Monday 19 April 2010

Berharap (Kembali) Reformasi Kepolisian!

Berharap (Kembali) Reformasi Kepolisian!

Oleh: Umar Badarsyah, peneliti INSURE

Rabu, 24 Maret 2010

Momentum perombakan, perbaikan besar-besaran dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali terbuka. Adalah Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Susno Duadji yang membuka kesempatan itu. Kali ini Susno Duadji mengungkapkan dugaan sejumlah perwira tinggi Markas Besar Polri terlibat sebagai makelar kasus (markus) dalam kasus pengusutan pidana pajak yang melibatkan uang senilai Rp 24 milyar. Ironi mengiringi upaya Susno menguak kasus tersebut. Susno sendiri sebelumnya dikenal sebagai simbol antagonis dalam babak Cicak-Buaya, babak paling mubazir yang pernah dilalui bangsa ini dalam mengupayakan perbaikan signifikan institusi kepolisian.

Evaluasi Cicak Buaya

Penting bagi kita untuk melakukan evaluasi terhadap kegagalan bangsa ini menggunakan momentum Cicak-Buaya. Besarnya dukungan publik dalam melawan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto, dan Chandra Hamzah diakui sebagai lompatan solidaritas civil society yang teramat luar biasa, yang sebelumnya belum pernah terjadi pasca reformasi. Sayangnya hal itu gagal dikapitalisasi bagi kepentingan strategis perbaikan penegakan hukum nasional, terutama perbaikan institusi-institusinya.

Minimal ada tiga penyebab kegagalan kita menggunakan momentum Cicak-Buaya. Pertama, ketiadaan kanalisasi strategis energi dukungan masyarakat. Energi positif masyarakat dalam semangat anti korupsi pada babak kriminalisasi pimpinan KPK lalu gagal diarahkan pada sasaran yang lebih strategis yakni sasaran reformasi kepolisian. Sejumlah tokoh sebenarnya sudah berupaya mengarahkan ke sana. Amien Rais misalnya, termasuk jajaran tokoh yang menekankan pentingnya momentum itu dijadikan entry point reformasi tidak hanya institusi kepolisian tetapi juga kejaksaan. Ahli hukum pidana UI, Rudi Satrio bahkan menggunakan istilah revolusi kepolisian, untuk mengamputasi para perwira tinggi sekalipun, jika terbukti bermasalah di lingkungan Mabes Polri. Sayangnya, ini tidak lantas menjadi hal konsisten yang diperjuangkan. Dan karena sifat dukungan yang sangat cair, tidak ada satupun kelompok yang bisa menjaga fokus maha derasnya dukungan itu. Kepentingan-kepentingan seperti pembebasan kedua pimpinan demi menyelamatkan KPK, dan juga kriminalisasi simbol antagonis yaitu Susno Duadji mengganggu fokus sasaran strategis.

Kedua, politik spin-doctor. Kasus Century menjadi pukulan penyempurna isu reformasi kepolisian. Bagaimana tidak, saat boleh dikatakan semua elemen masyarakat pendukung gerakan anti korupsi bersatu dalam kasus Cicak dan Buaya, maka saat terjadi pengalihan isu kepada kasus Bank Century, elemen-elemen good governance dan antikorupsi (LSM maupun masyarakat) yang bersatu itu bercerai sesuai dengan pendirian masing-masing. Satu kubu menganggap pengambilan kebijakan bailout tepat, dan kebijakan itu tak patut dikriminalisasi, satu kubu melihat ada kejanggalan dalam kebijakan dan harus diusut tuntas.

Ketiga, politik amputasi-kambing hitam. Gelombang energi masyarakat juga kemudian mampu direndam dengan politik amputasi. Susno Duadji -masih teringat jelas dalam memori kita- merupakan sosok Dursasana dalam kriminalisasi KPK. Kemarahan pada perilaku asimpatik Susno harus diakui menjadi salah satu pemicu kian besarnya dukungan masyarakat bagi Cicak. Susno celakanya menjadi maha simbol bagi memori kolektif masyarakat terhadap oknum-oknum polisi korup yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Maka saat Susno kemudian dicopot dari jabatannya sebagai Kabareskrim, terjadi antiklimaks. Publik terlampau cepat puas dengan penegakan keadilan terhadap Susno, kembalinya Bibit dan Chandra memimpin KPK menyempurnakan persepsi masyarakat bahwa kita telah meraih kemenangan.

Alhasil ketiga hal di atas membuat kita lupa, bahwa tugas belum selesai. Selama reformasi kepolisian belum tuntas, maka sosok-sosok oknum polisi dalam bentuk makelar kasus, peminta sogok SIM dan STNK,  perekayasa kasus, tukang catut uang tilang, hingga pelanggar HAM akan terus kita temui.

Fokus Pada Sasaran

Fokus menjadi kunci dalam memanfaatkan momentum pengakuan Susno kali ini. Masyarakat tidak lagi boleh terjebak pada upaya pengalihan isu, yang sudah nampak dilakukan. Jika melihat bagaimana isu pelanggaran kode etik, dan saling tuduh ’maling teriak maling’ dilancarkan, potensi teralihkannya isu dari sasaran mereformasi kepolisian sangat besar. Bahwa apa yang dilakukan oleh Susno berpotensi melanggar kode etik kepolisian, tidak boleh menjadi pengalih isu dari kasus yang hendak diungkap. Kasus harus diusut seusai dengan hukum yang berlaku. Kepolisian harus berani melakukan penyidikan kepada perwiranya sendiri.Jika terbukti, maka kepolisian harus berani mengamputasi para perwira tinggi Polri, termasuk jika Susno pun ternyata punya masalah sebelumnya.

Ketegasan, keadilan dan transparansi dalam menyelesaikan kasus ini merupakan prasyarat mutlak. Hanya dengan ketiga hal inilah kemudian kasus ini membawa nilai kebermanfaatan optimal bagi masyarakat. Bola kini berada di tangan Kapolri Bambang Hendarso Danuri untuk memastikan penyelesaian kasus ini secara baik. Jika kemudian segala sesuatunya terbukti, Kapolri harus berani melakukan terobosan dengan melakukan pembersihan besar-besaran di tubuh Polri sendiri. Self detoxification akan membawa kepercayaan diri bagi para polisi jujur dan bersih yang jumlahnya jauh lebih banyak dari oknum yang korup. Ia kemudian akan menjadi modal bagi penyempurnaan reformasi kepolisian menjadi polisi masyarakat sejati.

Contoh dari Chongqing

Perombakan besar-besaran jajaran kepolisian di Kota Chongqing China barangkali bisa menjadi contoh bagi kita. Pemerintah Kota Chongqing melakukan keputusan berani dengan menghukum mantan kepala Kepolisian Peng Changjian seumur hidup. Tidak itu saja, sebanyak 3.000 perwira polisi diharuskan melamar kembali jika ingin bertugas. Perombakan itu dilakukan sebagai langkah integratif penumpasan geng-geng lokal dan markus yang dilancarkan sejak Juni 2009 oleh pemerintah setempat untuk kemudian membawa perubahan kesatuan kepolisian dengan mempekerjakan 7.700 polisi baru yang diseleksi secara ketat pada 2010 ini.

Jika kemudian kasus yang diungkapkan oleh Susno Duadji terbukti benar, kita berharap Susno juga kemudian membeberkan kasus-kasus yang melibatkan para petinggi kepolisian lainnya. Maka, Kapolri atau bahkan pemerintah, harus berani melakukan gebrakan serupa. Publik merindukan kepolisian yang benar-benar sebagai pelindung dan pelayan masyarakat. Publik lelah memandang penuh kebencian tiap kali harus berurusan dengan pihak kepolisian. Publik rindu untuk bisa mencintai kepolisian. Bagaimanapun publik tahu arti penting kepolisian bagi kemajuan negeri ini. Mari kita bersama-sama menjadikan kepolisian patut untuk dicintai, dengan satu frasa: reformasi kepolisian!

No comments:

Post a Comment