Friday 7 November 2008

Negara (Tukang) Hukum

Negara (Tukang) Hukum

Oleh : Umar Badarsyah

Peneliti Muda Institute for Sustainable Reform Insure

Lembaga Kajian Strategis

Pendahuluan

Pada titik 100 tahun Kebangkitan Indonesia, 63 tahun pasca kemerdekaan Republik tercinta ini masih saja ada pekerjaan rumah besar untuk segera dituntaskan demi kebangkitan yang dicita-citakan. Pekerjaan itu seputar penegakan rule of law. Sejak kelahirannya negara ini telah menganut prinsip negara hukum, dan sejak perubahan ketiga UUD 1945 di tahun 2001 pasal 1 ayat 3 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Oleh karenanya upaya menegakkan rule of law telah menjadi cita yang inheren dalam Negara ini.

Sayangnya cita negara hukum belum sepenuhnya tegak berdiri di Republik ini. Hal ini dapat dilihat dalam dunia penegakan hukum pidana di Indonesia. Dugaan salah tangkap pada kasus pembunuhan Asrori akhir-akhir ini sedikit banyak bisa mewakili sejauh mana rule of law ditegakkan.

A.V. Dicey mengurai tiga ciri penting dalam negara Rule of law, yaitu supremacy of the law, equality before the law, dan due process of law.[1] Supremacy of the law merujuk pada adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Equality before the law mempersyaratkan adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Tidak boleh ada diskriminasi dalam bentuk apapun yang menghalangi setiap penduduk negara atas hak memperoleh persamaan kedudukan dalam hukum. Sedangkan due process of law merupakan rambu yang mempersyaratkan seluruh organ dalam negara termasuk pemerintahan bergerak atas perundang-undangan yang berlaku berdasarkan prinsip legalitas.Dalam dugaan salah tangkap pembunuhan Asrori ketiga ciri utama rule of law ini ternodai.

Kasus pembunuhan Asrori sendiri bermula dari diketemukannya sosok mayat di sebuah kebun tebu di Jombang pada 29 September 2007 silam. Berdasarkan ciri-ciri fisik yang diakui keluarga.polisi menetapkan korban bernama Asrori (28). Pada medio Oktober 2007 dua orang tersangka, yakni Imam Kambali alias Kemat dan Devid Eko Priyanto ditangkap dan diproses secara hukum hingga kemudian pada 8 Mei 2008 PN Jombang memvonis Kemat 17 tahun dan David 12 tahun pidana kurungan. Seorang tersangka lain yang diduga ikut terlibat, Maman Sugianto alias Sugik masih dalam proses persidangan.

Dugaan salah tangkap mencuat saat sang Jagal Jombang, Ryan membuat pengakuan kontroversial bahwa korban kesebelas dari rangkaian pembunuhan yang dilakukannya bernama Asrori. Lewat test DNA oleh Laboratorium Forensik Kepolisisan mayat Mr.X yang digali dari pekarangan rumah Ryan di Jombang cocok dengan DNA kaka kandung Asrori yang diduga dibunuh oleh Kemat cs. Bahkan kini Markas Besar Kepolisian RI kemarin mengumumkan bahwa mayat yang semula diduga Asrori adalah Fauzin Suyanto warga Ploso, Nganjuk. Ironisnya, bukti DNA ini tidak mengubah pendirian pihak kepolisian bahwa telah terjadi salah tangkap. Padahal selain bukti nyata tes DNA tersebut, pengakuan para terdakwa yang mengalami penyiksaan selama proses penyidikan, dan kejanggalan dua rekonstruksi kejadian yang berbeda-beda semakin memperkuat indikasi salah tangkap tersebut.

Bukan Kali Pertama

Institute for Sustainable Reform menelusuri kasus-kasus salah tangkap yang beredar di media elektronik dan menemukan setidaknya tiga kasus yang salah satu di antaranya adalah kasus Sengkon Karta yang terjadi di tahun 70-an.Dua kasus lainnya adalah kasus Budi Harjono yang secara kebetulan terjadi di wilayah kewenangan relatif yang sama dengan kasus Sengkon-Karta, Pengadilan Negeri Bekasi. Satu kasus lainnya yang menjadi perhatian banyak media elektronik adalah kasus Pengadilan Sesat Gorontalo.

Ada beberapa persamaan yang mengkhawatirkan yang menghubungkan keempat kasus di atas.Pertama, pada ke-empat kasus di atas para tersangka mengaku mengalami penyiksaan oleh oknum-oknum penyidik pada tahap penyidikan dan dipaksa untuk mengakui tindak pidana yang terjadi. Kedua, kecuali kasus Sengkon-Karta yang terjadi sebelum Undang-Undang no. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku(KUHAP), para tersangka tidak diberikan haknya untuk mendapat bantuan hukum cuma-cuma meski pidana yang disangkakan lebih di atas 5 tahun, padahal pasal 56 dari UU tersebut menjamin hak untuk mendapatkan bantuan hukum. Pada kasus Pengadilan Sesat bahkan kerangka mayat yang sebelumnya diduga sebagai korban tidak melalui visum et repertum. Manipulasi BAP dengan tidak memasukkan keterangan saksi yang menyangkal keterlibatan para tersangka juga terdeteksi pada beberapa kasus-kasus tersebut (lihat tabel bawah).

Aksi nekrofilik para oknum penyidik terhadap tersangka merupakan pelanggaran langsung atas prinsip rule of law.[2] Di dalam acara pidana asas praduga tak bersalah mesti ditegakkan, bahwa para tersangka tidak boleh diperlakukan layaknya penjahat dengan menggunakan metode-metode kekerasan. Selain itu keberadaan KUHAP sebenarnya telah menggantikan aturan warisan kolonial dengan menggeser asas pemeriksaan inquisitorial yang lebih mengejar pengakuan, dan menerapkan asas akusator di mana pemeriksaan dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan.[3] Pergeseran prinsip ini dimaksudkan untuk melindungi hak asasi para tersangka serta melindungi mereka dari penyiksaan yang kerap kali dipakai demi mengejar pengakuan. Sayangnya meski asas itu telah menjadi bagian dari Hukum Acara Pidana Nasional tetapi ia belum menjadi living law dan tertanam pada para penegak hukum kita. Metode penyiksaan seolah-olah masih menjadi warisan genetik para pelindung masyarakat.

Meski telah menggeser asas pemeriksaan, UU no. 8 Tahun 1981 turut ikut andil dalam membiarkan praktik ini terjadi. Hal ini dikarenakan UU tentang Hukum Acara Pidana tidak mengatur mengenai status alat bukti yang didapat melalui proses-proses pemeriksaan yang tidak sah dan melanggar HAM. KUHAP hanya mengatur hak tersangka/terdakwa untuk mengajukan pra-peradilan atas upaya paksa yang tidak sah, semacam penahanan dan penangkapan yang melanggar due process of law. Oleh karena itu potensi peradilan sesat sangat mungkin terjadi ketika kasus telah melewati tahap penyidikan. Seluruh keterangan yang tertera dalam BAP, tanpa peduli ia didapat melalui proses hukum yang benar atau tidak, menjadi raw material bagi proses penuntutan dan pemeriksaan sidang. Pihak penuntut umum dan hakim sangat mungkin merasa dia telah menjalankan tugas sebaik-baiknya karena ia berpedoman pada sumber yang salah, ditambah posisi psikologis terdakwa yang lemah dalam pemeriksaan sidang untuk mengafirmasi apa yang tertera dalam BAP, vonis pun dijatuhkan.

Selain itu ketiadaan sistem jaminan bantuan hukum terhadap para tersangka terutama yang berpendidikan rendah dan berekonomi lemah memperparah penegakan hukum di Indonesia. Padahal ini merupakan wujud konkret dari prinsip equality before the law. Dalam kasus Risman dan Rostin sejak tahap penyidikan mereka tidak didampingi oleh penasehat hukum, bahkan untuk sekedar diberitahu adanya hak mereka untuk mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma pun tidak mereka dapatkan. Penasehat hukum memiliki fungsi untuk menjaga proses hukum yang berlangsung dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, sekaligus memastikan hak-hak tersangka/terdakwa dipenuhi. KUHAP hanya meletakkan dasar keberadaan jaminan itu pada pasal 56. Hanya saja tidak didukung dengan kelembagaan bantuan hukum dan pendanaan yang memungkinkan bagi siapapun tersangka atau terdakwa yang memenuhi syarat undang-undang bisa menikmati haknya.

Momentum Pembenahan

Tragedi mayat Asrori yang memakan korban Kemat dan Devid bisa menjadi berkah jika kiranya seluruh elemen bangsa menjadikan momentum ini untuk mempercepat dan menuntaskan reformasi integral struktur penegakan hukum nasional. Setidaknya ada tiga hal yang menurut penulis perlu kita lakukan bersama-sama. Pertama, mempercepat RUU tentang KUHAP. Kedua, mendorong RUU Bantuan Hukum,dan ketiga menuntaskan Reformasi Kepolisian.

RUU KUHAP telah masuk ke dalam program legislasi nasional tahun 2008 ini, hanya saja sampai saat ini DPR belum terdengar sekalipun melakukan pembahasan. Salah satu wacana yang bisa membantu proses perbaikan penegakan hukum adalah adanya hakim komisaris yang memiliki kewenangan untuk menjamin keabsahan proses-proses hukum yang berlangsung. Sehingga diharapkan kasus-kasus yang ditengarai semenjak proses penyidikannya dijalani dengan cara-cara yang melanggar UU seperti penyiksaan, dan manipulasi BAP tidak dapat diteruskan kepada proses lanjutan pada tahap penuntutan dan pemeriksaan sidang. Hakim komisaris juga dapat memberikan hak tersangka dan terdakwa untuk memperoleh rehabilitasi dan ganti rugi atas proses-proses yang tidak sesuai dengan Undang-Undang.

Pelbagai pelanggaran proses hukum yang menjadikan para tersangka dan terdakwa sebagai korban juga tidak perlu terjadi jika sekiranya kita telah memiliki sistem jaminan atas bantuan hukum yang memadai. KUHAP hanya memberikan landasan keberadaan bantuan hukum bagi rakyat tidak mampu, begitupun UU Advokat, hanya saja hal ini tidak disertai dengan dukungan institusionalisasi bantuan hukum dengan pendanaan yang memadai. Sebagai perbandingan Belanda sudah memiliki UU Bantuan Hukum sejak tahun 1994 dan telah diamandemen thaun 2000, Australia tahun 1976, bahkan Afrika Selatan negeri yang lebih belakang merdeka dan banyak terinspirasi oleh kemerdekaan kita, sejak tahun 1969 telah memiliki UU Bantuan Hukum (LBH Jakarta:2007). Keberadaan UU Bantuan Hukum penting untuk benar-benar menjamin bahwa bantuan hukum bisa diaksess oleh masyarakat yang membutuhkan. Hal ini dikarenakan dengan keberadaan UU Bantuan Hukum tidak hanya ada jaminan keberadaan institusi bantuan hukum tapi juga pengawasan pelaksanaannya dan dukungan dana dari pemerintah. Hingga saat ini RUU Bantuan Hukum belum masuk Prolegnas, padahal sejak thaun 2005 kumpulan Lembaga Bantuan Hukum telah menyusun draft RUU Bantuan Hukum dan memberikannya kepada pemerintah yang kemudian berkomitmen menjadikannya RUU inisiatif pemerintah. Adalah tugas kita untuk kemudian terus mendorong lahirnya UU Bantuan Hukum ini.

Aparat kepolisian sebagai ujung tombak penegakan hukum menjadi sorotan utama dalam kasus salah tangkap ini. Keberadaan kasus ini menunjukkan reformasi kepolisian belum sepenuhnya mengarah pada perubahan yang ktia harapkan. Reformasi kepolisian sebenarnya telah dimulai sejak pemisahan institusi kepolisian dari TNI berkat Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, Tap MPR No. VII/MPR/2000 Tentang Peran dan Fungsi TNI dan Polri dan disempurnakan dengan keberadaan UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hanya saja proses share vision untuk menjadikan polisi sebagai sahabat masyarakat masih dirasa kurang, semangat itu belum menjadi sesuatu yang inheren pada tiap pribadi bapak-bapak polisi kita. Profesionalitas dan kapasitas polisi kita harus ditingkatkan. Pola rekrutmen polisi yang kini hanya menerima calon polisi dari pendidikan S1 diharapkan mampu meningkatkan kinerja kepolisian ke depan. Hal yang lebih penting adalah political will dari pemerintah dan petinggi Polri untuk benar-benar menuntaskan reformasi kepolisian ini. Adalah tugas dan tantangan bagi Bambang Hendarso Danuri dan hendaknya seluruh elemen menyuarakan untuk segera menuntaskan reformasi kepolisian. Kita sedemikian merindukan polisi yang benar-benar sahabat masyarakat, pelayan masyarakat. Kita pasti merindukan polisi semacam Pak Kitabashi dalam tulisan opini Reza Indragiri (Indopos, 2 September 08) yang dengan penuh sahaja berkata,”Bagi polisi seperti kami, tugas tidak hanya menuntut tambahan keterampilan kerja.Yang terpenting adalah menjalin kasih sayang dengan masyarakat...”

Mengawal RUU KUHAP, mendorong lahirnya UU Bantuan Hukum dan menuntaskan reformasi institusi kepolisian menjadi tugas bagi seluruh elemen bangsa. Ini merupakan tugas penting untuk benar-benar menegakkan cita negara hukum, agar negara ini tidak lagi menjadi Negara tukang menghukum. Fiat justitia perat mundus.


[1] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer.. Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana HukumFakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004

[2] Tom Saptaatmaja. Salah Hukum di Tengah Kultur Nekrofilia. Surya-Online, 2 september 2008

[3] Yahya Harahap. Pembahasan Permaslahaan dan Penerapan KUHA Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 89

No comments:

Post a Comment