Friday 7 November 2008

Upaya Mengusung Undang-Undang Bantuan Hukum

Ulasan Kebijakan:

Upaya Mengusung Undang-Undang Bantuan Hukum

Disusun Oleh : Umar Badarsyah

Pendahuluan

Salah satu ciri utama dari negara hukum demokrasi adalah persamaan perlakuan di depan hukum, equality before the law. Prinsip ini belum sepenuhnya ditegakkan di negara Republik Indonesia tercinta yang telah menegaskan dirinya sebagai negara hukum dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3. Hal ini bisa dilihat dari minimnya akses bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Padahal dalam prinsip persamaan hukum, setiap orang tanpa kecuali, memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, termasuk akses mendapatkan bantuan hukum.

Kebutuhan masyarakat miskin atas bantuan hukum cuma-cuma sangat tinggi. LBH Jakarta dalam laporannya[1] menyebutkan setidaknya dalam 5 tahun terakhir lebih dari 5000 kasus diterima dan sebanyak 96.681 orang diperkirakan terbantu. Hingga tahun 2006 terdapat 1.123 kasus yang diterima dan orang yang dibantu sebanyak 10.015 jiwa. Jika dibandingkan dengan data BPS tahun 2007 yang menyebutkan jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 37,17 juta (16,58 persen) maka dapat disimpulkan prosentase penduduk miskin yang membutuhkan bantuan hukum cuma-cuma sangat besar. Padahal tidak jarang kita melihat tersangka atau terdakwa yang dikarenakan ketidakmampuannya secara ekonomi harus berhadapan dengan aparat hukum sendirian.

Atas dasar lemahnya jaminan bantuan hukum bagi mereka yang miskin, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan LSM-LSM yang bergerak di bidang advokasi publik mendorong pemerintah untuk membuat Undang-Undang Bantuan Hukum. Mereka mendesak agar RUU Bantuan Hukum masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di tahun 2008 ini.

Bantuan Hukum Vs Komersialisasi

Sebenarnya keberadaan bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu sudah diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 56 yang berbunyi:

(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman lima belas tahun atau lebih atau mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

Begitupun dengan Undang-Undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal 22 Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa Advokat wajib memberikan bantuan hukum cuma-cuma pada para pencari keadilan yang tidak mampu. Hanya saja aturan tersebut belum menjadi the living law dikarenakan tidak adanya aturan yang terperinci untuk menjamin keberlangsungannya.

Pada prakteknya menurut Frans H. Winata, anggota Komite Hukum Nasional[2], yang terjadi selama ini adalah adanya kesemrawutan konsep bantuan hukum dengan kemunculan kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut biaya (fee) yang menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan kewajiban dari advokat.

Selain itu, budaya (life style) yang berkembang di lingkungan advokat juga menjadi sorotan. Penggolongan advokat sebagai profesi yang mulia (officium nobellium) menemukan ironi tatkala komersialisme menerpa para pembela publik ini. Komersialisasi itu terlihat dari gaya hidup para advokat yang mewah, dengan kantor mewah, setelan kemeja dan jas mewah, yang keseluruhannya dianggap biasa demi menaikkan citra dalam upaya berkompetisi merebut kepercayaan para klien. Hal ini berdampak pada tingginya nilai ekonomis jasa layanan hukum. Kini advokat menjadi profesi yang komersil. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Asfinawati[3], advokat akan memilih kasus-kasus yang menguntungkan dirinya secara materi. Dengan demikian akses masyarakat miskin untuk mendapatkan bantuan hukum semakin sempit.

Urgensi/signifikansi Bantuan Hukum

Keberadaan bantuan hukum merupakan suatu keharusan dalam negara hukum. Pada negara hukum terdapat prinsip-prinsip yang harus ditegakkan. Salah satu di antaranya adalah persamaan perlakuan di depan hukum. Bahwa tidak boleh ada perlakuan diskriminatif kepada siapapun dengan alasan apapun baik itu ras, suku, agama, gender dan status sosial. Sayangnya di negara kita diskriminasi itu kerap kali terjadi, baik di lapangan hukum pidana, perdata, maupun kebijakan publik.

Pada ranah hukum pidana masyarakat miskin kerap kali menjadi korban ketidakadilan hukum. Akses mereka terhadap hak-hak yang semestinya mereka peroleh kerap ditutupi atau tidak diberikan oleh pihak aparat.Seperti hak mereka untuk dikunjungi keluarga, hak mereka untuk mendapatkan bantuan hukum, hak mereka untuk menjalani pemeriksaan tanpa tekanan dan siksaan, hak mereka untuk segera diahukan dalam pengadilan, hak mereka untuk meminta penangguhan penahanan atas alasan yang diperbolehkan UU. Kasus Sengkon-Karta tidak hanya terjadi diera 70-an saat aturan hukum acara pidana masih warisan penjajah tetapi terulang saat UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang bernafaskan perlindungan HAM sudah berjalan puluhan tahun. Di tahun 2002 ada kasus Budi Harjono yang sempat dipenjara selama 6 bulan penjara atas tuduhan membunuh ayah kandungnya sendiri, dia kemudian dibebaskan setelah pembunuh sebenarnya tertangkap. Di tahun yang sama Risman- Rostin pasangan suami istri divonis penjara 3 tahun atas tuduhan pembunuhan terhadap Alta, putri kandung Risman sendiri. Setelah mereka menjalani penuh hukuman mereka publik gempar karena si anak yang diduga mati tiba-tiba hidup dan kembali pulang. Kasus terakhir terjadi baru-baru ini atas diri Kemat dan David, mereka disangka membunuh Asrori yang ternyata keliru berdasarkan pemeriksaan DNA dan pengakuan sang pembunuh sebenarnya, Ryan. Kasus-kasus ini bisa jadi merupakan fenomena gunung es yang sering terjadi di lapangan, akibat lemahnya komitmen penegakan hukum dan perlindungan hak-hak hukum masyarakat miskin.

Di wilayah hukum perdata status sosial mereka sudah terlebih dahulu menetapkan posisi kasus mereka manakala lawan yang dihadapi adalah orang, atau badan yang memiliki status yang lebih tinggi, atau bahkan badan pemerintah yang melakukan perbuatan hukum perdata. Ini terlihat dalam banyak kasus-kasus sengketa tanah.

Masyarakat miskin juga menjadi pihak yang paling rentan atas kebijakan publik. Mereka tidak memiliki daya untuk mempertahankan hak-hak hukumnya dari kebijakan penggusuran, pengusiran, dan relokasi tempat usaha, padahal tidak jarang mereka memiliki legalitas yang kuat, atau setidaknya memiliki legalitas ‘palsu’ dikarenakan keterlibatan oknum aparat tetapi tetap saja, hak-hak mereka terabaikan akibat lemahnya akses mereka atas keadilan dalam sistem hukum kita.

Kasus-kasus yang telah disebutkan di atas tidak perlu terjadi kiranya kita memiliki sistem bantuan hukum yang memadai. Keberadaan sistem ini sangat penting tidak hanya untuk menjamin hak-hak hukum masyarakat miskin tetapi juga untuk menegakkan keadilan hukum itu sendiri.

Bantuan Hukum Sebagai Hak Konstitusional

Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Secara ekstensif pasal ini juga berarti negara bertanggung jawab memberikan jaminan hak ekonomi, sosial, politik, dan budaya serta hukum bagi fakir miskin, termasuk di dalamnya hak atas bantuan hukum. Terlebih lagi pasal 28D menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 pada pasal 14 juga melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan hukum yang sama tanpa adanya diskriminasi. Dengan demikian hak mendapatkan bantuan hukum merupakan hak konstitusional bagi masyarakat di negara ini, tanpa terkecuali juga terhadap masyarakat miskin.

Posisi RUU Bantuan Hukum

Usulan RUU Bantuan hukum sudah bergulir sejak 12 Juni 1967. Ketika itu Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (kini Badan Pembinaan Hukum Nasional atau BPHN) telah mengusulkan RUU Bantuan Hukum yang terdiri dari 7 bab dan 34 pasal. RUU tersebut kemudian ditinjau kembali pada tahun 1975 dan 1977. Peninjauan itu didasari oleh beberapa alasan. Di antaranya penyelarasan substansi RUU Bantuan Hukum dengan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun, RUU Bantuan Hukum tersebut belum pernah diajukan ke parlemen untuk dibahas.

Pada April 2006 lalu usulan RUU Bantuan Hukum kembali mencuat, kali ini diusung LBH. RUU Bantuan Hukum yang diusung oleh LBH ini merupakan hasil kajian gabungan LBH-LBH nasional, termasuk di dalamnya YLBHI, melalui pelbagai seminar dan lokakarya sejak 2005 silam. Kemudian pada 14 Maret 2008, delegasi YLBHI telah bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta untuk membahas tentang posisi RUU Bantuan Hukum. Pertemuan itu ditindaklanjuti dengan pertemuan antara YLBHI dengan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM, Abdul Wahid Masru, pihak pemerintah berkomitmen untuk menjadikan RUU Bantuan Hukum in imenjadi inisiatif Pemerintah, dan berupaya untuk menggolkannya pada Program Legislasi nasional tahun ini.

Sampai ulasan ini diturunkan RUU Bantuan Hukum belum masuk ke dalam Prolegnas 2008.



[1] Asfinawati, Bantuan Hukum Akses Masyarakat Marjinal Terhadap Keadilan, LBH Jakarta, 2007

[2] Frans Hendar Winata, Dasar Konstitusional Bantuan Hukum, Suara Pembaruan 23 Agustus 2007

[3] Asfinawati, Ibid.

No comments:

Post a Comment