dulu. NATO telah cukup membawa pembunuhan besar-besaran kepada orang-orang Afghan tanpa mendapatkan kemenangan militer ataupun politik apapun. Mengingat bahwa Israel telah sangat dipermalukan di Libanon tahun 2006 oleh paramiliter mini Hizbullah dan gagal menggapai goal militernya dalam perang genocidal Operation Cast Lead-nya terhadap Hamas, tidak ada gunanya bagi NATO untuk belajar dari Israel. Kalau NATO memaksakan diri mengimplementasikan taktik-taktik IDF yang diberikan, apa yang akan diraihnya adalah reduksi keamanan dramatis di wilayah Eropa dan Amerika.

Jika kita benar-benar peduli dengan perdamaian dan kita ingin hal itu terwujud, apa yang harus kita lakukan adalah menjauhkan diri kita sejauh mungkin terhadap ikatan spiritual, ideology , politik dan militer dari Zionisme, Israel dan lobi-lobinya. Jika benar Israel adalah ‘Cahaya bagi Bangsa-bangsa’, seseorang harusnya menjelaskan kepada kita semua, mengapa prospeknya menuju kedamaian justru semakin menjadi lemah dan gelap.

Jawaban saya sebenarnya sederhana, Israel bisa dengan mudah dilihat sebagai “cahaya bagi bangsa-bangsa’ selama kau belajar dari Israel apa yang harusnya tidak kau lakukan. Kenyataannya ini adalah pesan yang disampaikan oleh para nabi humanis kita, Jesus dan Marx. Cintai tetanggamu, hidup lah bersama yang lainnya, transendensikan dirimu di atas kesukuan ke dalam realism universal. Pada kenyataannya hal inilah yang secara nyata gagal digenggam oleh Israel. Untuk beberapa alasan, mereka mencintai diri mereka sendiri sebesar mereka membenci tetangga-tetangga mereka.

Kalau Admiral Di Paola ingin memenangkan hati dan pikiran orang-orang Afghan (ketimbang memenangkan sebuah perang), dia harusnya belajar mencintai mereka dulu. Ini merupakan hal yang tidak mungkin dipelajarinya di Jerusalem atau Tel Aviv… Gaza, Ramalah dan Nablus juga demikian.

-Gilad Atzmon adalah seorang penulis dan musisi Jazz tinggal di London, merupakan seorang Yahudi generasi kedua dan pernah berhidmat sebagai tentara militer Israel. Karya/CD terbarunya adalah In Loving Memory of America. Dia mengkontribusikan artikel ini ke PalestineChronicle.com

Wednesday 18 November 2009

KPK Superbody?

KPK Superbody?

Oleh: Umar Badarsyah[1]

Bangsa ini sedang diuji dengan skandal penegakan hukum nasional. Drama yang menguras sedemikian besar energi. Drama yang saya khawatirkan, berujung pada kesia-siaan, kemubaziran atau bahkan kontraproduktif, tatkala mafia peradilan, dan mafia korupsi justru semakin menguat alih-alih melemah!

Kriminalisasi KPK! Ini yang publik tangkap dari sejumlah rentetan fakta-fakta terpisah namun mudah ditafsirkan mengarah pada satu benang merah, yaitu adanya upaya pelemahan institusi yang lahir karena tuntutan reformasi dan sejauh ini menunjukkan performa jauh lebih baik dalam upaya pemberantasan korupsi.

Salah satu fakta yang menjadi rangkaian itu justru pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri. Dalam satu kesempatan(24 Juni 2009) yang kemudian dilansir oleh banyak media, Presiden Yudhoyono menilai kedudukan KPK menjadi seperti superbody. SBY mengatakan "terkait KPK, saya wanti-wanti benar, power must not go unchecked. KPK ini sudah super powerholder yang luar biasa Pertanggungjawabannya hanya kepada Allah Hati-hati."[2]

Hal yang sama juga disuarakan beberapa minggu yang lalu oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Fahri Hamzah dari Fraksi PKS. Dalam notes pribadinya yang kemudian beredar di dunia maya, beliau mengatakan KPK memiliki kewenangan absolut sekaligus terhadap kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penyadapan dan upaya paksa lainnya, yang itu berpotensi terjadi kesewenang-wenangan.[3] Fahri mengutip adagium Lord Acton,”power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.”

 

Absolute Power

Ungkapan Lord Acton yang dikutip Fahri Hamzah tersebut merupakan kutipan dari surat Sejarawan terkemuka Inggris yang bernama lengkap John Emerich Edward Dalberg-Acton kepada Mandell Craighton di bulan April 1887. Isi surat tersebut merupakan protes keras Acton terhadap praktik standar ganda aturan gereja yang menempatkan raja dan paus pada preposisi dianggap tidak pernah dan tidak akan pernah melakukan kesalahan. Padahal keduanya memegang kekuasaan yang sedemikian besar, dan keputusannya atau sekedar pengaruhnya saja, berpotensi merugikan banyak pihak.[4]

Dalam kaitannya dengan pembatasan kekuasaan absolut, ungkapan Lord Acton sering digunakan untuk memperkuat teori pemisahan kekuasaan, Trias Politica, dari filsuf Perancis yang hidup hampir seabad lebih dulu, yaitu Montesquieu. Ide Trias Politica didasari pada filosofi "government should be set up so that no man need be afraid of another" dengan membagi kekuasaan eksekutif, legislatif dan judicial secara terpisah, dan meletakkan prinsip check and balances antar ketiganya. Ini merupakan kritik atas  pemerintahan Perancis pada masa Raja Louis XIV dimana ketiga kekuasaan itu berada di tangan raja seorang, yang menciptakan pemerintahan tiran. Jamak kita ketahui, Raja Louis XIV terkenal dengan ungkapannya L'Etat c'est moi, negara adalah saya.

Menurut saya, baik kritik Lord Acton maupun teori yang dilansir oleh Montesquieu berangkat dari kekhawatiran atas absolutisme kekuasaan yang bertumpu pada dua hal, yaitu keberadaan subyek yang memegang dan bertumpuk padanya kewenangan yang sedemikian besar, dan ketiadaan otoritas lain yang melakukan peran kontrol terhadap subyek pertama. Hal mana yang hendak saya gunakan untuk menimbang apakah benar KPK merupakan lembaga superbody atau bukan.

 

KPK memang Superbody!

Baik pernyataan Presiden SBY bahwa KPK merupakan  super powerholder yang luar biasa, dan dalam istilah Fahri Hamzah: KPK terlalu absolute, barangkali ada benarnya.

Jika merujuk pada kewenangan yang dimiliki oleh KPK dalam memberantas korupsi dan membandingkannya dengan Kepolisian dan Kejaksaan dengan jelas kita dapat melihat perbedaan yang signifikan.

KPK berdasarkan UU 30/2002 memegang sekaligus kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.[5] Hal mana ketiga peran tersebut dalam UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (HAPID) diserahkan pada tiga otoritas yang berbeda: Penyelidik, Penyidik, dan Penuntut Umum.[6] Padahal pemisahan ketiga kewenangan ini punya arti perbedaan kewenangan dan supervisi. Penyelidik misalkan tidak memiliki kewenangan melakukan upaya paksa tanpa otoritas dari penyidik. Adapun penuntut umum dalam fase pra-penuntutan memiliki fungsi supervisi kepada penyidik dalam hal, terdapat kekurangan dalam penyidikan atau dalam istilah hukum yang kini akrab ditelinga publik adalah P-19. Sedangkan konsekuensi tiga kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sekaligus dalam satu KPK memiliki konsekuensi supervisi dilakukan secara internal.

Dalam pola hubungannya dengan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai institusi, KPK menurut pasal 7 dan pasal 8 UU 30/2002 merupakan koordinator sekaligus supervisor dalam hal pemberantasan korupsi. Bahkan pasal 8 memberikan kewenangan bagi KPK untuk mengambil alih kasus-kasus yang sedang diproses oleh Kepolisian, maupun yang sedang diproses oleh Kejaksaan.

Fahri Hamzah juga benar ketika mengatakan KPK dilengkapi dengan kewenangan yang lebih dalam hal melakukan penyadapan, dan dilengkapi dengan upaya paksa yang lebih banyak ketimbang bentuk-bentuk upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan dll) konvensional yang diatur dalam KUHAP.

Keseluruhan kewenangan yang saya sebutkan di atas baru sebagian dari kewenangan yang dimiliki oleh KPK di bidang pemberantasan. Masih ada lagi sejumlah kewenangan KPK di bidang pencegahan dan monitoring. Semisal melaporkan dan memeriksa kekayaan pejabat negara.

Dari besarnya dan banyaknya kewenangan yang dimiliki oleh KPK tersebut, maka ukuran pertama keberadaan subyek pemegang otoritas yang besar dan bertumpuk pada satu persona terpenuhi.

 

KPK memang Superbody?

Meski memiliki kewenangan yang besar dan bertumpuk. Kekhawatiran Presiden SBY bahwa kewenangan KPK unchecked, dan dalam istilah Fahri Hamzah KPK memegang kekuasaan absolut, belum tentu benar.

Sejak perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, Negara Republik Indonesia meneguhkan statusnya sebagai negara hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menyebutkan Negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karenanya segala tata laku, dan tata kelola negara dan pemerintahan didasarkan atas 12 prinsip-prinsip negara hukum, di antaranya supremasi hukum ,dan legalitas. (Jimly Asshiddiqie,2004)[7].

Ini berlaku tak terkecuali kepada KPK. Keberadaan KPK dilandasi oleh legalitas melalui UU 30/2002, dan KPK tidak impun (bebas dari hukum) terhadap peraturan perundang-undangan yang lainnya. KPK juga terikat dengan prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia dan prinsip pembagian kekuasaan yang keduanya juga merupakan bagian dari prinsip negara hukum. Dengan demikian, KPK sesungguhnya checked by the rule of law. Lantas bagaimana dan apa bentuk konkrit dari kontrol terhadap KPK ini?

Untuk menjawabnya kita perlu melihat UU 30/2004 dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

Pasal 3 UU KPK memang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya lembaga ini bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. Namun pengaturan ini harus ditafsirkan dalam suasana atau cita negara hukum, yang berarti sifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun yang dimaksud tidak bersifat mutlak, tetapi sesuai dengan koridor hukum.

Benar bahwa ketiga kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, serta pelbagai upaya paksa diberikan kepada KPK. Namun pemberiannya dilakukan due process of law, terikat pada aturan hukum baik itu UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana maupun UU Tindak Pidana Korupsi sebagaimana ditegaskan dalam pasal 38 dan 39 UU KPK sendiri.

Artinya orang yang misalkan dikenakan penahanan atau upaya paksa lainnya oleh KPK, dapat menuntut haknya untuk dibebaskan apabila upaya paksa yang dilakukan terhadapnya tidak sesuai dengan cara dan tujuan yang digariskan oleh UU. KUHAP memberikan hak mengajukan keberatan melalui Pra-Peradilan bagi orang-orang ini kepada pengadilan negeri. Dari sini terlihat, pengadilan negeri diberi kewenangan oleh hukum untuk melakukan kontrol atas pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh KPK.

Begitupun dengan kewenangan supervisi dan pengambilalihan kasus yang ditangani kepolisian atau kejaksaan oleh KPK. Ini harus dilakukan sesuai dengan koridor yang ditentukan dalam UU, dalam hal ini pasal 9 UU KPK, di mana pengambilalihan hanya dapat dilakukan jika memenuhi alasan yang ditentukan sebagai berikut:

a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;

b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

Jika tidak dilakukan berdasarkan ketentuan tersebut, pejabat KPK berpotensi dikenakan pidana penyalahgunaan kewenangan.

UU 30/2002 juga memberikan bentuk political check terhadap KPK melalui mekanisme pemilihan dan pengisian pimpinan lembaga pemberantasan korupsi itu. Berdasarkan pasal 30 ayat (1) pemilihan pimpinan KPK dilakukan oleh DPR terhadap calon-calon yang diajukan oleh Presiden. Proses sebelum pencalonannya pun diatur melalui panitia seleksi yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat, dimana terdapat 11 persyaratan bagi calon pemegang kendali lembaga yang memiliki kewenangan besar di bidang pemberantasan korupsi ini. Melihat besarnya kewenanangan yang dimiliki, maka idealnya proses pencalonan hingga pemilihan dilakukan dengan penuh kehati-hatian baik oleh presiden maupun oleh DPR. Ini dikarenakan proses yang mereka lakukan merupakan simbol penyerahan belt of souvereignty terbatas bagi para calon terpilih untuk kemudian memiliki keabsahan mengemban wewenang yang diberikan.

Oleh karena itu wajar jika tingkat tinggi rendahnya keberhati-hatian presiden dan DPR dalam proses ini sering disorot sebagai ukuran komitmen pemberantasan korupsi kedua subyek tersebut. Jika kemudian Presiden mengkhawatirkan sepak terjak penggunaan kewenangan KPK oleh pimpinan KPK saat ini, dan Fahri Hamzah menyoroti perilaku Antasari, maka semestinya keduanya sadar, bahwa ada andil mereka dalam hal ini.

Dengan adanya kontrol hukum atas kewenangan KPK, kontrol subyek lain seperti pengadilan dan political check dari Presiden dan DPR, maka unsur kedua absolutisme kewenangan KPK, yaitu ketiadaan otoritas pengontrol tidak terpenuhi.

 

Bukan Superbody tapi Ekstraordinary

Berdasarkan uraian di atas, saya ingin mengatakan bahwa pendapat KPK merupakan superbody tidak benar. Namun kita juga tidak bisa menafikan bahwa KPK memang memiliki kewenangan yang lebih besar jika dibandingkan dengan lembaga penegakan hukum lainnya,dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Istilah yang lebih tepat untuk KPK barangkali bukan superbody, melainkan esktraordinary body, karena besarnya kewenangan yang dimiliki lembaga itu memang lebih dari kewenangan yang dimiliki oleh institusi penegakan hukum lainnya, tentu dengan catatan terbatas di bidang pemberantasan korupsi saja.

Keberadaan KPK sebagai lembaga ekstraordinary bukan tanpa sebab. Dia dilahirkan tidak nihil konteks. Setidaknya ada dua alasan yang saya tangkap baik dari konsideran maupun penjelasan UU 30/2002 tentang KPK. Pertama, bahwa korupsi dianggap sebagai ekstraordinary crime yang merugikan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional sehingga dibutuhkan pendekatan ekstraordinary pula dalam membasminya[8].

Kedua, bahwa KPK didirikan karena lembaga konvensional yang menangani pemberantasan korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien, ini tidak hanya merujuk pada kepolisian dan kejaksaan, tetapi juga lembaga-lembaga pemberantasan korupsi lainnya yang pernah didirikan sebelum KPK berdiri seperti Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan lain-lain.

Berpijak pada dua alasan inilah maka KPK diberi kewenangan ekstraordinary demi menjadikan pemberantasan korupsi lebih efektif dan efisien. Terbukti sejak pendiriannya di tahun 2003 hingga kini, KPK menunjukkan performa yang lebih baik dalam memberantas korupsi. Ini dapat terlihat pada peningkatan signifikan indeks prestasi korupsi Indonesia. Pada tahun 2004 IPK Indonesia 2,0 dan berada pada peringkat 137 dari 146 negara.[9]Untuk tahun 2009, Transparency International mencatat IPK Indonesia 2,8 dan berada di peringkat 111 dari 180 negara.[10] Publik juga melihat bagaimana KPK berkiprah membasmi korupsi yang dilakukan oleh Kepala-Kepala Daerah, Bekas Menteri, Menteri, Duta Besar, Mantan Polisi, bahkan besan Presiden sekalipun.

 

Perkuat KPK

Mencermati perkembangan kisruh lembaga pemberantasan korupsi, terutama pasca penyerahan rekomendasi Tim Delapan kepada Presiden. Ternyata keberadaan KPK sebagai lembaga ekstraordinary membawa masalah kecemburuan institusi penegakan hukum konvensional. Hal ini menurut saya terjadi karena kesalahan kolektif kita bersama dengan pemerintah dan DPR periode lama memegang porsi yang lebih besar. Ini dikarenakan dalam kurun 2004 hingga saat ini, reformasi institusi penegakan hukum konvensional tidak dilakukan secara optimal. Padahal preposisi keberadaan KPK salah satunya adalah belum efektifnya institusi penegakan hukum konvensional.

Dalam pandangan saya keberadaan KPK sebagai lembaga ekstraordinary body tetap harus dipertahankan, sementara reformasi penegakan hukum ditingkatkan.  Meski demikian, terhadap KPK juga perlu dilakukan penguatan dan pembenahan pada sisi koordinasi antar lembaga penegakan hukum.

Di luar pembenahan koordinasi, saya mengusulkan dua perubahan untuk memperkuat KPK. Pertama, penguatan proses political check pemilihan komisioner KPK. Harus dibangun sistem yang mampu menjamin Presiden, dan DPR benar-benar serius dalam memilih pejabat pimpinan KPK, agar lembaga ekstraordinary ini diisi oleh orang-orang yang benar-benar ekstraordinary dari segi integritas, kejujuran dan komitmen pemberantasan korupsi. Saya optimis ini bisa dilakukan jika proses pemilihan yang ada saat ini dibenahi dengan mengintegrasikan keberadaan UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Pelayanan Publik. Porsi keterlibatan masyarakat, Civil society diperkuat.

Berkaca pada kesuksesan pemberantasan korupsi di Hongkong yang dimotori oleh Independent Commission Against Corruption (ICAC/KPK-nya hongkong). Pilar keempat kesuksesan pemberantasan korupsi di negara bagian Cina bekas jajahan Inggris ini, adalah dukungan komunitas atas pemberantasan korupsi. Oleh karenanya masyarakat harus memperkuat diri dan diberikan akses lebih kuat dalam memilih komisioner KPK.

Kedua pendekatan represif melalui sanksi yang lebih progresif kepada pejabat KPK yang melakukan penyelewengan. Sudah semestinya kewenangan yang ekstraordinary disertai dengan tuntutan tanggung jawab yang ekstraordinary pula. Sayangnya hal itu tidak konsisten dilakukan dalam UU KPK saat ini. Pejabat KPK yang melakukan penyelewengan masih diberikan sanksi ‘konvensional’ dengan standar pemberatan 1/3 tambahan pidana pokok,[11] sama seperti pemidanaan pemberatan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.[12] Seharusnya dikenakan pidana minimal dan maksimal hukuman mati sekaligus bagi pejabat KPK. Misal minimal 5 tahun maksimal hukuman mati. Sehingga hakim dalam memberikan vonis terbatas pada pilihan vonis bebas, pidana minimal atau lebih hingga pidana mati.

-----

Semoga energi kolektif yang terserap begitu besar dalam babak kisruh institusi penegakan hukum kali ini, berujung pada buah positif penuh kebermanfaatan bagi penegakan hukum nasional ke depan. Hingga hukum benar-benar dirasa membawa kebermanfaatan dan kesejahteraan bagi rakyat. Salus Publica Suprema Lex Esto

[1] Peneliti Institute for Sustainable Reform (INSURE), lembaga analisis media dan kebijakan publik

[2] Koran Tempo, 12 November h.A3

[3] Dikutip secara merangkum, tidak utuh, bisa dilihat di http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg96498.html

[4] Dalberg-Acton, John Emerich Edward (1949), Essays on Freedom and Power, Boston:The Becon Press, p. 364 sebagaimana saya baca dan pahami dari sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/John_Dalberg-Acton,_1st_Baron_Acton#cite_note-2

[5] Pasal 6 huruf c UU 30/2002

[6] Secara ringkas penyelidik dan penyidik adalah pejabat polisi dan penyidik PNSdengan masing-masing syarat kepangkatan tertentu, adapun penuntut umum adalah pejabat kejaksaan yang ditunjuk sebagai jaksa penuntut umum.

[7] Jimly Asshiddiqqie. “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer”. Simbur Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004 ISSN No. 14110-0614

 

[8] Lihat alinea ketiga dari penjelasan umum UU 30/2002 tentang KPK

[9] http://www.kilasberita.com/kb-news/kilas-indonesia/12276-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-mengalami-kenaikan

[10] http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/11/18/05303146/Indeks.Korupsi.Indonesia.Rawan

[11] Pasal 67 UU 30/2002

[12] Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Monday 2 November 2009

Ujung Kontroversi Cicak vs. Buaya: Reformasi Kepolisian?

Ulasan Hukum:

Ujung Kontroversi Cicak vs. Buaya: Reformasi Kepolisian?
Disusun Oleh : Umar Badarsyah

Hari ini, Selasa 3 November 2009 akan menjadi babak krusial dalam kisruh kasus penangkapan Chandra Hamzah (CH) dan Bibit Samad Riyanto (BSR). Ini dikarenakan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi yang dijadwalkan berlangsung pukul 11.00 nanti, rekaman hasil sadapan akan diperdengarkan. Sidang itu sendiri sebenarnya berkenaan dengan pengajuan judicial review oleh CH dan BSR terhadap pasal 31 ayat (1) huruf C UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan KPK.

Di sisi lain, dalam upaya mencari kejelasan persoalan proses penegakan hukum penyidikan dan penangkapan atas CH dan BSH, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono akhirnya membentuk tim pencari fakta. Presiden Tim independen klarifikasi fakta dan proses hukum itu dipimpin pengacara senior Adnan Buyung Nasution, yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden, dengan wakil ketua Irjen (Purn) Koesparmono Irsan dan sekretaris tim Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana. Anggota tim terdiri dari lima orang, yakni Rektor Universitas Paramadina Anies Rasyid Baswedan, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, praktisi hukum Todung Mulya Lubis, guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, dan praktisi hukum Amir Syamsuddin.
Tim akan turut mengkaji isi rekaman pembicaraan yang mengindikasikan adanya rekayasa kriminalisasi terhadap dua unsur pimpinan KPK.Sementara itu Amir Syamsuddin mengatakan, ada dua pandangan di dalam tim independen klarifikasi fakta. Pertama, apa pun yang terjadi, masalah yang melibatkan Bibit dan Chandra harus bergulir hingga pengadilan. Pendapat kedua, jika fakta yang diperoleh ternyata meragukan, perlu ditempuh mekanisme lain, seperti penerbitan surat perintah penghentian penyidikan.

Kepolisian sebagai institusi, terlepas bahwa terdapat indikasi oknum-oknumnya terlibat dalam dugaan proses kriminalisasi KPK, merupakan institusi yang paling terancam integritasnya. Kepolisian dihadapkan dengan arus dukungan kuat masyarakat terhadap KPK. Jika benar terjadi kriminalisasi terhadap KPK dalam proses hukum atas CH dan BSR, maka secara tak sadar kepolisian terkriminalisasi oleh masyarakat, trialed by community.

Rangkaian fakta kejanggalan proses hukum yang dilakukan terhadap CH dan BSR,serta adanya indikasi conflict of interest petinggi kepolisian, bertemu dengan memori masyarakat atas kekecewaan performa kepolisian secara umum, menemukan momentum. Terlebih saat KPK dianggap sebagai simbol pemberantasan korupsi yang memenuhi ekspektasi masyarakat. Ini mengakibatkan kepolisian sebagai institusi berada diujung tanduk.

Suara civil society menuntut reformasi kepolisian mulai muncul di masyarakat. Seperti tuntutan Dewan Muda Lintas Agama, salah satu anggotanya. Izul Muslimin meminta Presiden melakukan reformasi dijajaran Kapolri dan kejasaan Agung. Izul juga mewakili Pemuda Muhammadiyah menyerukan reformasi kepolisian. Pdt. Daniel Harahap juga ikut menyuarakan mengenai reformasi kepolisian.

Aktivis Indonesian Police Watch, Neta S Pane, mengaku yakin di dalam tubuh internal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sendiri sekarang telah terjadi perpecahan pendapat menyikapi penahanan Bibit dan Chandra. Banyak dari kalangan perwira Polri, menurut dia, tidak setuju terhadap penahanan tersebut karena diyakini hanya akan merusak berbagai upaya positif yang selama ini telah dicapai dalam upaya reformasi kepolisian. (Kompas,2/11/09)

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Edy Prasetyono,juga menilai sudah saatnya kalangan sipil mendorong upaya reformasi total terhadap Polri seperti juga selama ini telah dijalankan dengan baik oleh internal Tentara Nasional Indonesia, yang berada di bawah koordinasi Departemen Pertahanan. Menurutnya setidaknya ada dua cara bisa dilakukan, merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri atau bisa juga dengan segera memajukan dan membahas Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional. Dari salah satu upaya tersebut, kemudian bisa dibuatkan aturan yang menempatkan Polri di bawah institusi atau departemen sipil. Menurut Edy, Polri bisa ditempatkan di bawah departemen tertentu, entah itu Departemen Hukum dan HAM, Depdagri, atau dibuatkan departemen tersendiri. (Kompas,2/11/09)

Jika kemudian gelar rekaman hasil penyadapan menunjukkan indikasi kuat kriminalisasi KPK oleh oknum kepolisian, kemudian Tim Independen menindaklanjutinya, maka perlu ada upaya konkret menyelamatkan institusi kepolisian. Babak Cicak vs Buaya yang menguras energi bangsa ini, agaknya akan sia-sia jika tidak ditindaklanjuti dengan memperkuat lembaga kepolisian. Bagaimanapun, masyarakat sadar Kepolisian memegang peran teramat penting dalam upaya penegakan hukum nasional. Fiat Justitia Pereat Mundus