Thursday 4 September 2008

Pejalan Tangguh II

hmmmmmmhhhh (desahaan lembut..releasing burden) akhirnya harus memulai seri Pejalan Tangguh II...this is hard...karena ini berarti meraih memori terkelam dalam hidup...Kisah ini akan berujung pada depresi akibat penyesalan mendalam, diawali dengan beberapa percobaan bunuh diri yang bodoh...hahah... Selamat menikmati

Pejalan Tangguh II :

Perjalanan Terkelam dalam Hidup

Sebelumnya izinkan saya untuk bercerita beberapa hal, agar pembaca sekalian mendapatkan gambaran-gambaran yang kemudian dengannya bisa sedikit memahami reaksi emosi yang dialami penulis.

Saya menyarankan untuk tidak pernah sekali-kali menginjakkan diri di bumi kinanah, Mesir, terutama Cairo. Negeri seribu menara ini punya ribuan pesona, yang membuat mu jatuh cinta. Ia kasar sekaligus lembut. Ia panas sekaligus dingin. Kering tetapi subur. Sakhara yang gersang, Nil yang gembur. Unta yang lamban, kuda yang dipacu. Burung gagak yang menjalak, dan hud-hud yang bersalawat, balam yang melengking, Elang yang mengintai, kawanan merpati liar genit, kawanan bangau yang transit.

Kota kuno yang eksotis, klasik, corak modern sampai yang norak. Ada kekasaran degil, ada kelembutan yang tertulus. Ada permusuhan yang mengurat, ada persaudaraan yang erat yang tidak bisa dikerat. Flamboyan yang bersemi, flamboyan gugur, falmboyan dalam warna Fena.

Masjid dengan kubah-kubah megah, masjid tanpa kubah, masjid di bawah apartemen. Gereja, sinagog berdiri dalam damai. Tegur salam yang indah. Manusia-manusia berhati keras, berkepala batu, sekaligus manusia terlembut, dan paling penuh kasih. Penipu terulung, si jujur tertulus. Jangan panggil mereka bakhil, semiskin-miskinnya mereka kaum termurah pemulia tamu.

Usap hati kasar mereka, kau temukan mutiara kelembutan mereka...

Cairo, Kota, geografi, tata kota, biota, manusia, kehidupannya..menawarkan seribu rasa, dengan seribu alasan untuk membenci dan mencintanya...

Kau terkesan dan hanyut dengan Ayat-Ayat Cinta, atau dalam Mihrab Cinta karya tulus Kang Abik? Sungguh keduanya hanya pereda rindu sedetik saja atas rindu dendam keseluruhannya jika Kau... teman, mengalami celaka sekedar menginjakkan kaki di sana!

Rasa tha'miyah, sampai kibdah, kebab, firakh masywi, nasi kusyari, ruz gambarik, mulufiyah, kuftah, ruz billaban, munufiyah, halawa...asinan tursyi, roti isy, fuul, susu sapi , susu kerbau, susu kambing segar..madu arab...anggur segala jenis, kukh, barkhukh, syamaam, syamaam 'asali, jeruk-jeruk setia teman musim dingin yang menusuk tulang, memecah bibir, menyisik kulit. Air minum bersih, sejuk, panas. Semua terasa istimewa.

Al-Azhar!termuliakan dengan ilmu, dan kezuhudan, keikhlasan, dan keistiqomahan. Dia kaya namun bersahaja. Ribuan bahkan jutaan orang sudah berkuliah di universitas yang telah berdiri selama lebih dari ratusan mungkin seribu tahun. Generasi para penghafal hingga kini masih menjadi mutiara-mutiara yang bersinar dan menyebarkan sinar-sinarnya di Pakistan, Sudan, Indonesia, Malaysia, kembali ke negeri-negeri mereka berasal dan menjadi penopang kebangkitan Islam.

akhhhh...Saya tidak pernah pandai untuk melukiskan Cairo. Sejarahnya begitu tua, dia punya keagungan tersendiri. Kuno, bersejarah, modern dengan keudikan khasnya.Orang-orang cantik. mata biru, rambut pirang, mata biru rambut hitam, bibir delima hidung mancung, dalam kelancangan yang dipamerkan maupun dalam lindungan hijab dan cadar tebal.

Orang-orang kuat, kasar, berhati keras sekaligus lembut. Semua dalam keadaan ekstrim. Kau bisa menemukan orang yang membuatmu berhenti kesal karena lelah untuk kesal. Sebaliknya kau bisa menemukan orang yang membuatmu tergugu karena begitu tersentuh dengan ketulusan, kejujuran, kezuhudan, dan kasih sayang yang mendalam.

Mabuk Cinta atas MArs di bumi (Cairo dalam bahasa arab disebut Qohirah, kata yang sama yang digunakan untuk menyebut planet MArs, keduanya merah menyala)yang membuat saya sempat meneretas jalan untuk kembali.

Dan bagi Saya sendiri , Cairo juga berarti Sekolah Indonesia Cairo, orang-orang Indonesia di Cairo, budaya ukhuwah yang sedemikian kental antara kami.... dan Fena. Gadis kecil yang bukan karena kesalahannya lah ada rasa cinta mendendam selama empat setengah tahun kehidupanku di sana... bagiku dulu, wajah Cairo juga berarti wajah lucunya, tiap kelokan dan sudut kota adalah lesung di kedua pipinya, sinar lembut matahari pagi adalah sinar wajahnya, celoteh burung-burung kecil, kicauan merdu mereka adalah suara riangnya... sungguh...jerat-jerat cinta begitu dahsyat, meski digambarkan dalam sosok malaikat lucu dengan panahnya, saya yakin cupid pasti jelmaan demon, pada sphere-sphere di atas lima atau mungkin tujuh baru sosok aslinya tampak, ahhh manusia memang tak pernah punya mata yang tajam (liat Barthelomos Trilogy)...senjata terampuh pasukan iblis dalam menjerat sesiapa yang terlena dan terhanyut karenanya, dan hanya pertolongan Allah lah yang dapat menyelamatkan kita darinya, membuka tabir bahwa cinta sejati hanyalah cinta untuk-NYA, Alhamdulillah pemahaman itu kini melekat dalam benak dan hati, hingga ia telah menjadi obat bagi hati yang lalai.

Keseluruhan gambaran di atas lah yang kemudian memunculkan azam untuk kembali ke kota ini, kembali sebagai pencari ilmu ...dan untuk keperluan tulisan ini, pencari cinta (huek)...

Segera sepulangnya dari Umrah (akan diangkat pada Pejalan Tangguh III) dan wisuda kelulusan SMP, SAya bersama Mama dan Adikku Isna pulang lebih dahulu ke Indonesia. Sesampainya kembali ke Jakarta segera ke Ponorogo untuk mendaftarkan diri ke Gontor. Ketika mendaftar ke gontor I ternyata ujian masuk masih sekitar enam bulan lagi diadakan, dan Saya disarankan untuk masuk kelas persiapan di Gontor II, maka mulailah perjuangan dan petualangan menuju cita-cita masuk ke Pondok Pesantren Kuliyyatul Muallimin AlIslam, Gontor Ponorogo.

Saya sangaat terkesan dengan Gontor, KMI Gontor didirikan sebagai wakaf yang dikelola oleh Badan Wakaf Gontor, muwakifnya adalah tiga serangkai (lupa nama-nama mulia mereka nanti akan saya tuliskan)....

"Hidup sekali hiduplah yang berarti, hidup jangan takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati sekalian"

Semboyan ini adalah salah satu semboyan yang ditulis besar-besar pada dinding bangunan Gontor II dan merupakan kata-kata yang kerap diucapkan dan diinternalisasikan oleh para pendiri hingga oleh para pendidik hingga generasi saat ini.

TEmpat ini adalah tempat belajar untuk hidup! Tentang how to survive, how to compete tetapi tetap sebagai manusia. Kami dididik untuk menjadi pemberani, pengecut tidak ada tempat di sana. Orang-orang cengeng takkan lama bertahan setidaknya pada kasus saya...saya tidak bertahan.

Datang dari kenyamanan yang berlimpah kepada kenyamanan yang harus dicari, digali, dimaknai....kira-kira seperti ini shock culture yang saya alami:

1. Makan, jangan kau tanya apa yang biasa tersedia di meja keluarga kami karena tidak ada yang istimewa. Sekali lagi kami keluarga sederhana dengan kesederhanaannya tetapi kami pun tak pernah menolak sedikit kemewahan, maka selain menu-menu sederhana seperti tahu-tempe (di mesir banyak mahasiswa cairo yang hidup dari bikin tahu tempe, persis apa yang ditulis kang abik di buku-bukunya, ,sosok Azzam itu banyak di sana) makanan sederhana mesir, full, ta'miya, kibdah, sampai beberapa makanan cepat saji seperti pizza hut, mcdonald,kfc, Abu Sharif, Keny Roger's drill, kadang-kadang menyelingi, sesekali jarang sih sebenarnya...tapi yang paling penting...tersedia dengan mudah, tinggal makan. Di Gontor kami mengantri, Saya lebih memilih dapur umum ketimbang dapur2 pribadi yang ditawarkan untuk lebih menghayati kehidupan di sana. lebih dari 1000 siswa mengantri di dapur umum. Nasi yang sedikit keras dengan bonus kerikil-kerikil untuk membantu pencernaan. Lauk pauk, ini luar biasa, untuk sarapan pagi kami nasi sambel daaaaaaaaannnnnnnnnnn kerupuk! Terkadang ada sayur 'sop' tanpa daging. Makan siang pasti ada sayuran, dan lauk seperti tempe atau tahu berkuah cukup.Makan malam tidak jauh berbeda dengan makan siang. Begitu hampir tiap harinya.

Jumat pengecualian, ba'da jumatan adalah 'kemewahan', seringkali kami mendapat lele, atau sekerat kecil daging kalau idul adha, buah nanas sepotong, dan kadang-kadang susu yang kalau kau datang telat semenit saja kau harus merayu teman untuk berbagi...

Dua minggu pertama hasilnya: sakit typus.....Tapi entah mengapa, saya tidak mengeluh karenanya... karena bahkan dulu masih teringat dalam memori saya, ada masa di mana hanya tempe saja yang tersedia untuk beberapa hari..itu terjadi tentunya sebelum kami ke Cairo...bahkan tetangga kami waktu itu begitu menghargai uang seratus rupiah, yang dengannya bisa membeli kerupuk putih untuk menjadi lauk makan siang dengan nasi panas dan garam.

Pengalaman itu membuat hati saya dekat dengan realita , dengan ketimpangan sosial, dengan betapa banyaknya kenikmatan yang Allah lebihkan kepada kami tetapi tidak kepada yang lainnya, padahal kami jarang bersyukur! Aku cinta Gontor atas pembelajaran hidupnya...

2. MAndi, Kami tinggal di apartemen yang cukup besar meski tidak mewah sewaktu di Cairo. Dengan satu kamar mandi dan satu toilet dengan shower, bisa dipakai untuk mandi. Airnya bersih, entah bagaimana sistem pengairan domestik di mesir, tapi tampaknya cukup baik setidaknya di wilayah kami, Dokki, entah di pemukiman miskin, yang jelas kami tidak pernah kekurangan air bersih selalu melimpah. Bahkan saat musim dingin kami tak perlu takut mandi karena ada mesin pemanas (sebenarnya mandi dengan air dingin di musim dingin lebih membantu mengurangi rasa dingin yang sedemikian menggili, asal tidak setiap hari karena kulitmu bisa iritasi), dengan kakus bersih.

Di Gontor II, kami mandi dengan mengantri, cukup menjejerkan gayungmu saja diurutan antri. Dengan bak mandi yang tidak terlalu bersih, bahkan kalau mendekati waktu kerja bakti banyak cairan sabun melayang-layang, dan tak jarang benih-benih nyamuk, mandi dengan air yang relatif lebih bersih adalah setelah kerja bakti.

3. Tidur. Di Cairo aku punya kamar sendiri, kamar kami ada tiga, besar-besar dengan alat pendingin dan pemanas ruangan. Meski tidak pernah tidur sendirian karena sering kali om-om (panggilan kami anak2 SIC untuk para mahasiswa Al-Azhar yang pria tentunya, hmmm saya baru sadar satu hal, kok yang akhwat2 nga kami panggil tante ya? kami manggil mereka ka) mahasiswa yang akrab dengan keluarga kami yang paling sering : Arifin Jayadiningrat (sekarang ustad lho), Yana Sopiana, Dede Ropik, Om Qaris Tadjudin (sekarang wartawan Tempo) Om solihin, Mang Kodir (katanya sekarang jadi ajengan di sebuah pesantren huahahhahah padahal.....), Mang Aan (dosen UIN Surakarta) dan PII'ers : Acung Wahyudi, Hakamsyah cs kerap bergantian tidur menginap.

Khusus om Arifin dan A yana mereka sih sudah hampir seperti penghuni tetap n part of the family. Kamarku cukup besar. Di GOntor dua, kamarnya lebih besar hampir dua kali..........untuk empat puluh orang, dengan empat puluh lemari kotak yang disusun menempel dinding dan memotong ruangan sudah terlihat penuh. Kami tidur di bawah dengan kasur lipat yang kerap kali apak dan kalau musim panen, kutu busuk dan titinggi adalah teman tidur kami.

Kami tidak boleh nonton tivi, tidak boleh punya radio atau tape sendiri, tidak boleh punya barang elektronik sendiri kecuali setrika.

Tapi sekali lagi...I can bare them...semuanya bisa dinikmati...terlebih kau tidak sendiri, punya banyak teman yang senasib tapi macam-macam.

Ada banyak alasan bagi para orangtua untuk memasukkan puteranya ke Gontor. Ada yang karena reputasi gontor dalam mendidik dan menghasilkan orang-orang besar, banyak karena para ayah sendiri adalah alumni Gontor yang pernah ditempa dengan pendidikannya yang sangat disiplin, banyak yang karena ingin meneruskan perjuangan Islam yang dirintis keluarga, dan banyak yang karena sudah tidak sanggup lagi mengontrol anaknya!

Bayangkan anak-anak laki-laki dari pelbagai latarbelakang dikumpulkan...makhluk-makhluk entah produsen atau produk testosteron berupaya 'dijinakkan', kerap terjadi pertikaian kecil, pemukulan, pencurian , kebandelan dan kenakalan khas remaja lainnya, tapi semuanya dikontrol dengan baik oleh sistem yang ada, juga oleh kepercayaan dan persahabatan yang terjalin secara alami...sense sama-sama menderita meningkatkan solidaritas kami.

Sebaik0baik teman adalah orang-orang yang ada saat engkau membutuhkan...dan orang-orang ini selalu ada dan saling ada untuk satu sama lainnya....

Dulu kalau saya dapet wesel dan ada teman yang minjam uang maka dengan mudahnya pasti saya berikan, tak jarang jumlah yang diminta tiga perempat atau seluruh jumlah wesel yang diterima..tapi dia mengalir begitu saja dengan rasa ikhlas, tak pusing untuk kembali karena meski sering kembali tapi kadang kurang atau lamaa sampai kembali...hal yang sama dilakukan dan akan dilakukan oleh teman-teman bila saya membutuhkan...kami berbagi lauk, orang-orang pelit adalah musuh komunitas, kami takkan segan membobol kotak orang-orang ynag menyembunyikan makanna untuk dimakan bersama, jadi berbagi atau bersiap-siap untuk di'masyarakatkan'.

Bagaimana sistem belajar?

Di tempat ini belajar tidak dimaknai sebagai upaya untuk mendapatkan ijasah tetapi jauh lebih substantif, untuk mendapat ilmu. Ini terlihat dari bagaimana proses penseleksian, dan penentuan kelas bagi para peserta didik. Mereka digolongkan berdasarkan kemampuan, hasil test masuk tidak berdasarkan umur, atau latar belakang pendidikan. Jangan kaget kalau kau menemukan dalam satu keals ada peserta didik dari lulusan sd bercampur dengan mereka yang dari lulusan smp, lulusan sma, bahkan lulusan perguruan tinggi sekuler.

Saya sekelas dengan banyak lulusan sd, tiga orang lulusan smp, dan satu orang lulusan SMA. Ada kenangan yang cukup istimewa di kelas ini, yaitu saat kami menjuarai kompetisi basket antar kelas yang diadakan di tengah semester mengisi liburan. Di pondok pesntren ini jiwa kompetisi sedemikian tinggi. Kami yang dikelas persiapan seluruhnya bercita-cita untuk masuk dan lulus di Gontor I, waktu itu Gontor sudah punya enam cabang, yang terakhir di Banyuwangi...kabarnya sekarang sudah ada lebih banyak cabang-cabang baru.

Akan menjadi kebanggaan luar biasa bisa lulus di gontor satu. Terlebih kalau kau mendapt kelas elit di kelas B atau C, di sini sekali lagi pembagian kelas diurut berdasrkan hasil test masuk. (Saya Alhamdulillah kemudian diterima di kelas I Intensif C, yang kemudian berhubung tiga orang di kelas I Intensif B tidak mendaftar ulang ikut dipromosikan bersama, kalau tidak salah saudara seperjuangan saya, Gus Haman Yusron, :) )

Singkat cerita saya sangat mencintai tempat ini, menghormatinya sebagai institusi pendidik yang mandiri dan bahkan terbaik untuk kategori kemandirian ini...

Lantas mengapa harus pergi? Tak banyak atau lebih tepatnya barangkali tak ada jawabannya...

Hanya suatu ketika diri ini merasa ada sesuatu yang hilang...terjebak dalam rutinitas padat, kedisiplinan yang gagal saya maknai sebagai wasilah pembentukan diri...yang terjadi malah memaknainya sebagai sesuatu yang sekedar harus dipatuhi...maka ia menjadi hilang makna...Puncaknya adalah hari ituuuu....

Tunggu sebentar...ada hal yang harus diungkap...dorongan lain yang membuat aku memutuskan untuk pergi...karena dengannya semoga, rasa bersalah ini bisa lebih sedikit terkurangi.

Aku menjalani 'karier' yang mengagumkan di Gontor, prestasi belajarku lumayan, masuk 10 besar seangkatan (Kelas I intensif tahun 2000 kalau tidak salah terdiri dari kelas B hingga S, dengan rata-rata 20 orang) dengan rata 8,05. Menjuarai sejumlah lomba: juara 1 lomba pembawa pengumuman 3 bahasa se-Gontor 1, juara 3 lomba pidato bhsa Arab, juara 1 lomba pidato bhsa Inggris, Juara 1 lomba sandiwara bhsa Inggris antar Rayon. Juara 1 pasangan komentator sepakbola bhsa Inggris, untuk soal organisasi di rayon aku menjadi sekretaris...semua berjalan hampir sempurna hingga badai 'kekeringan' ruhiyah itu terjadi...miskin motivasi atau barangkali mati....

Yang menjadi penyesalan terbesar dalam hidup adalah ketika Saya, melalaikan tugassebagai sekretaris Rayon untuk membuat LPJ semester...semua berawal dari demotivasi yang terjadi, hingga banyak amanah yang tertunda,saat menyadari beban itu sudah di luar kuasa untuk ditanggung dan aku....lari....saya lupa sahabat rekan saya sesama sekretaris Rayon, yang jelas beliau satu konsul dengan saya. Semoga Allah memuliakan beliau dengan keimanan, ketakwaan dan kehidupan yang baik dunia akhirat.

Noda ketidakbertanggungjawaban itu masih menghantui hingga saat ini....secara psikologis begitu memukul, ada beban rasa bersalah yang terlalu besar, hingga membuat beberapa kali menemukan tantangan yang sama keberanian menyelesaikan masalah itu hilang....barangkali kasus OKK menjadi pengecualian, suatu resolusi kecil yang sekedar meluruhkan rasa bersalah itu sejenak...bahwa aku dengan kejujuran dan keberanian mengakui porsi kesalahanku....tapi itu tidak cukup untuk menghapus memori Gontor.

Seingatku malam itu kamis malam. JAdwal kami muhadhoroh (latihan pidato). SAat orang-orang bergegas menuju kelas-kelas muhadhoroh, aku berjalan ke arah sebaliknya...semua kuperhitungkan...kondisi itu saat pengawasan melemah...titik kelemahannya ada di baketram, tempat perceetakan, ironis memang karena justru di situ tempat wali kelasku tinggal dan mengabdi, ust. Saiful Mujib (apa mujab, takut ketukar sama teman sekelas yang kebetulan cuma beda vokal terakhir namanya dengan wali kelas kami). Jalanannya Gelap, membelah desa JEtis...begitu kelam karena perjalanan itu memang perjalanan terkelam dalam hidupku.

Aku mengendap-ngendap setengah tergesa, kekhawatiranku satu, jangan sampai ada senior jaga yang memergokiku...karena itu berarti pembotakan, memeprmalukan keluarga di depan umum, pengusiran!!! Aku brangkali sudah gila saat kabur, tapi tidak terlalu gila untuk berpikir tertangkap.

Butuh 2 kilo meter berjalan untuk bisa menemukan jalan raya...pukul 8 malam, keringatku tidak lagi dingin, dia membeku....buah kegelisahan mendalam, pertarungan rasa bersalah....aku kalap, gila....Saat mobil arah alun-alun akan melintas, tak perlu berpikir untuk menghentikannya dan ikut naik. semakin cepat aku meninggalkan area itu, semakin berhasil misi melarikan diri...

aku tiba di alun-alun pukul 1027 malam...ada beberapa senior yang aku yakini melintas, tapi syukurlah mereka tidak melihatku...butuh waktu lama untuk kemudian memutuskan bersembunyi di sebuah musholla, dan memtuskan menginap...bekal ku hanya kacang sukro...dan uang 150.000 rupiah. SElepas subuh rencanaku untuk menuju madiun dan pergi kembali ke jakarta

Begitu subuh tiba, setelah shalat yang tiada hadir Tuhan di dalamnya aku berangkat. bergegas...mobil Ponorogo -Madiun pertama yang kutemui langsung aku naiki....

SEtibanya di terminal antar propinsi madiun aku panik, terlalu banyak senior yang lalu lalang atau setidaknya itu menurutku , beberapa orang mengenakan seragam santri entah apakah mereka dari Gontor I atau dari pesantren lain...aku tak mau ambil resiko...

Kau tau di saat panik besar kemungkinan kau tertimpa kemalangan, pepatah sudah jatuh ketiban tangga tidak hadir sekedar mengisi kosa kata saja, tapi ia nyata, fenomena...

Menurutku para penipu adalah sebaik-baik manusia yang mampu membaca wajah, mereka seolah-olah tahu orang ganteng (peace ah ;p) mana yang sedang terjangkiti kegelisahan mendalam dan akan mudah untuk ditipu....'mau kemana dik?", "Bus Jakarta ada Pak?"...."oh ada dik...tiketnya 100.000 kelas bisnis."..."aku tak banyak bertanya dengan kecurigaanku pada banyaknya 'mata2' Gontor, aku tak ambil pusing berapa biaya yang aku harus keluarkan untuk secepatnya keluar dari Kota Madiun yang seolah-olah hari itu adalah neraka bagiku...

Sialnya ternyata orang itu penipu....bus yang dijanjikan tidak pernah ada...bahkan dia pun tidak terlihat lagi batang hidungnya saat waktu telah berlalu 4 jam setelah subuh tadi...Aku beruntung karena tiba-tiba ada bus ekonomi yang hendak berangkat...saat aku hendak naik aku tunjukkan karcis 'palsu' itu...teman, bahkan di saat hari terburukmu, Allah masih saja mencintaimu, dengan mempertemukanmu dengan orang-orang yang baik....Pak KErnet menyadarkanku bahwa aku telah ditipu mentah-mentah, tapi dia bersedia mengurangi harga untuk naik busnya menjadi 28ribu saja...Aku bersyukur...setidaknya aku bisa sampai lebak bulus...

PErjalananku tidak nyaman...aku tak bisa tertidur, barangkali hanya bisa bertahan tak sadarkan diri 3 x 30 menit sepanjang perjalaan...tiap kali bangun tubuhku berkeringat dingin....aku hanya berbekal pakaian yang kupakai dan sepatu kulit yang telah haus akibat kupakai bergegas, mengendap-ngendap, dan menghantam batu dan kerikil saat kegelapan melanda sepanjang Desa Jetis yang kulalui malam sebelumnya...tapi sakit itu tak kurasakan..setidaknya kegelisahan mengalahkan rasa sakit itu....

Aku merasa tak pantas hidup...bahkan sebelum melarikan diri aku telah mencoba untuk bunuh diri...lucu saat mengingatnya...meminum cairan sabun mandi adalah faforitku untuk beberapa hari...anehnya aku masih hidup, bahkan tidak merasa sakit apa-apa waktu itu....hingga memutuskan cara kedua: menubrukan kepalaku ke tembok jemuran belakang gedung rayon Alighar. Aku tidak melakukannya untuk yang kedua kalinya...karena terlalu takut merasakan sakitnya....

Lebak Bulus...di hari itu...pukul 15.00......jam pulang sekolah, maka banyak murid-murid SMP dan SMA yang berseliweran membanjiri terminal antarkota sekaligus dalam kota tersebut.......Aku merasakan seolah-olah semua orang memandang kepadaku...remaja tanggung berseragam putih-putih yang kini dekil...belum lagi dengan ekspresi gelisah yang tercermin....

Lima ratus rupiah saja uangku yang tersisa....karena selama transit aku harus makan dan minum...Al hasil aku memutuskan untuk berjalan...kuatkah...ingatanku mundur ke belakang, saat aku berjalan jauh bersama teman-teman sd, atau saat berjalan seorang diri dari Sudimara Barat menuju Pondok BEtung melalui JOmbang, umurku 8 tahun waktu itu...aku sanggup berjalan jauh....sewaktu umroh terakhirpun (lihat pejalan tangguh III) aku bisa.

Aku memulai dengan satu langkah gontai...temanku hanya kerikil yang tiap satunya aku tatapi, dan entah mengapa seolah-olah mereka adalah butiran-butiran pasir yang mengisi punukku ttiap kali kulewati, hingga berat terasa perjalanan ini....

Puncaknya, aku teringat ketika pertama kali mengajukan kepada orang tuaku untuk meneruskan studi ke Gontor, yaaa aku sendiri yang membuat pilihan itu...Kemudian teringat masa-masa 'penyesuaian' di Gontor II yang begitu berat...izinkan aku bertanya, bagaimana perasaanmu jika kau menghancurkan sesuatu yang kau buat dengan bersusah payah, kau buat atas sebuah impian besar dan kau berhasil menapaki setengahnya tapi kau runtuhkan anak tangga berikutnya? Oleh dirimu sendiri?

Yang aku tak kuasa menahannya adalah saat terbayang wajah-wajah yang memberiku restu, dan pada mata mereka tersimpan kepercayaan , bahwa aku kelak akan menjadi orang yang bisa memenuhi harapan mereka....Aku terbentuk dalam lingkungan orang-orang yang membangung harapan besar tidak hanya untuk diri dan keluargaku tapi juga bangsaku...

barangkali lebih dari 10 km jarak itu hingga sampai di depan rumah bernomor B-10 sebuah perumahan departemen luar negeri di pondok betung...aku buka pintu dan salam, Ibuku terkejut dan tak kubiarkan dia sempat berpikir dengan menghambur dan memeluknya dan memecah tangis....aku menangis dengan penuh penyesalan, pada tubuh harum perempuan ini ada prasasti pengorbanan yang tulus, untuk bisa mendukung studiku...ada jejak-jejak puasa panjang dan upaya keras untuk mewujudkan impianku, apalagi ayahku? Aku tak punya muka untuk sekedar melihat wajah Abi.....

dua atau mungkin tiga bulan dari peristiwa itu, aku mengalami masa-masa depresi...malam-malamku selalu basah dengan peluh dingin...dihantui perasaan bersalah...Dia seolah-olah mengutukmu...saat orang-orang bercakap-cakap di sekitarmu kau merasa meraka menggunjingkanmu, lemparan pandangan mereka seolah-olah mata elang yang mengintai dan mengusikmu....

HIngga Dia yang maha Rahman membangkitkanku...di sepertiga malam...ya pasti demikian...jika tidak atas petunjuk-Nya aku barangkali tidak akan bangkit malam itu, dan berkata: CUKUP...aku harus meneruskan hidupku...aku berwudhu tapi saat sajadah sudah terbentang dan sempurnalah diri takbiratul ihramku...belum tuntas Bismillah kuucap tak kuasa kulanjutkan aku terpuruk dalam tangis...butuh waktu untuk membiarkannya reda, tapi aku taksanggup bangkit kedua kalinya. Ada Al-Quran terjemahan Depag di dekatku...kubuka sembarang saja...aku baca beberapa ayat hingga 'obat' itu Dia kirimkan..."apa yang baik bagimu belum tentu baik di sisi Allah, tetapi apa y ang baik bagi Allah tentu baik bagimu..."(al-Baqarah 216). Ayat ini begitu membebaskanku malam itu...dua hari sebelum akhirnya orangtuaku mendaftarkanku di tempat kebangkitanku.

"bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim lalu Ia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yagn bingung, lalu Dia memberikan petunjuk? Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu DIa memberikan kecukupan? Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta janganlah engkau menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan/bersyukur." (Q.S. Ad Duha 6-11)

Robbi asykuruk...

Duhai Umar, nikmat Allah mana lagi yang hendak Kau dustakan?

6 comments:

  1. sy pgn nangis baca ini, mar....
    betapa......
    ketidakjujuran itu menyiksa. menyimpang dari fithrah.
    makanya saya sangat mengapresiasi sifat "ash siddiq" dalam hidup ini.
    karena ia basic. amat sangat mendasar dan menjadi pondasi dari berbagai kelakuan.
    dusta kita pada manusia adalah simpangan dari shiddiq. riya kita dalam ibadah adalah simpangan dari shiddiq, karena kita tak membenarkan bahwa DIA satu2nya yang kita sembah.
    hik hiks....
    yaa Allah, jaga kami selalu...

    *tfs ya mar :)

    ReplyDelete
  2. Hahaha... jd inget perjalan2 jauh masa lampau... jalan dari senayan-kalibata... trus perjalanan ke curug berangkat jam 5 abis subuh trus baru sampe lokasi jam 12... trus pulang menggendong "siti" sepeda ku tersayang jam 12 malam... hahaha...

    ReplyDelete
  3. ...perpaduan dari Ayat-Ayat Cinta, Negeri 5 Menara, dan Ratapan Anak Tiri...

    ReplyDelete
  4. wah..ternyata sudah ada apdet terbarunya serial pejalan tangguh.
    have no idea to say kak..

    eh, tapi kalo ketemu langsung mungkin saya akan bilang:
    "wah, saya pernah tuh keminum larutan Rinso, dan rasanya bener2 gak enak. I'd rather have orange juice than it.."
    :D

    *omong2,sorry for making jokes about that matters (OKK).. kami semua belom ada yang tau bagian ini. semoga kesampaian deh,cita2nya untuk menjejak tanah Mesir lagi..

    ReplyDelete
  5. ahhh Ira, makanya lain kali di campur sama sabun batang lifeboy, lumayan kok! :p
    Loh tentang OKK bukannya kamu tau? coba kamu googling Umar Badarsyah, surat permintaan maaf publiknya ada di lima ranking teratas klo nga salah. Eh apa pernah aku posting di sini juga yaa? aku lupa.
    Dikau masih UAS kah Ra?

    ReplyDelete
  6. iya, kasus okk dan sanksi yang dikenakan pada Sdr Umar Badarsyah saya tahu, maksudnya, saya gak tau klo soal OKK itu punya hubungan afek dengan cerita di atas..
    yah pokoknya gitu deh...

    belom, wah tapi bagus juga tuh, jadi ngetop kan?
    :p

    ReplyDelete