Friday 7 November 2008

Pornografi, Cermin dari AS

www.pikiran-rakyat.com

Pornografi, Cermin dari AS

Oleh MOEFLICH HASBULLAH

DI tengah-tengah proses kebangkrutan moral yang kini terus-menerus melanda
publik Indonesia, rencana pemberlakuan UU Anti Pornografi dan Pornoaski (UU
APP) masih diiringi perdebatan. Kaum akademisi dan cendekiawan meributkan
masalah istilah, konsep dan definisi "pornografi," kaum feminis
mempersoalkan agar pornografi tidak hanya dialamatkan kepada perempuan saja
tetapi juga laki-laki, dan kubu "liberal" mengusung kebebasan ekspresi kaum
perempuan sebagai hak asasi otonomi tubuh.

Di awal-awal pemberlakuan Di Amerika Serikat, UU pornografi sering mengalami
kesulitan disebabkan perbedaan persepsi antara hakim, juri, pengacara, dan
publik tentang pengertian cabul dan porno. Namun demikian, obscenity and
pornography (cabul dan pornografi) secara umum didefinisikan sebagai istilah
untuk menentukan tulisan, rekaman atau gambar, termasuk gambar bergerak,
dimana masyarakat menganggap sebagai cabul dan memengaruhi orang.

Karena UU Anti Pornografi untuk mengatur masyarakat, jadi ukurannya adalah
pandangan masyarakat dan pengaruhnya pada orang, bukan pandangan individu.
Pengertian obscenity sendiri adalah istilah yang mengacu pada bahasa atau
perilaku yang diyakini merusak moral publik, sedangkan pornografi lebih
diarahkan pada bahan-bahan cetakan dan gambar dimaksudkan untuk menumbuhkan
stimulasi seksual seseorang.

Tetapi intinya, sama dengan saat kelahiran UU Anti-cabul (Anti-obscenity) di
Amerika, masyarakat Indonesia pun terbagi ke dalam dua kubu. Kubu pertama
meyakini pornografi menyumbangkan peran terhadap kebangkrutan moral
masyarakat, dan kubu kedua, UU Pornografi bertentangan dengan kebebasan
berekspresi (freedom of expression) masyarakat, terutama kaum wanita,
seperti diungkapkan oleh Gadis Arivia, Dosen Filsafat Universitas Indonesia
(PR, 9/1).

Tentang munculnya gagasan UU Pornografi ini, bangsa Indonesia yang dikenal
religius jauh ketinggalan dibanding Amerika Serikat yang diklaim sekuler.
Dalam beberapa hal, bukan hanya ketinggalan, Amerika jauh lebih serius,
lebih tegas dan lebih keras dalam memerangi pornografi. Sebagai cermin atas
kontroversi di Indonesia, sejarah penanganan pornografi di Amerika Serikat
mungkin bisa menjadi pelajaran.

Di negara Paman Sam itu, gagasan memberlakukan UU Pornografi sudah muncul
sejak abad ke-19. Kongres Amerika untuk pertama kalinya meloloskan UU untuk
memerangi tindakan cabul sebagai bagian dari Tariff Act tahun 1842.
Undang-undang ini menyatakan perilaku tidak senonoh dan cabul (indecent and
obscenity) sebagai perbuatan ilegal. Setelah itu kemudian lahir Comstock Law
tahun 1873 yang melarang korespondensi yang menyertakan hal-hal yang berbau
cabul atau sensual. Hukum ini dimaksudkan untuk menjerat dan mengganjar para
pengedar pornografi ke pengadilan, juga untuk menyiapkan sistem sensor bagi
para pejabat kantor pos, tanpa harus kepengadilan. Jika para petugas kantor
pos menemukan barang-barang seperti buku, gambar dan surat lain yang berbau
cabul atau porno, mereka akan menahannya dan tidak mengirimkannya. Kantor
Pos Amerika sudah menjalankan Comstock Law ini kurang lebih selama 93 tahun.

Tahun 1957, Mahkamah Agung Amerika mengeluarkan peraturan bahwa kebebasan
pers sebagaimana dijamin UU-- tidak termasuk hal-hal yang bernuansa cabul
dan porno, meskipun tidak memberikan uraian rinci tentang pengertian cabul
dan porno itu. Tahun 1970, berdasarkan laporan tidak ditemukannya
bukti-bukti bahwa pornografi telah memicu kejahatan orang dewasa atau
pelanggaran di antara anak-anak muda, Komisi Nasional tentang Perilaku Cabul
dan Pornografi kemudian merekomendasikan agar pemerintah AS mengganti
seluruh perangkat hukum yang melarang penjualan pornografi. Tetapi UU itu
juga merekomendasikan agar setiap negara bagian tetap melarang penjualan
gambar cabul kepada anak-anak muda.

Tahun 1973, untuk mengatasi kontroversi istilah yang masih terjadi di
masyarakat, Mahkamah Agung kemudian membuat rumusan untuk menentukan sesuatu
bisa disebut cabul atau tidak. Menurut rumusan MA itu, sesuatu dianggap
cabul bila mengandung unsur-sunsur sebagai berikut (1) jika produk (printed
materials atau bukan) dibuat untuk stimulasi seksual atau kepentingan nafsu
birahi, (2) jika produk itu mengekspos gambar-gambar porno secara jelas,
vulgar dan terbuka, terutama yang dianggap cabul menurut definisi hukum, (3)
jika gambar-gambar porno itu tidak mengandung nuansa seni, sastra, politik
atau kepentingan ilmu pengetahuan.

Mahkamah Agung kemudian memerintahkan agar menggunakan definisi ini sebagai
hukum antipornoaksi (anti-obscenitiy laws) di masing-masing negara bagian
untuk menyatakan sesuatu disebut cabul/porno atau tidak demi penegakan
hukum. Pada tahun 1982, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan New York Law
yang melarang dengan tegas penggunaan anak-anak dalam pornografi dan
penjualan bahan-bahan porno yang melibatkan anak-anak. Tahun 1986, Komisi
Pornografi Jaksa Agung, kelompok yang bergerak khusus dalam riset tentang
pornografi, mendesak pelaksanaan UU lebih keras lagi untuk pengaturan
barang-barang cabul dan porno. Lembaga ini juga menyerukan kontrol ketat
atas program TV kabel dan bisnis barang-barang seputar adult only, dan
mendesak hukuman penjara lebih lama bagi para pelanggar UU Anti Pornografi
ini terutama yang mengeksploitasi anak-anak.

Banyak negara sekuler sudah menerapkan UU APP ini sejak lama seperti
Amerika, Kanada, Italia, dan Irlandia. Sampai tahun 1997, beberapa negara
lain seperti Denmark, Inggris, dan Israel pernah berusaha mencabut UU itu,
tetapi tetap saja dihadapkan pada masalah dilematis: memimpikan kebebasan
tetapi dengan risiko kebangkrutan moral publik. Karena tidak mungkin
dihapuskan, maka pengaturan secara ketat dan penegakan hukum secara tegas
adalah solusinya. Kuatnya komitmen penegakan aturan tentang pornografi di
berbagai negara menunjukkan bahwa pornografi sudah menjadi common enemy
(musuh bersama) dan terdapatnya common sense (pemahaman bersama) universal
bahwa pornografi dan pornoaksi berperan terhadap kebangkrutan moral
masyarakat, selain kebangkrutan moral itu diciptakan oleh faktor-faktor lain
seperti korupsi, penyelewengan kekuasaan, perjudian, obat-obat terlarang,
dan yang lainnya.

Adalah fakta yang sudah menjadi konklusi publik bahwa di Indonesia,
kebebasan pers, media porno, dan tayangan-tayangan cabul dalam televisi
termasuk acara-acara yang mempertontonkan kekerasan seksual sangat liberal
melebihi negara-negara maju. Liberalitas ini karena tiadanya pengaturan
hukum, acara-acara dewasa di televisi dipertontonkan dalam prime time yang
ditonton anak-anak, barang cetakan cabul dan porno bisa dibeli di mana saja
dan oleh siapa saja, goyang pinggul yang vulgar dan mengumbar nafsu birahi
diidolakan sebagai hak asasi, hak tubuh yang otonom, kebebasan perempuan dan
media karier. Tetapi, masih ada harapan karena basis liberalitas di
Indonesia bukan anutan paham pemikiran melainkan efek negatif dari impotensi
hukum. Impotensi hukum menyebabkan masyarakat menjadi permisif, menjadi
masyarakat yang seolah tanpa kontrol, tanpa kendali, tanpa etika.
Terbentuknya kultur permisif ditopang oleh ide-ide hak asasi sekuler dan
impian kebebasan.

Indonesia perlu segera menerapkan UU ini karena kita ketinggalan jauh.
Apalagi bangsa ini memiliki ironi, dikenal religius tetapi menempati jajaran
papan atas dan peringkat tertinggi dalam berbagai hal yang memalukan,
korupsi, produksi dan penggunaan obat terlarang, lemahnya penegakkan hukum,
angka kemiskinan, tingkat pengangguran, kesemrawutan lalu lintas, kasus
perkosaan, jumlah korban AIDS/HIV, dan lain-lain. Seperti di Amerika,
pengaturan secara ketat dan penegakan hukum yang tegas melalui UU Anti
Pornografi dan Pornoaksi adalah satu langkah positif dalam usaha
mengeliminasi kebangkrutan moral bangsa. Dari negara sekuler kita bisa
bercermin. Cermin sekuler itu ternyata bening dan tampaklah wajah kita yang
bopeng dalam cermin itu. Setelah tahu bopeng mari kita haluskan
bagian-bagian wajah kita yang kasar, kotor dan berdebu!!***

Penulis, Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Depok, Jawa
Barat.

No comments:

Post a Comment