Friday 7 November 2008

Perlindungan Anak dan RUU Pornografi

Perlindungan Anak dan RUU Pornografi

Oleh :Umar Badarsyah

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Relawan Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia

Akhirnya setelah melalui proses yang panjang hampir lebih dari dua tahun semenjak Rancangan Undang-Undang Pornografi diambil alih inisiatif pengajuannya oleh DPR RI, sebanyak delapan fraksi setuju untuk membawa Rancangan Undang-Undang Pornografi (RUU Pornografi) dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan sedang dua fraksi yang sedari awal 'menolak' bersikap kukuh. Persetujuan ini diambil dalam rapat kerja Pansus RUU Pornografi, Selasa (28/10) malam.(Republika, 28 Okt 08)

Bagi Aliansi Selamatkan Anak Indonesia (ASA Indonesia) perkembangan ini merupakan suatu hal yang teramat menggembirakan, dan merupakan kabar baik bagi upaya perlindungan terhadap anak dari bahaya pornografi. Terlebih fakta di lapangan menunjukkan semakin lama RUU ini disahkan semakin banyak anak yang menjadi korban baik langsung maupun tidak langsung dari bahaya pornografi. Sebagai bukti, Komisi Perlindungan Anak Indonesia sejak awal tahun hingga pertengahan Oktober ini telah menerima 454 laporan kasus anak yang sebagian besarnya berupa laporan kejahatan seksual baik terhadap anak maupun dilakukan oleh anak akibat dorongan pornografi. Jika kita melihat itu sebagai fenomena iceberg maka berapa banyak kasus lain yang tidak dilaporkan oleh KPAI? Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta dalam Pertemuan Cikini yang digagas oleh Aliansi Selamatkan Anak Indonesia dan dihadiri oleh puluhan institusi pendukung RUU Pornografi,memaparkan keprihatinannya ketika mengunjungi 12 Lapas Anak se-Indonesia dan mendapatkan lebih dari 80% anak-anak yang terpidana akibat kasus pencabulan atas dorongan konsumsi materi pornografi.Kasus-kasus kejahatan terhadap anak maupun yang dilakukan oleh anak akibat pornografi pun dapat dengan mudah kita temui dan baca di media cetak beberapa tahun belakangan ini.

Fakta-fakta inilah yang kemudian menjadikan keberadaan suatu UU yang dapat melindungi anak dari bahaya pornografi sangat urgen.

Salah satu alasan yang sempat mengemuka dari kalangan yang menolak keberadaan RUU Pornografi dalam kaitannya dengan perlindungan anak adalah perlindungan anak dari bahaya pornografi telah tercantum dan diatur dalam UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002). Alasan lain yang juga dikemukakan adalah bahwa RUU ini justru ditakutkan malah akan mengkriminalisasi anak.

UU Perlindungan Anak Tidak Cukup

UU Perlindungan Anak memang telah mengatur perlindungan anak dari pornografi tetapi sebagian saja itupun dengan redaksi perlindungan anak dari eksploitasi seksual sebagaimana diatur dalam pasal 59 dan 88. Berikut kutipan pasal-pasal tersebut:

Pasal 59

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 88 Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal ini hanya akan menjerat produsen pornografi anak, padahal anak menjadi korban pronografi bukan hanya atas materi pornografi anak tetapi juga pornografi yang melibatkan orang-orang dewasa.

Ada beberapa perspektif dalam memandang anak sebagai korban pornografi:

  1. Anak menjadi korban pornografi karena terampas haknya untuk tumbuh dan berkembang secara wajar, serta memiliki masa depan karena pemikiran, mentalitas, bahkan fisiknya dirusak oleh pornografi.
  2. Anak menjadi korban pornografi karena dieksploitasi secara seksual untuk menjadi subjek materi pornografi.
  3. Anak menjadi korban pornografi karena terdorong menjadi pelaku kejahatan seksual berupa pencabulan,pemerkosaan hingga pemerkosaan yang berakibat pembunuhan dan terampas masa depannya,terpidana akibat mengkonsumsi pornografi.
  4. Anak menjadi korban kejahatan seksual berupa pencabulan, pemerkosaan hingga pembunuhan oleh pelaku anak-anak maupun dewasa yang terdorong melakukan perbuatan pidana akibat pornografi.

Berbekal pelbagai perspektif tersebut maka perlindungan anak terhadap bahaya pornografi harus dilakukan dengan tidak hanya mencegah akses anak terhadap pornografi tetapi juga orang dewasa terhadap pornografi. Pencegahan akses terhadap pornografi meliputi pelarangan produksi, distribusi hingga konsumsi pornografi. UU Perlindungan Anak hanya meliputi sebagian kecil dari upaya pencegahan ini, yaitu pelarangan disertai pemidanaan bagi orang-orang yang mengeksploitasi anak secara seksual. Perlindungan akses anak dari mengkonsumsi pornografi sendiri belum diatur oleh UU ini.

Jika mengacu pada draft resmi terakhir yang dikeluarkan oleh DPR kepada publik, tertanggal 4 September 2008,pencegahan akses anak terhadap pornografi dengan tegas disebutkan dalam pasal 16 RUU Pornografi: Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.

Seluruh kegiatan dalam siklus pornografi sejak produksi, distribusi hingga konsumsi dibatasi dan dilarang dalam pasal 4 hingga 6 RUU Pornografi, bahkan kegiatan memfasilitasi dan menawarkan diri menjadi objek materi pornografi dilarang oleh ketentuan pasal 7 hingga 10 pada draft yang dilansir ke publik tersebut. Pasal 11 RUU itu kemudian menegaskan pelarangan pelibatan anak pada seluruh kegiatan yang dilarang pada pasal 4 hingga 10.

Dunia internasional juga menilai Indonesia belum memiliki hukum yang memadai dalam melindungi anak dari bahaya pornografi. End Child Pornography, Prostitution and Trafficking for Sexual Purposes (ECPAT), sebuah organisasi internasional yang melakukan advokasi atas kejahatan sexual anak, dalam Global Monitoring Report tahun 2006-nya memberikan dukungan dan rekomendasi masukan atas RUU Pornografi karena hukum Indonesia dianggap belum sesuai dengan definisi internasional tentang pornografi anak dan perlindungan anak dari bahaya pornografi.

Dengan demikian dalam Perlindungan Anak dari bahaya pornografi keberadaan RUU Pornografi menjadi pelengkap dan penyempurna bagi upaya perlindungan anak atas bahaya pornografi dan sejalan dengan tujuan perlindungan atas hak-hak anak secara keseluruhan.

RUU Pornografi Mengkriminalisasi Anak?

Sempat pula mengemuka alasan penolakan RUU Pornografi karena dikhawatirkan justru akan mengkriminalisasi anak. Penulis ingin mengatakan bahwa ya RUU ini kelak jika menjadi UU akan mengkriminalisasi anak. RUU ini juga akan mengkriminalisasi perempuan, sebagaimana juga akan mengkriminalisasi laki-laki, tua muda dan tak peduli SARA apapun semuanya akan dikriminalisasi.

Penting untuk ditanyakan, apa yang dimaksud dengan mengkriminalisasi? Mengkriminalisasi anak? Jika yang dimaksudkan selama ini bahwa RUU hanya akan menjadikan anak-anak terpidana padahal mereka sesungguhnya adalah korban dari pornografi, maka itu keliru. Jika melihat pengaturan dalam draft RUU ini, maka kelak orang-orang yang ikut bertanggung jawab dalam mendorong anak-anak yang terpidana akibat materi pronografi akan ikut terjerat. Selama ini hukum tidak mampu secara efektif menjamah orang-orang yang memproduksi, dan mendistribusikan pornografi hingga dapat diakses oleh anak-anak yang kemudian melakukan tindak pidana akibat dorongannya. RUU ini akan menjerat orang-orang yang secara ironis mendapatkan keuntungan materil saat masa depan anak-anak tersebut terampas.

Jika yang dimaksud dengan mengkriminalisasi anak berarti memenjarakan anak-anak maka para pihak penentang tidak adil dalam memandang suatu Ius Constituendum bernama RUU Pornografi ini karena berapa banyak Ius Constitutum atau hukum positif yang ada dan berpotensi memenjarakan anak? Pasal-pasal dalam KUHP saja semisal pencurian, pembunuhan dan pemerkosaan saja niscaya dapat mengkriminalisasi anak jika konteksnya demikian.

Frase barang siapa dalam KUHP dan setiap orang dalam redaksi yang tertera dalam draft RUU Pornografi abai gender dan usia, dia mensasar semuanya, termasuk persoon hukum tak bergender bernama badan hukum. Oleh karena itu penulis menyatakan RUU ini kelak akan mengkriminalisasi anak, perempuan, laki-laki tua muda dan dari SARA manapun.

Akan tetapi mari kita lihat mengapa sesorang itu kemudian dipidana. Telah menjadi asas umum dalam hukum pidana bahwa tiada seorang pun dapat dipidana kecuali ada kesalahan.Dalam hal pelanggaran atas delik pornografi yang akan diatur dalam RUU inianak-anak, perempuan, laki-laki tua muda dan orang dengan latar SARA manapun hanya akan dipidana jika ia terbukti melakukan kesalahan yang dirumuskan dalam tiap-tiap pasalnya.

Dalam hukum pidana pertanyaan itu tidak berhenti pada apakah ada kesalahan yang diperbuat tetapi melaju pada pertanyaan selanjutnya, apakah orang yang melakukan kesalahan dapat dimintakan pertanggungjawaban,dan sejauh mana pertanggungjawaban itu bisa dikenakan.

Dalam konteks tindak pidana yang dilakukan oleh anak kita memiliki UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mengatur batasan usia anak, kategorisasi usia anak dan bentuk pemidanaan yang dikenakan pada masing-masing kategori usia. UU ini mengatur dengan tegas bahwa terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak hanya dapat dikenakan jenis-jenis pidana dan kadar yang ditentukan dalam UU ini yang mana standarnya lebih rendah ketimbang orang-orang dewasa, pun UU ini mensyaratkan sistem Pengadilan Khusus bagi anak-anak. Sehingga alasan RUU mengkriminalisasi anak terlebih digunakan sebagai alasan menolak pengesahan RUU Pornografi tidak hanya lemah dan tidak berdasar tetapi juga kontra produktif dalam upaya melindungi anak dari bahaya pornografi.

Landasan Hukum RUU Pornografi

Telah menjadi tujuan dan cita-cita pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menuju kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan Pancasila sebagai penentu arah, grundnorm dari upaya perwujudannya. Kesejahteraan umum yang hendak dicapai meliputi keseluruhan pembangunan materiil dan spirituil termasuk di dalamnya menjaga dan mempertahankan identitas moral bangsa. Pornografi merupakan materi yang merusak moral dan kehidupan berbangsa, ia menjadi penghambat dari cita-cita dasar tujuan NKRI ini. Oleh karena itu, keberadaan RUU Pornografi ini memiliki landasan filosofis yang kuat untuk menjadi instrumen dalam mengarah pada tujuan yang dicita-citakan.

Selain memiliki dimensi moralitas yang kuat menuju cita-cita negara, RUU ini juga kental dengan dimensi perlindungan warga negara karena pornografi tidak hanya memicu terjadinya tindak pidana tetapi juga merusak masyarakat sosial, dan dalam kaitannya dengan anak sebagai penerus generasi bangsa, pornografi mengancam masa depan kita.Oleh karena itu perlindungan terhadap bahaya pornografi menjadi hak setiap warga negara Indonesia dan hak kolektif bangsa ini. Upaya perlindungan terhadap hak warga negara merupakan materi yang layak untuk diatur dalam undang-undang (Prof Maria:1998)

UU Perlindungan Anak memberikan landasan yuridis atas keberadaan RUU Pornografi. Pasal 66 UU ini menyatakan :

(1)Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2)Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :

a.penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b.pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c.pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

(3)Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Simak ayat (2) huruf a pasal tersebut. Kata-kata berkaitan dengan perlindungan anak menunjukkan bahwa UU ini membuka kemungkinan adanya ketentuan peraturan perundang-undangan lain berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara seksual. Jika ia hanya membatasi diri pada sosialisasi UU Perlindungan Anak saja maka redaksi seharusnya menjadi ”...sosialisasi undang-undang ini..”, atau ”..sosialisasi UU Perlindungan Anak..” Artinya UU ini mengisyaratkan perlu ada peraturan perundang-undangan lain yang melindungi anak dari eksploitasi seksual termasuk di dalamnya pornografi.UU baik menurut UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maupun doktrin ilmu perundang-undangan merupakan salah satu bentuk dari peraturan perundang-undangan. Dengan demikian RUU Pornografi memiliki landasan yuridis untuk diberlakukan dalam hukum positif Indonesia.

Jika dibandingkan dengan pengaturan negera-negara lain Indonesia jauh tertinggal. Amerika Serikat sudah memiliki peraturan mengenai pornografi sejak abad-19, hingga kini terdapat anti-obscenity law untuk mengatur pornografi , dan sejak 1982, Mahkamah Agung Amerika mengeluarkan New York Law untuk melarang pornografi anak(Moeflich hasbullah), [1] hingga aturan termutakhir tahun 1996 MA mengeluarkan Child Pornography Prevention Act. Kanada bahkan memiliki dua komisi pengawas keberlakuan peraturan yang melarang pornografi, Badgley Comittee untuk mengawasi pornografi anak, dan Fraser Committee untuk mengawasi pornografi dan prostitusi umum(Patra M. Zein).[2] Negeri Jiran Malaysia, dan Singapura melarang pornografi. Tiga aturan hukum Children and Young Person Act, Undesirable Publication Act, dan Film Censor Act menjadi pilar perlindungan warga negara Singapura dari bahaya pornografi, hingga majalah-majalah porno semacam Playboy terlarang di negeri sekuler tersebut. Melihat dampak pornografi yang sedemikian buruk bagi negeri ini dan lemahnya aturan hukum yang kita miliki dalam melindungi anak dari bahaya pornografi, keberadaan RUU Pornografi mutlak diperlukan.

Akhirnya upaya untuk melindungi anak dari bahaya pornografi sudah sedemikian mendesak. Kita tidak lagi ingin ada putera-puteri penerus bangsa ini menjadi korban dari pornografi. Kita juga berharap orang-orang yang paling bertanggung jawab atas hancurnya masa depan mereka mendapatkan ganjaran yang setimpal. RUU Pornografi adalah harapan kita, dan jaminan masa depan kita.

Patut disayangkan jika ada dua fraksi yang masih menolak RUU Pornografi ini. Padahal proses pembahasan yang berlangsung dalam dua minggu terakhir dalam pantauan ASA Indonesia, pelbagai perbedaan yang terjadi di tengah-tengah masyarkat telah diakomodir oleh Panitia Kerja DPR. Termasuk kekhawatiran disintegrasi bangsa berkenaan dengan pengaturan pasal 14 yang mana sedari awal, sebagaimana dalam catatan kami pada uji publik di kantor Meneg Pemberdayaan Perempuan dan uji-uji publik sebelumnya, masyarakat yang pro maupun kontra mendesak pasal ini dihapuskan.

Untuk Anak Indonesia, mari kita sama-sama dukung pengesahan RUU Pornografi ini!


[1] www.pikiran-rakyat.com: Pornografi, Cermin dari AS

[2] http://jiwamerdeka.blogspot.com/: Catatan singkat atas RUU Pornografi

No comments:

Post a Comment