Sunday 25 July 2010

Membina dengan Cinta

Dapat tulisan ini dari milist FHUi 2003, kawanku Ferdien yang ngeforward. Berhubung tahun ajaran baru, yang berarti kegiatan penerimaan mahasiswa baru akan segera berlangsung, barangkali ini bisa membantu meletakkan dasar pembinaan  yang lebih baik. Sekedar mengingatkan nilai-nilai IKM UI, dan nilai-nilai perguruan tinggi tidak memberi ruang pada bullying, dan senioritas-otoritarian.
.....

Tulisan R KASALI ini mungkin bisa dijadikan Inspirasi bagi Rekan2 yg Masih
Berkecimpung diLembaga Pendidikan, Sering mendapat Tugas dalam Pelatihan2
Kesatuan atau yg Sedang Membangun Kemampuan Anggautanya. ..Selamat Membaca.

*RHENALD KASALI *
*Thursday, 15 July 2010*

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah
tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. *
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu
telah diberi Nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali.
Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya
dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan
itu buruk, logikanya sangat sederhana. *

Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan
diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai?
Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi
nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes,
ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak dari mana?"
"Dari Indonesia," jawab saya. Dia pun tersenyum.*

*Budaya Menghukum*

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap
simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang
Anak-2nya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulit
memberi nilai.
Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk
merangsang

Orang agar maju. Encouragement! " Dia punmelanjutkan argumentasinya.
"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda beda. Namun untuk anak
sebesar itu, baru tiba dari Negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris,
saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan
berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat
pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut
ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan Study Saya yang bergelimang
nilai "A", dari Program Master hingga Doktor. Sementara di Indonesia, saya
harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman "Drop out dan Para
Penguji yang siap Menerkam". Saat ujian program doktor saya pun dapat
melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar
siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya
dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan
jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik grafik yang
saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan.
Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "Menelan" mahasiswanya yang
duduk di bangku ujian. *
Etika seseorang Penguji atau Promotor membela atau meluruskan pertanyaan,
Penguji Marah-marah, Tersinggung, dan Menyebarkan berita tidak sedap
seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami
Frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang
maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan
"Encouragement, melainkan Discouragement" .

Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya
tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan
juga menguji dengan cara menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana
guru-2 di Amerika berusaha "Memajukan Anak Didiknya". Saya berpikir pantaslah
Anak-anak di sana mampu menjadi penulis Karya-karya ilmiah yang hebat,
bahkan penerima "Hadiah Nobel".
Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
Karakternya sangat kuat: "Karakter yang membangun, Bukan merusak".

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. "Janganlah
kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di
depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk
verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah
telah menunjukkan kemajuan yang berarti." Malam itu saya mendatangi anak
saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di
tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia
pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),tetapi
saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamata yang
berbeda.

*Melahirkan Kehebatan*

Bisakah kita mencetak Orang Orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan
rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah Bagian dari Generasi yang dibentuk
oleh
sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur,
dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan
seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...;
Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas
kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi
lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan
mengendurkan semangat.

Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak
statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang
didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia
dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan,
ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.*
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan
ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan
menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti. (*) *

*RHENALD KASALI *
*Ketua Program MM UI*

--
--A*i--

With a little love and a lot of patience, nothing is impossible.

2 comments:

  1. wah iya, dapet juga tulisan ini di fb.. judulnya Encouragement. Membuat peserta didik belajar dengan motivasi positif. Jadi mereka belajar karena senang belajar, bukan karena takut dimarahin.
    Tantangan untuk para pendidik (orang tua, guru, kakak, dll) di "budaya" kita supaya tidak pelit apresiasi ^_^
    Like this!
    *ternyata setelah dipikir-pikir, "kita" malang juga ya...

    ReplyDelete
  2. terima kasih bang umar. meskipun ini tlsn pak rhenald, tp bang umar berkontribusi menyampaikan gagasan cemerlang ini. :)



    *mencobamengamalkanencouragement :D

    ReplyDelete